14 Manusia Suci
Imam Musa Kazhim Melawan Kezaliman Bani Abasiyah
Menurut kalangan sejarahwan arus utama, Imam Musa bin Ja’far as lahir lahir pada 7 Safar 128 H/799 M. Momen itu bertepatan dengan pemindahan kekuasaan dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Beliau bergelar “kazhim” (orang yang mampu mengendalikan amarahnya) dan “bab al-hawaij” (pimtu bagi segala kebutuhan). Imam Musa Kazhim as adalah imam ketujuh umat Muslim Syiah.
Imam Musa Kazhim as menjabat imam setelah kesyahidan sang ayah, Imam Ja’far Shadiq as. Masa kepemimpinan dan imamahnya berlangsung selama 35 tahun. Semasa dengan kekuasaan Mansur, Hadi, Mahdi, dan Harun yang berasal dari Bani Abbasiyah. Beliau as berulang kali dipenjara oleh Mahdi dan Harun.
Meskipun dalam keadaan tercekik dan tersiksa di Madinah akibat tekanan Bani Abbasiyah, Imam Musa as tetap giat membimbing dan menuntun masyarakat. Tidak lama berselang, penguasa Abasiyah yang kejam, Mahdi, meninggal dunia dan anaknya bernama Hadi naik tahta menggantikannya sebagai penguasa.
Berbeda dengan ayahnya, Hadi memulai permusuhan dan penindasannya terhadap anak keturunan Imam Ali as tidak lagi dengan cara sembunyi-sembunyi alias terang-terangan. Perbuatannya yang paling jahat adalah membantai putra keturunan Iman Ali as yang kelak dikenal dengan “Tragedi Fakh”. Para ahli sejarah mencatat peristiwa itu sebagai tragedi terkejam kedua setelah tragedi Karbala.
Baca juga Biografi Singkat Imam Musa Kazhim as
Hadi meninggal dunia pada 170 H. Lalu Harun menggantikan kedudukannya sebagai penguasa. Ketika itu, Imam telah berusia 42 tahun.
Harun sangat membenci Ahlulbait as. Ia mengasingkan anak keturunan Imam Ali as dari Baghdad ke Madinah, dan membunuh banyak di antara mereka.
Imam Musa Kazhim as sangat tegas menolak bekerjasama dengan penguasa zalim dan biadab Dinasti Abasiyah. Beliau tidak dapat berdiam diri di hadapan kezaliman mereka. Di mana dan kapan saja dianggap perlu, Imam as langsung mengungkap kekejaman dan kebejatan perangai Harun kepada publik. Semua itu tentu saja mempermalukan Harun dan mencoreng namanya di hadapan publik. Selain itu, Imam Musa as memerintahkan beberapa sahabatnya untuk menolak segala bentuk kerjasama dan bantuan dari rezim Harun. Kepada Shafwan, sahabat setia Imam, misalnya, Imam as berkata, “Engkau adalah orang yang berbudi luhur dalam segala hal kecuali satu, yaitu engkau telah menyewakan untamu kepada Harun.”
Shafwan menjawab, “Aku menyewakan untaku kepadanya hanya di musim haji saja, dan aku juga tidak menyertai perjalanannya.”
Imam as berkata, “Hai Shafwan, tidakkah engkau bergembira sampai untamu kembali, dan Harun tetap hidup sehingga engkau menerima uang sewa darinya?”
Ia menjawab, “Ya, betul.”
Imam as berkata lagi, “Barangsiapa yang suka seorang zalim tetap hidup, ia pun termasuk bagian darinya.”
Shafwan terlanjur meneken perjanjian sewa-menyewa dengan Harun yang mensyaratkannya menyediakan perlengkapan perjalanan haji untuk penguasa. Tapi, mendengar ucapan Imam Musa as itu, ia langsung menjual seluruh unta miliknya. Harun lalu memanggil dan mendesaknya untuk mengatakan alasannya menjual seluruh unta itu tanpa memberitahu dirinya.
Akhirnya Harun mengerti apa yang telah terjadi dan berkata kepada Shafwan, “Sekiranya aku tidak mengingat hubungan persahabatan yang dulu terjalin di antara kita, detik ini juga tentu aku akan perintahkan algojoku untuk memenggal kepalamu. Aku tahu siapa yang memberi perintah ini kepadamu. Musa bin Ja’far yang telah memerintahkan ini kepadamu.”
Walaupun tidak membolehkan seorang pun bekerjasama dengan Harun, akan namun Imam as memerintahkan seseorang yang paham seluk-beluk kekuasaan untuk menyusup dan membangun pengaruh di tengah rezim Harun, dan membantu sahabat-sahabat Imam yang kesusahan, serta melaporkan informasi, rencana, atau keputusan yang telah diambil penguasa.
Dalam upaya ini, beliau merestui Ali bin Yaqthin untuk mengemban tugas ini dan berhasil menjabat sebagai salah satu menteri dalam rezim Harun. Dengan tugas ini, Ali dapat membantu para sahabatnya dan pengikut Imam as.
Suatu hari, Imam as menulis surat yang isinya meminta Ali bin Yaqtin, “Bila tidak ada orang yang melihatmu, engkau dapat berwudhu sesuai ajaran Imam. Namun, bila ada yang menemanimu, berwudhulah dengan cara mereka. Terima hadiah-hadiah yang diberikan padamu dan jangan kau tolak.” Penerimaan hadiah menjadi salah satu modus Harun menguji kesetiaan orang-orangnya.
Dalam sebuah dialog, Harun berusaha bertanya tentang sesuatu yang dapat membuat Imam as tidak berkutik. Dengan siasat ini, ia berharap dapat menjatuhkan citra dan kedudukan Imam di tengah masyarakat. Harun berkata kepada Imam as, “Aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan yang hingga kini aku belum temukan jawabannya.”
“Jika aku memiliki kebebasan dalam menyampaikan pendapat, aku akan menjawab pertanyaanmu itu,” jawab Imam as.
Harun, “Tentu, Anda bebas menyampaikan pendapat Anda. Katakan padaku, mengapa Anda menganggap bahwa Anda lebih unggul dariku padahal kita berdua dari satu garis keturunan. Bukankah kita berdua berasal dari Bani Hasyim?”
Imam as menjawab, “Kami lebih dekat kepada Nabi saw dari pada Anda. Sebab, ayah kami adalah Abu Thalib dan ayah Nabi Muhammad saw adalah dua bersaudara dari ibu dan ayah yang sama. Namun ayahmu, Abbas, hanya memiliki nasab (hubungan) dari pihak ayah saja.”
“Sewaktu Nabi wafat, ayahmu, Abu Thalib sudah lebih dulu wafat, tapi ayah kami, Abbas masih tetap hidup. Jelas bahwa selama paman masih hidup, Anda sebagai sepupu tidak dapat menerima warisan,” tukas Harun.
“Selama seorang anak masih hidup, paman tidak berhak menerima warisan. Dan ketika itu Fatimah binti Assad masih hidup, maka ayahmu Abbas tidak memiliki hak untuk menerima warisan,” tegas Imam as.
Harun makin penasaran, “Mengapa Anda membiarkan orang-orang memanggilmu dengan sebutan putra Rasulullah, sementara Andaputra Ali bin Abi Thalib. Karena, nasab setiap orang itu menurut garis ayahnya, sedangkan Rasulullah adalah kakekmu tapi dari garis ibu.”
Imam as menjawab dengan nada tenang, “Jika sekiranya Rasulullah saw hidup dan meminang putrimu, apakah engkau bersedia untuk menerima pinangan beliau dan memberikan putrimu kepadanya?”
“Tentu saja, setiap bangsa Arab atau Ajam akan menerimanya dengan penuh kebanggan dan kehormatan,” jawab Harun.
Imam as pun melanjutkan, “Tapi Rasulullah saw tidak akan pernah meminang putriku untuk beliau nikahi.”
Harun kontan merasa heran, “Mengapa demikian?”
Imam as menjawab, “Karena, beliau adalah ayahku walaupun dari pihak ibu, sedangkan beliau bukan ayahmu sama sekali. Dengan demikian, aku menganggap diriku sebagai putra Rasulullah.”
Harun pun terdiam seribu bahasa mendengar jawaban Imam Musa as yang seakan-akan meremukkan tubuhnya. Lalu ia mempersilahkan Imam as meminta apapun sesuka hati beliau. Imam as berkata, “Aku tidak ingin apapun darimu. Biarkan saja aku pergi melakukan pekerjaanku.”
Salah seorang kemenakan Imam as bernama Ali bin Ismail berkhianat. Ia mengatakan kepada Harun bahwa Imam as hendak melakukan pemberontakan terhadap kerajaan. Harun pun memutuskan untuk datang ke Madinah guna menangkap Imam as dan menjebloskannya ke penjara. Harun menyurati orang-orangnya untuk menyebar di Mekah dan Madinah. Sepulang dari Madinah, ia memerintahkan gubernur Madinah menangkap Imam as dan mengirimnya ke Bashrah. Di sana, Imam as dipenjara selama satu tahun. Saat itu kota Bashrah berada di bawah kekuasaan gubernur Yahya Barmaki.
Selama di penjara, akhlak, budi luhur, dan perilaku Imam Musa as meninggalkan kesan menalam pada diri Yahya. Kesan itu memaksanya menulis surat kepada Harun, “Wahai Harun, aku tidak melihat sesuatu pun pada diri Musa bin Ja’far selama di penjara kecuali kebaikan dan ketakwaan. Aku tidak tahan lagi memenjarakannya. Terimalah ia agar kembali atau aku akan bebaskan ia pergi.”
Harun lalu memutuskan untuk memindahkan Imam dari Madinah ke Baghdad. Atas perintahnya, beliau dipindahkan ke penjara Baghdad di bawah pengawasan Fadhl. Seperti Yahya, Fadhl pun terpesona oleh kepribadian luhur Imam Musa as dan meminta Harun agar ia sendiri yang mengawasi beliau. Akhirnya, Imam as dipindahkan ke penjara Sindi bin Syahik, sosok yang bengis dan kejam. Imam as melewatkan hari-harinya di penjara dengan shalat, puasa, ibadah, dan doa. Semua itu menambah kedekatan beliau kepada Allah Swt.
Imam as menulis sepucuk surat kepada Harun yang berbunyi, “Setiap hari kulalui dengan kesusahan, sementara engkau lewati hari-harimu dengan kesenangan. Lalu, kita akan sama-sama mati. Hingga pada suatu hari yang tiada akhirnya, kelak kita diberdirikan di hadapan Mahkamah Ilahi, saat orang-orang licik hanya akan jadi pecundang dan terhinakan.”
Sumber: Wikishia/al-shia.org