Berita
Wisata Religi Menjahit Masa Lalu dan Masa Kini
Ketapang adalah nama salah satu kabupaten di Kalimantan Barat. Terletak di bagian selatan Kalbar, Ketapang berjarak 562,3 km dari Kota Pontianak.
Terdapat tiga jalur yang dapat ditempuh untuk sampai ke salah satu pusat peradaban tua di Kalbar ini, yakni jalur air (sungai), udara dan darat.
Menggunakan jalur sungai, perjalanan ke Ketapang naik kapal cepat dari Pelabuhan Tua Senghie di Kota Pontianak dengan menyisir perairan Kalbar ini akan memakan waktu ± 6 jam. Sepanjang perjalanan akan kita lihat barisan tanaman bakau laksana benteng alami daratan menghadapi gelombang air yang mencegahnya dari abrasi.
Menuju Ketapang dengan kendaraan pribadi juga dapat dilakukan karena angkutan feri pun tersedia dengan waktu tempuh ± 12 jam perjalanan.
Jika memilih jalur udara, dari Bandar Udara Supadio menuju Bandar Udara Rahadi Osman Ketapang akan memakan waktu ± 40 menit. Lain halnya dengan jalur darat yang butuh waktu ± 13 jam untuk sampai ke Ketapang melewati Jalan Trans Kalimantan.
Hingga saat ini, belum seluruh jalan menuju Ketapang dalam kondisi baik. Sekitar 40 km perjalanan, akan Anda tempuh dengan kondisi jalan tidak laik –untuk tak mengatakannya rusak parah. Belum lagi di sepanjang jalur yang rusak ini kita akan berjumpa dengan 20-an miting –istilah yang digunakan untuk warga lokal yang “menambal” jalan yang rusak parah dengan kayu atau batang pohon agar bisa dilalui pengendara roda 2 dan roda 4. Pengendara yang melalui miting pun harus membayar dua sampai dengan lima ribu rupiah. Persediaan uang kontan dengan nominal tersebut “wajib” disiapkan demi “kelancaran” perjalanan.
Entah mengapa jalan rusak itu terkesan dibiarkan, padahal Ketapang merupakan salah satu pusat industri ekstraktif di Kalbar yang dengannya mengharuskan infrastruktur turut dibenahi sebagai pendukung distribusi hasil industri.
Ada dua industri ekstraktif primadona di Ketapang; bauksit dan sawit, sehingga tak mengherankan jika pemandangan yang kita saksikan di kiri-kanan jalan adalah areal perkebunan sawit, baik berupa bibit maupun pepohonan yang telah beberapa kali dipanen.
Terkait pertambangan bauksit, menurut riset yang dilakukan Swandiri Institute, jumlah unit tambang di Ketapang merupakan yang terbesar di Kalbar, mencapai 156 unit dengan luasan 1.331.231,50 ha. Koordinator Swandiri Institute, Hermawansyah menuturkan, Ketapang menjadi penyuplai bauksit terbesar ke China.
Terlepas dari itu semua, Ketapang menyimpan banyak kisah masa lalu, yang peninggalannya menjadi saksi perkembangan Bumi Tanjungpura.
Salah satu yang populer adalah situs Makam Keramat Tujuh yang berlokasi di Kelurahan Mulia Kerta, Kecamatan Benua Kayong, Kabupaten Ketapang. Hanya lima menit perjalanan dari Istana Kerajaan Matan dengan kendaraan. Melihat komplek pemakaman ini, penat dan suntuk karena beratnya perjalanan pun bakal terobati.
Makam ini cukup populer di kalangan peziarah, baik lokal maupun mancanegara, terutama ketika Hari Raya Islam. Sayangnya, belum diketahui pasti sosok yang dikebumikan di situ, meski beberapa penelitian pernah dilakukan.
Makam Keramat Tujuh merupakan salah satu makam tua di Ketapang yang terbuat dari batu berukir kaligrafi Arab dan huruf Jawa pada kaki makam. Hal ini merupakan bukti akulturasi budaya Islam dan Hindu di Ketapang.
Tempat ini dinamakan Keramat Tujuh karena ketika pertama kali ditemukan hanya terdapat tujuh makam. Seiring waktu, Makam Keramat Tujuh menjadi kompleks pemakaman kerabat Kesultanan Matan yang mangkat.
Terdapat salah satu nisan di Makam Keramat Tujuh yang bertahun 1363 Saka atau 1441 Masehi. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam sudah masuk ke Ketapang sebelum era itu. Ini juga menjadi bukti sejarah penyebaran Islam di Kalbar.
Banyak sekali kepercayaan masyarakat lokal terkait Makam Keramat Tujuh, hingga tak heran jika ada saja peziarah yang datang untuk mencari berkah dan sebagainya.
Selain Makam Keramat Tujuh, ada juga Makam Keramat Sembilan dan Makam Raja-raja Matan yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.
Menziarahi jejak-jejak sejarah ini merupakan upaya mengkoneksikan diri kita yang hidup di era modern ini dengan peradaban masa lalu, setidaknya untuk mengenang dan mengetahui kisah mereka dalam memulai peradaban baru yang Islami di Nusantara. (Hakim/Yudhi)