Ikuti Kami Di Medsos

14 Manusia Suci

Imam Ali: Pemimpin Orang-orang Bertakwa

Imam Ali: Pemimpin Orang-orang Bertakwa

Ahlulbait Indonesia – Di setiap zaman, umat manusia senantiasa mencari sosok teladan, seorang pemimpin yang tak hanya bijak di atas mimbar, tetapi juga jujur di medan ujian. Seorang yang bukan sekadar kuat secara jasmani, tetapi lebih-lebih kuat dalam menegakkan kebenaran, adil dalam keputusan, dan lembut dalam ketakwaan. Dalam Islam, tak ada figur yang menyatu secara sempurna dengan nilai-nilai itu selain Imam Ali bin Abi Thalib, saudara, sahabat, sekaligus pewaris risalah Rasulullah SAW.

Imam Ali bukan hanya nama dalam sejarah. Beliau adalah cermin dari apa yang disebut Al-Qur’an sebagai muttaqun; orang-orang yang senantiasa menjaga dirinya dari keburukan, berpegang teguh pada kebenaran, dan menjadikan Allah sebagai tujuan dalam setiap langkah. Ketakwaan baginya bukan sekadar ibadah ritual, tetapi kesadaran penuh yang meresap dalam seluruh aspek hidup: dari keadilan di pengadilan, hingga kasih sayang terhadap anak yatim di gang-gang kota Kufah.

Rasulullah SAW, sosok yang ucapannya dijamin oleh Allah, menyampaikan pujian yang tak mungkin diberikan kepada siapa pun tanpa dasar Ilahi:

“Jika semua pohon dijadikan pena, semua lautan dijadikan tinta, para jin menjadi alat hitung, dan seluruh manusia menjadi penulis, niscaya tak satu pun dari mereka mampu membatasi keutamaan Ali bin Abi Thalib.”

(Nahjul Balaghah)

Ini bukan hiperbola retoris. Ini adalah kebenaran yang disingkapkan oleh Rasulullah, bahwa keagungan Imam Ali tak bisa dihitung dengan alat perhitungan dunia. Mengapa? Karena keutamaan spiritual tidak tumbuh dari popularitas, kekuasaan, atau pencapaian duniawi, melainkan dari kedalaman ikhlas, luasnya ilmu, dan keteguhan dalam menegakkan keadilan bahkan ketika itu menyakitkan diri sendiri.

Baca juga : Kebaikan Hati Imam Ali terhadap Ibnu Muljam

Dalam peristiwa Ghadir Khum; sebuah momen sakral yang mempertemukan ribuan umat di bawah terik matahari gurun, Rasulullah mengangkat tangan Ali dan berseru:

“Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.”

Namun, lebih dari sekadar pengangkatan formal, Rasulullah juga menyampaikan:

“Sesungguhnya keutamaan Ali bin Abi Thalib di sisi Allah telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Jumlahnya tak akan cukup aku uraikan dalam satu pertemuan ini. Jika seseorang menyampaikan kepada kalian sebagian dari keutamaannya dan kalian mengetahuinya, maka ketahuilah bahwa itu adalah sebuah kebenaran.”

Kita hidup di zaman ketika kebenaran sering dibungkam dan kezaliman berpura-pura menjadi hukum. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering mengaburkan cahaya kebenaran, sosok seperti Ali menjadi mercusuar abadi, menuntun hati yang gundah untuk kembali kepada makna kepemimpinan sejati: bukan siapa yang paling berkuasa, tapi siapa yang paling bertakwa.

Imam Ali tidak hanya mengajarkan lewat kata-kata, tetapi menanamkan nilai lewat perbuatannya. Di malam-malam sunyi, beliau menangis dalam munajat kepada Tuhannya, padahal pada siangnya beliau tak pernah gentar menghadapi kezaliman di medan perang. Di saat menjadi khalifah, Imam menambal pakaiannya sendiri, memanggul karung gandum untuk rakyat miskin, dan tidak pernah mengambil satu dirham pun dari Baitul Mal tanpa hak.

Keteladanan Imam Ali adalah warisan spiritual yang tak pernah lekang oleh waktu. Beliau adalah pengingat bahwa di dunia ini, ketakwaan adalah standar tertinggi, dan kepemimpinan sejati adalah pengabdian kepada kebenaran, bukan dominasi atas manusia.

Dalam dunia yang haus akan keadilan dan lapar akan integritas, mari kita bercermin pada Imam Ali; pemimpin orang-orang bertakwa, dan cahaya yang tak pernah padam bagi pencari kebenaran.

Sumber: Abbas Rais Kermani, Kecuali Ali

Baca juga : Karakter dalam Diri Imam Ali