Berita
Zainudin: Kau yang Merokok Aku yang Sakit
Tingginya sekitar 168 cm dengan postur terbilang agak gemuk, mengenakan atasan putih dan bawahan berwarna senada, berjalan ke depan forum diskusi tentang pengendalian tembakau di Komnas Perempuan beberapa hari lalu. Dialah Zainudin (42 tahun), salah seorang pria korban rokok yang memberikan testimoni dan kesaksiannya dalam acara itu.
Sepintas tak ada yang aneh bila dilihat dari kondisi fisiknya. Seperti kebanyakan orang, bahkan wajahnyapun tidak menampakkan apa yang telah dia alami selama ini. Perbedaan itu munucul saat dia mulai berbicara. Suaranya yang serak parau, lebih mirip suara robot. Maka setiap lawan biacaranya mesti berpendengaran cermat untuk dapat memahami apa yang sedang dia ucapkan.
“Mula-mula suara saya sering serak, lalu mengecil dan disertai batuk serta sesak nafas, terakhir suara saya seperti peluit,” cerita Zainudin.
Hal itu terjadi saat dia berusia 23 tahun. Segala macam pengobatan sudah dicoba, mulai dari pengobatan alternatif hingga ke rumah sakit umum. Vonis sakit paru-paru pun dikenakan kepadanya. Setelah berobat selama 6 bulan lebih namun ternyata tak ada perubahan, Zainudin pun berpindah pilihan ke jenis pengobatan lain. Bukannya makin sembuh, penyakitnya pun makin parah.
Dalam pemeriksaan terakhir kali ke spesialis THT, dokter mengatakan ada tumor yang tumbuh di saluran pernapasan Zainudin. Tepatnya di pita suaranya. Dokter menyarankan agar keesokannya segera dilakukan langkah operasi. Jika tidak, tak mustahil Zainudin bakal kehilangan nyawa.
“Vonis dokter tersebut membuat saya shock dan depresi. Saya hampir saja…” kisah Zainudin. Suaranya tercekat seolah tak mampu menuntaskan maksudnya.
Setelah berunding dengan keluarga pada malam harinya, Zainudin pun menjalani operasi di Rumah Sakit Mangga Besar dan otomatis kehilangan suaranya. Pasca operasi itu, Zainudin masih harus dirawat di Rumah Sakit itu hingga satu bulan lebih.
“Kemudian orang tua saya bertanya kepada dokter, kenapa dok penyebabnya?” cerita Zainudin. “Ini karena nikotin atau asap rokok, jawab dokter.”
Saat dokter bertanya “Di rumah ada yang merokok?” Ayah Zainudin menjawab “Saya merokok, tapi anak saya tidak merokok, Dok!”
Kata Zainudin, ayahnya sempat kaget ketika dokter menjelaskan bahwa inilah akibatnya jika ada perokok di sekitar orang yang tidak merokok. Sebab tanpa disadari racun-racun yang dihisap akan menempel di tubuh, baik bagi yang merokok maupun bagi mereka yang hidup di sekitar perokok, yang biasa disebut sebagai perokok pasif.
“Kalau saya itu yang kena saluran pernapasan, tapi yang lain ada yang kena di paru-paru, jadi nikotin itu menempel di tubuh kita,” terang Zainudin.
Menurut cerita Zainudin, 10 atau 15 tahun yang lalu, keluarga besarnya hampir semuanya perokok terutama saat perkumpulan keluarga, saat mengikuti rapat-rapat di organisasi kepemudaan dan karang taruna, semuanya merokok dan dia menjadi perokok pasif. Artinya, meskipun dia sendiri tidak merokok tapi tetap saja juga menghirup asap rokok dari para perokok di sekitarnya. Zainudin saat itu belum paham bahwa risiko bahaya sebagai perokok pasif ternyata tiga kali lipat daripada perokok aktif.
“Hal itu dulu tidak pernah saya sadari, bertahun-tahun saya bergaul dengan para perokok,” kata Zainudin.
Akibat apa yang menimpa dirinya, ayahya berhenti merokok. Si ayah sadar, betapa bahayanya kebiasaan merokok yang selama ini dia lakukan bagi orang-orang dan lingkungan di sekitarnya.
Zainudin sempat mengurung diri selama enam bulan di kamarnya selepas operasi. Dia depresi, marah, mengutuk nasib yang menimpanya akibat ulah orang lain di sekitarnya. Namun kemudian dia bangkit, karena dia berpikir bahwa usianya masih cukup muda saat itu dan dirasanya bahwa perjalanan hidupnya masih panjang.
Saat ini Zainudin yang sehari-hari berdagang mie ayam di wilayah Bogor telah bergabung dengan Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia untuk mengampanyekan kepada masyarakat tentang bahaya zat nikotin dalam rokok dan pengaruh buruknya bagi kesehatan.
Saat berjualan mie ayam, kadang ada pembeli menanyakan kondisinya. Zainudin pun mulai menjelaskan apa yang menimpanya.
Pernah satu kali saat melakukan testimoni di Taman Ismail Marzuki, ada juga yang mengatakan bahwa apa yang terjadi pada Zainudin adalah malapraktik dan rekayasa.
“Padahal ini adalah kenyataan. Inilah apa yang saya alami, tanpa rekasaya,” tegas Zainudin.
Pasca operasi hingga kini, Zainudin harus bernapas melalui lubang buatan dokter yang terletak di bawah pangkal leher bagian depannya.
Meski tak mudah, bagi Zainudin tidak ada yang tidak mungkin. Asal ada niat dan kemauan yang kuat dan rasa sayang kepada diri sendiri dan orang lain di sekitarnya, para perokok pasti bisa berhenti dari kecanduannya.
Dia juga berharap agar para perokok memiliki etika, melihat sekelilingnya dan jangan egois. Sebab tanpa disadari paparan asap rokok itu selain sangat berbahaya bagi si perokok namun juga bagi lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.
“Contohnya itu saya,” tegas Zainudin.
Malang nian nasib Zainudin. Ibarat pepatah, selama ini dia “tak ikut makan nangka tapi kena getahnya”.
Zainudin harus menanggung akibat dari perilaku orang-orang di sekitarnya. Ayahnya kini menyesal dan sudah berhenti merokok.
Lalu bagaimana dengan Anda? Apakah Anda akan menunggu sampai ada Zainudin lain yang menjadi korban di keluarga Anda? Semoga saja tidak. (Lutfi/Yudhi)