Berita
Ziarah Sunyi Daly di Petilasan Sayidina Ali
Saat liburan tiba, banyak orang menghabiskan sebagian waktunya untuk pergi berwisata. Entah ke pantai, ke puncak, atau sekadar mengunjungi sanak saudara.
Namun, ada juga yang memanfaatkan waktu libur tidak seperti biasa. Sebut saja Muhammad Daly Mursaid. Warga Desa Tegal Angus, Tangerang, Banten ini lebih memilih menghabiskan liburan Idulfitri yang lalu dengan berziarah selama kurang lebih satu minggu di tengah sunyinya pegunungan dan pantai pesisir ujung pulau Jawa. Tepatnya di Ujung Kulon, Provinsi Banten dari tanggal 19 hingga 26 Juli 2015 silam.
Pemuda lajang yang biasa disapa Daly ini adalah salah satu dari 25 peziarah yang tergabung dalam rombongan paguyuban Tapak Sancang. Perjalanan ini dilakukan dengan melewati 9 pegunungan, 7 perbukitan, dan 42 km perjalanan pantai yang cukup melelahkan. “Kita tidur dimana saja, kadang di hutan, kadang di tanah lapang,” tutur Daly.
Awal Perjalanan
Dari Tegal Angus, rombongan peziarah berangkat pukul lima pagi. Setelah menempuh perjalanan dengan naik bus kurang lebih 10 jam, mereka tiba di tempat Kang Jarna di Ujung Kulon sekitar pukul 4 sore. “Kang Jarna adalah juru kunci yang mengantar perjalanan ziarah kami,” kata Daly. Dengan upah lelah 7 juta rupiah, Kang Jarna bersama lima temannya mengantar dan membantu membawakan perbekalan 25 orang rombongan peziarah itu selama perjalanan. “Bawaan kami banyak, kita bawa perlengkapan dan bahan-bahan untuk masak,” tambah Daly.
Selama perjalanan, waktu mereka dihabiskan untuk mengunjungi makam-makam sesepuh (orang yang dianggap mulia) sebagai tempat merenung dan berdoa. Hari ketiga mereka mengunjungi makam Eyang Gentar Bumi, dan berlanjut ke petilasan Raden Alibasa. Rombongan melanjutkan perjalanan di Pantai Selatan ke sebuah tempat bernama Cibunar. Sebuah tempat berkumpulnya hewan-hewan darat di Ujung Kulon setiap menjelang maghrib. “Saat itu saya melihat Banteng, Badak, dan lain-lain,” kisah Daly.
Hari keempat, mereka tiba di gunung Masijid. “Konon di sana sering terdengar suara azan,” kata remaja berumur 23 tahun itu. Mereka juga melewati petilasan Eyang Dasar, yang sering disebut petilasan Syekh Jakfar Shadiq.
Akhir Perjalanan
Hari kelima, para peziarah tiba di Sanghyang Sirah, sebagai tempat tujuan terakhir para peziarah. Di sana terdapat beberapa peninggalan sejarah yang kini dianggap keramat tidak hanya oleh masyarakat setempat melainkan juga oleh berbagai kalangan di luar daerah Ujung Kulon. Di sana ada yang disebut Batu Qur’an, Sumur Daud, dan Batu Sohibul Wujud. “Ada juga petilasan Sayidina Ali. Konon, tempat itu merupakan tempat Raden Kian Santang berguru kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib,” tutur Daly.
Sayangnya, tidak semua momen yang dilewati para peziarah dapat diabadikan ke dalam foto maupun video. “Ada sebagian yang boleh, tapi ada tempat-tempat tertentu yang dilarang,” cerita pria yang hobi fotografi ini.
Dua hari dua malam mereka tinggal di Sanghyang Sirah. Karena memang tak ada tempat penginapan, mereka pun tidur beralas bumi, beratapkan langit. Tempat yang sunyi, sepi, jauh dari hingar-bingar kendaraan dan suara gaduh perkotaan. Banyak orang beranggapan, suasana semacam itu memang tepat untuk berwisata hati, merefleksikan diri dan merenungi sisi-sisi lain ciptaan Sang Ilahi.
“Kebanyakan saya menangis, ada momen-momen saat pemandu perjalanan mengajak kita introspeksi diri, merenungi perjalanan hidup kita,” kisah Daly.
Ia mengaku, dalam perjalanan bersama rombongan, banyak menghabiskan sebagian waktunya untuk berselawat, bertakbir, dan melantunkan puji-pujian. “Suasana yang pas dan tempat strategis untuk berdoa,” tegas Daly.
Tidak sia-sia ia mengorbankan waktu liburannya ke sana. Daly merasa, tempat-tempat lain yang selama ini pernah dikunjunginya, menjadi terasa biasa-biasa saja dibandingkan wisata religi yang satu ini.
Tanggal 26 Juli mereka mengakhiri ziarah. Dengan menyewa perahu seharga 4 juta, mereka pun menempuh perjalanan laut selama 7 jam. Namun sebelum meninggalkan Sanghyang Sirah, rombongan sempat mengibarkan bendera Merah Putih di Batu Sohibul Wujud, seraya mengenang sejarah perjuangan para pahlawan bangsa dalam merebut kemerdekaan sekaligus menyambut peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-70 tahun ini.
Selain perlu banyak waktu dan tenaga, perjalanan ziarah itu menghabiskan pula dana yang tak sedikit jumlahnya. “Namun semua itu terbayar dengan hasil yang kita dapatkan. Kita bisa melihat tempat bersejarah yang awalnya kita tidak tahu, keindahan alam yang luar biasa dan tidak ada sampah di sana,” papar Daly.
Makna Ziarah
Daly membenarkan adanya tuduhan sebagian orang yang menganggap perjalanan ziarah ke Ujung Kulon sering dikaitkan dengan ritual syirik, perbuatan musyrik, karena identik dengan sebagian orang yang datang ke sana untuk tujuan mencari pesugihan atau kekayaan dan sebagainya. Namun karyawan swasta di Jakarta ini mengaku, tuduhan-tuduhan semacam itu tidak berlaku baginya.
“Saya kan tidak yakin tentang pesugihan, apalagi tentang ritual syirik. Saya hanya ingin mengambil nilai-nilai luhur ziarah, dan spirit nilai-nilai mulia para tokoh zaman dahulu. Di sana, di tempat-tempat bersejarah itu, selain alamnya yang masih alami dan sunyi, saya juga mendapati tempat yang mengantar saya lebih khusyuk dalam berdoa kepada Allah Swt,” pungkas Daly yang tak lama lagi bakal mengakhiri masa lajangnya ini. (Malik/Yudhi)