Berita
Wong Cilik Di Bawah Bayang-Bayang Relokasi
Tanah “tak bertuan” seringkali mengundang sengketa. Kebun Sayur Ciracas misalnya. Kawasan seluas 5,3 hektare yang berlokasi di wilayah Kecamatan Ciracas Jakarta Timur itu tengah menghadapi masalah. Lahan yang telah digarap warga sejak tahun 80-an itu, diklaim Perusahaan Umum Pengangkut Penumpang Djakarta (Perum PPD) sebagai miliknya sejak tahun 2009 lalu.
“Namun PPD tidak memiliki bukti kepemilikan tanah yang sah,”kata Agus Setiadi salah seorang warga Ciracas yang sudah menempati lahan itu sekitar 20 tahun lamanya. “Awalnya ini semak belukar lalu kita garap, kita rawat menjadi kebun dan sekarang berkembang menjadi pemukiman,” kata Agus. Bahkan ketika ABI Press berkunjung ke lokasi, tak tampak lagi ada pemandangan kebun sayur di sana kecuali milik Agus, yang berada agak jauh dari pintu masuk pemukiman Kebun Sayur Ciracas. Itupun sudah tidak terlalu luas lahan garapannya.
“Sekitar 400 kepala keluarga tinggal di sini,” kata Agus. Mereka yang awalnya hidup dengan berkebun, kini mulai meninggalkan profesinya. Tinggal Agus Setiadi yang tetap bertahan dengan profesi lamanya, berkebun. “Zaman Soeharto dulu kan swasembada pangan, kita diperbolehkan menggarap lahan yang tidak dipakai,” tutur Agus. Tapi tidak adanya bukti kepemilikan tanah yang sah menjadi polemik tersendiri.
Selain itu, warga pun mengalami banyak kesulitan terkait administrasi kependudukan seperti KTP, KK, Akta kelahiran dan sebagainya. Warga yang memiliki KTP biasanya memperolehnya dari luar daerah. “Karena bikin di sini tidak bisa, katanya pakai surat pindah, sudah kita coba sesuai prosedur pun tidak bisa,” ungkap Agus. Padahal, salah satu hak asasi mereka sebagai warganegara Indonesia adalah memiliki dokumen administrasi kependudukan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 huruf (a dan b) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang menyebutkan bahwa:
“Setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh dokumen kependudukan; dan pelayanan yang sama dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.”
Awal persengketaan lahan itu mulai muncul pada tanggal 4 Juni 2009. Kala itu PPD datang dengan dasar pembenar PP No. 42 Tahun 2003 dan Surat Komnas HAM No. 2.390/K/PMT/VIII/2009 yang menyebutkan bahwa tanah yang ditempati warga Kebun Sayur Ciracas adalah milik PPD melalui surat No. 10/RTP/VI/2009. Pihak PPD mengultimatum warga untuk segera angkat kaki dari kawasan tersebut dan mengosongkan lahan garapan mereka.
Kemudian tanpa adanya musyawarah dengan warga, pihak PPD membangun pos penjagaan dan mematok papan nama yang menerangkan bahwa tanah tersebut milik PPD. Mereka kerap melakukan hal-hal tak terpuji, seperti penarikan pungli hingga penutupan akses jalan yang hanya boleh melintasi pos penjagaan tersebut sebagai akses jalan keluar. Sejak saat itulah warga membentuk Tim Sembilan yang merupakan pengurus penanggulangan permasalahan atau kasus tersebut.
“Sampai sekarang pos mereka masih di sini,” ungkap Agus.
Tim Sembilan berusaha melakukan upaya mediasi dengan pihak PPD, namun nyatanya itikad baik tersebut tak ditanggapi. Kemudian mereka meminta bantuan Komnas HAM yang meski pada awalnya juga tak mendapat tanggapan, akhirnya setelah berkirim surat berkali-kali maka pada 21 Juli 2009 barulah Komnas HAM menerima Tim Sembilan. Namun ternyata upaya Tim Sembilan ini hanya berujung pada Surat Komnas HAM No. 2.390/K/PMT/VIII/2009 yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik PPD.
Akhirnya jalan yang ditempuh Tim Sembilan untuk memperjuangkan hak-hak warga Kebun Sayur Ciracas adalah meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) guna memperoleh pendampingan dari pengacara. Selain itu mereka juga mencari simpatisan dari LBH, organisasi masyarakat (ormas), hingga pemerhati anti penggusuran dan pelanggaran HAM yang kemudian bersedia untuk memberi dukungan.
Sementara itu dari LBH Jakarta selaku pendamping warga Kebun Sayur Ciracas menilai ada beberapa solusi terkait kasus Kebun Sayur Ciracas.
“Yang cocok bagi warga Kebun Sayur Ciracas adalah hak atas rumah dan tanah, serta penataan lahan dan rumah. Kalau hak untuk identitas wajib diberikan,”kata Al-Ghifari Aqsa, selaku pengacara LBH Jakarta. (Malik/Yudhi)