Ikuti Kami Di Medsos

Sejarah

Kiprah Imam Khomeini Sebelum Revolusi Islam 1979

Mengapa Imam Khomeini menjadi pemimpin revolusi Iran, bukan saja bagi kaum Muslim tapi juga bagi kaum intelektual yang tidak begitu solid agamanya maupun kaum komunis.

“Jawaban ini tidak sukar, Imam Khomeini satu-satunya tokoh Iran yang tak pernah mundur dalam menentang Syah. Seluruh hidupnya dicurahkan untuk menumbangkan monarki. Beliau juga terkenal jujur, bersih, ulet dan tak seorang pun meragukan pribadinya,” kata Hamid seorang anggota Feedayen yang berusia 35 tahun kepada penulis pada Februari 1979.

Memang perjuangan sosok yang lahir pada 1902 di Kota Khomein Tengah ini bukan sesuatu yang baru. Ayahnya dibunuh karena menentang dinasti Qajar saat Imam Khomeini masih berusia 9 bulan. Beliau lalu diasuh oleh kakak tertuanya, Morteza, yang sampai saat itu tinggal di Qom. Saudara laki-lakinya yang lain, Nurudin, adalah pengacara. Pada usia 19 tahun, Imam Khomeini belajar agama Islam di Irak pada Ayatollah Haeri, sosok yang banyak  mendirikan sekolah di Qom.

Pada 1922, Imam Khomeini ikut membantu gurunya membangun pusat kebudayaan dan riset Islam di Qom.  Di kota itu juga beliau menyelesaikan pendidikannya dalam bidang filsafat dan hukum Islam.  Pada 1920, Imam Khomeini menikah dan dikaruniai tiga anak wanita dan dua anak laki-laki. Yang tertua, Mostafa, gugur pada 1977 di Najaf, Irak, akibat dibunuh SAVAK.

Suatu hal yang menakjubkan bagi orang yang pertama kali melihat Imam Khomeini, adalah kesederhanaan hidupnya; baik di rumah maupun selama di pengasingan di Neauphle le Chateau. Rumahnya di Neauphle le Chateau berukuran kecil dan tak banyak perabotan. Semua tamu duduk bersila di lantai. Di situ beliau tinggal bersama istri dan seorang anak laki-lakinya, Ahmad Khomeini, yang berusia kira-kira 35 tahun.

Sukar menebak usia Imam Khomeini yang sudah menginjak usia 78 tahun itu, dari wajah dan gerakannya. Beliau masih tangkas. Jalannya tegak. Pandangannya tajam menusuk, seolah hendak menyelidiki teman bicaranya. Beliau jarang tertawa di depan khalayak, kecuali bila bersama keluarganya di rumah. Konon beliau sering bercanda dengan cucunya.

Janggutnya yang panjang dan putih, kepalanya yang hampir tak berambut itu tertutupi surban hitam, tanda beliau keturunan Nabi Muhammad saw. Wajahnya selalu terlihat seperti sedang berpikir, memancarkan wibawa. Ia tak banyak bicara, hanya seperlunya, sekalipun terhadap para pembantunya.

Pukul 2 dini hari biasanya beliau sudah bangun lalu gegas berdoa dan shalat, sampai pukul 5 pagi. Setelah itu, kehidupan sehari-hari berlangsung baginya. Ketika di Prancis, pada tengah hari dan maghrib, figur agung ini menyeberangi jalan ke arah sebuah tenda yang digunakan sebagai tempat ibadah. Sejak di Qom, demi keamanan, beliau selalu dijaga ketat. Kendati mendengarkan pendapat dari para penasihatnya, Khomeini selalu mengambil keputusannya sendiri.

Di Neauphlele Chateau, Imam Khomeini didampingi tiga intelektual Iran yang menjadi pembantu utamanya; Dr. Yazdi, Sodeq Gotbzadeh, dan Bani Sadr. Pemerintah Prancis, mula-mula mengirimkan pegawai tingkat rendah Departemen Luar Negeri untuk meminta Imam Khomeini tidak membuat aktivitas politik di Prancis. Tak diacuhkan. Belakangan, ketika ditanya mengapa beliau tak mengambil tindakan, Giscard d’Estaing menjawab  bahwa Syah tak pernah  meminta hal  itu kepadanya.

Bersambung…..

*Disarikan dan disunting dari Nasir Tamara, Revolusi Iran

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *