Berita
Upeti Transportasi Publik

Pada momen saling berkunjung antar keluarga saat lebaran, transportasi umum seperti bis adalah pilihan yang logis bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Seperti halnya saya saat memulai kunjungan kepada keluarga di daerah Jawa Timur pun menggunakan transportasi rakyat yang tergolong murah meriah ini.
Setelah menunggu dan melewatkan satu dua bis, akhirnya terlihat juga bis yang di kaca depan sudut kiri terdapat papan kecil bertuliskan “Surabaya”.
Bergegas saya memberi isyarat tangan untuk ikut salah satu armada bis yang namanya sudah sangat dikenal di wilayah Jawa Timur terutama di bagian Timur itu.
Tak seperti biasanya saat menjelang lebaran, ketika saya memasuki bis melalui pintu belakang, tampak masih banyak bangku yang kosong. Saya pun segera mengambil posisi duduk di kursi yang paling dekat dengan pintu belakang bis, tepatnya di deretan kursi paling belakang yang hanya diisi satu orang penumpang saat saya naik.
Sambil menikmati perjalanan saya otak-atik HP, membalas sejumlah pesan yang masuk.
“Surabaya…Surabaya”, teriak kenek dan kondektur bis yang saat itu berada di mulut pintu belakang menawarkan jasa kepada mereka yang tampak sedang menunggu bis di tepi jalan.
“Belakang… Belakang,” teriak kenek bis yang ada di depan saat bis berhenti, meminta penumpang yang akan naik agar masuk lewat pintu belakang.
“Ayo, kosong… kosong,” timpal kondektur bis yang membukakan pintu dan menaikkan penumpang dari pintu belakang. Sambil menaikkan penumpang, kondektur tampak merogoh sakunya dan memberikan sesuatu kepada seorang pria yang mendekati pintu belakang saat bis berhenti sejenak untuk menaikkan penumpang.
“Yo tarik…”, teriak kondektur memberikan aba-aba siap jalan kepada sopir, memastikan bahwa semua penumpang telah naik.
Saya pun masih asyik membuka-buka aplikasi di HP.
Pada momen berikutnya hal yang sama kembali terulang. Saat itu kondektur pun merogoh koceknya dan menyiapkan sesuatu ketika tampak ada penumpang baru yang akan naik, dan.. lagi-lagi dia memberikannya kepada seseorang yang berada di tempat bis tersebut menaikkan penumpang.
Momen seperti itu terus berulang. Entah apa yang diberikan sang kondektur. Penasaran, akhirnya saya pun memberanikan diri untuk bertanya kepada kondektur bis apa yang sejak tadi dilakukannya.
“Biasalah mas, orang yang malas kerja tapi ingin dapat duit,” jelasnya kepada saya.
Terkait berapa besarannya, sang kondektur berkata, “Cukup untuk membeli sebatang rokok lah..”
“Lalu apa ada masalah kalau tidak memberi?” tanya saya penasaran.
“Nggak apa-apa sih mas, tapi kan saya tiap hari kerja di jalan, ya saya tidak ingin juga kalau dapat masalah,” terang kondektur bis yang saat itu sudah berdiri di depan tempat saya duduk.
“Apakah di semua tempat seperti itu?” tanyaku lagi, sambil coba menghitung-hitung, berapa banyak kira-kira yang dikeluarkan kondektur bis untuk biaya “rutin” tersebut.
“Ya hampir di sepanjang jalan dari Banyuwangi ke Surabaya,” jawabnya sambil terus mengawasi kalau-kalau ada penumpang yang mau naik.
Saya pun kembali menghitung ada berapa pertigaan, dimana penumpang biasanya naik dan ada berapa penumpang yang kira-kira naik dalam perjalanan dari Banyuwangi ke Surabaya. Kalau saja dalam satu bis tersebut berisi penuh 60 kursi berarti 60 orang dan tiap penumpang yang naik ada upeti yang harus dibayar oleh kondektur bis, maka kondektur bis harus menyiapkan 60x harga rokok sebatang.
Jika sebatang rokok berharga 2000 rupiah, berarti kondektur bis harus menyiapkan setidaknya 2000 X 60, yang totalnya berarti Rp. 120.000,- hanya untuk “upeti” sekali jalan dari Banyuwangi ke Surabaya.
Mungkinkah kutip-mengutip upeti sudah menjadi budaya masyarakat kita? Sehingga tak hanya orang-orang atas yang melakukan praktik upeti namun di kalangan masyarakat bawah pun upeti sudah menjadi pola hidup dan tradisi sehari-hari? (Lutfi/Yudhi)