Berita
Walhi-Jatam Soroti Korupsi dan Gratifikasi Perijinan Tambang
Indonesia merupakan negara surga sumber daya alam. Bahkan menurut Survei USGS (U.S Geological Survey) tahun 2012, ekspor timah Indonesia merupakan terbesar peringkat kedua setelah Cina, ranking lima besar penghasil tembaga dan nikel serta peringkat sepuluh besar penghasil emas serta gas alam.
Kekayaan sumber daya alam Indonesia, tentu sangat menggiurkan bagi para investor dan otomatis para investor akan berusaha menggoda sekuat mungkin pihak pemerintah untuk dapat menanamkan modalnya di bidang pertambangan di Indonesia. Kondisi inilah yang dikhawatirkan banyak pihak akan memunculkan praktek investasi kotor yang berpotensi korupsi.
Kekhawatiran ini disampaikan oleh Bagus Hadikusuma dari Jaringan Tambang (Jatam) dalam diskusi bertema “Korupsi dan Sumberdaya Alam” yang digelar Senin (9/2) malam di aula kantor KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Dalam survey yang pernah dilakukan oleh Jatam terhadap 20 Kabupaten penghasil tambang pada saat menjelang pilkada, jumlah perijinan pertambangan meningkat. Hal itu menunjukkan, “Selalu ada potensi grafitikasi,” tegas Bagus.
Edo Rahman, pembicara dari WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menambahkan bahwa banyak perusahan tambang di Indonesia yang tidak memiliki NPWP dan hal ini tentu akan mempengaruhi pendapatan pajak yang akan diperoleh oleh pemerintah. Mengutip ICW, Edo mengatakan bahwa kerugian Indonesia akibat kasus perijinan dan pajak berkisar sekitar 32 triliun per tahun.
“Belum lagi kerugian akibat kerusakan alam yang ditimbulkan oleh pertambangan itu, yang tentu saja lebih besar lagi kerugiannya,” lanjut Edo.
Para pembicara, Edo, Bagus dan Suratno Kurniawan dari 350Indonesia, sepakat agar pemerintah Indonesia mesti lebih berhati-hati untuk memberikan ijin pertambagan dan KPK harus lebih jeli lagi untuk mengawasi kemungkinan-kemungkinan adanya grafitikasi dari keluarnya perijinan pertambangan yang akan diberikan oleh pemerintah kepada para investor. Karena “Investasi kotor akan menghasilkan sesuatu yang kotor,” pungkas Edo. (Lutfi/Yudhi)