Sejarah
Peran Imam Husain dalam Mengabadikan Islam
Seseorang yang menelusuri kehidupan Imam Husain as pasti akan secara tepat menemukan bahwa peran sang Imam dalam kehidupan Islam telah dimulai sejak dini. Beliau telah memberikan andil dalam gerakan Islam yang memuncak saat beliau masih kanak-kanak. Peran yang beliau mainkan terlihat jelas pada masa imamah ayahnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as, sebab beliau ikut terjun dalam tiga pertempuran: Perang Jamal, Perang Shiffin, dan Perang Nahrawan; bahu-membahu bersama ayahnya, kakaknya, para sahabat, serta tabi’in yang penuh keikhlasan.
Adapun pada masa imamah kakaknya, Imam Hasan as, beliau hidup sebagai prajurit yang sangat patuh pada kakaknya. Beliau memandang sebagaimana kakaknya memandang, dan bertindak sebagaimana kakaknya bertindak. Imam Husain as menyertai kakaknya dalam berbagai peristiwa di masa imamahnya, termasuk di dalamnya kasus perjanjiannya dengan Muawiyah, dengan segala kondisi dan situasinya. Sesudah itu beliau pindah ke Madinah Munawwarah bersama kakaknya disertai anggota Ahlulbait yang masih tersisa waktu itu, guna memainkan peran mereka dalam melindungi risalah dari hantaman gelombang yang menyimpang, yang dari waktu ke waktu kian meningkat.
Mereka mencurahkan seluruh perhatian dalam bentuk bimbingan intelektual dan moral, pelurusan perilaku dan menjelaskan tanggung jawab syar’i kepada masyarakat. Hanya saja, peran Imam Husain as sesudah kakaknya wafat, memasuki babak baru, sesuai kondisi yang terus berubah dalam perjalanan umat. Sebagaimana setiap Imam Ahlulbait as memainkan perannya sesuai karakter dan kondisi sosial, intelektual, dan politik yang ada, maka Imam Husain as telah merambah jalan baru dalam menentukan masa depan gerakan Islam murni, yang beliau bentuk secara langsung sesudah wafat saudaranya, Imam Hasan as. Dengan kata lain, sesudah beliau memegang tampuk pimpinan tertinggi umat sesuai ketentuan llahi yang maktub dalam hadis-hadis Rasulullah saw dan penjelasan-penjelasannya. Antara lain:
Dari ‘Ubabah bin Rabi’i, dari Jabir, yang bekata, “Berkata Rasulullah saw, ‘Aku adalah junjungan para nabi, dan Ali adalah Junjungan para penerima wasiat, dan bahwa jumlah penerima wasiatku sesudahku adalah 12 orang, yang pertama adalah Ali dan yang terakhir Qaim Mahdi as.'” (Yanabi’ aI-Mawaddah, jil. 2, pasal 77)
Dari Salman Farisi ra, “Aku menemui Rasulullah saw dan kulihat Husain as sedang berada di pangkuan beliau. Nabi saw menciumi pipinya dan mengecupi mulutnya, lalu berkata, ‘Engkau junjungan, putra seorang junjungan, dan saudara seorang junjungan. Engkau imam, putra seorang Imam, dan saudara seorang Imam. Engkau hujjah, putra seorang hujjah, saudara seorang hujjah, dan ayah dari sembilan hujjah. Hujjah kesembilan adalah Qa’im mereka, yakni Mahdi as.” (Qanduzi, Yanabi’ al-Mawaddah, diterima dari Humawaini, Muwaffaq bin Ahmad Khawarizmi, dan Salim bin Qais Hilali.)
Masih terdapat puluhan hadis dan penjelasan dari Rasulullah saw yang menjelaskan khalifah-khalifah sesudah beliau, yang jumlahnya 12 orang, sesekali dengan menyebut namanya secara jelas dan sesekali dengan isyarat. Maka, sesudah kepemimpinan atas umat, baik dalam bidang amal maupun pemikiran, diserahkan kepada beliau, Imam Husain as segera menentukan garis perjalanan persoalan yang dihadapi Islam sejalan dengan tuntutan-tuntutan kondisi dan situasi yang ada.
Ali Muhammad Ali, Para Pemuka Ahlulbait Nabi: Imam Husain as & Imam Ali Zainal Abidin as