Berita
Ulama, Juru Damai atau Pendukung Konflik?
Agresi Arab Saudi dan sekutunya ke Yaman tak hanya menyulut reaksi sejumlah pengamat politik dan aktivis anti perang di Tanah Air, tapi juga menyeret beberapa orang yang mengklaim dirinya sebagai “Ulama Indonesia” ikut-ikutan unjuk sikap dengan mendatangi kantor kedubes Arab Saudi, Sabtu (11/4) lalu.
Apakah langkah itu semata ingin menunjukkan kepentingan dan keberpihakan kepada Arab Saudi selaku agresor? Ataukah karena hal itu justru dianggap bagian dari tugas keulamaan mereka?
Untuk mengetahui seperti apa seharusnya kalangan ulama menyikapi kondisi politik di negara lain khususnya terkait sikap mendukung atau menolak, baik perang maupun perdamaian, berikut ini petikan wawancara tim ABI Press dengan cendekiawan muslim Dr. Muhsin Labib.
Apa sebenarnya ulama itu?
Ulama itu dalam bahasa arab kata jamak dari ‘alim. Secara kebahasaan artinya adalah orang yang berpengetahuan. Orang yang mengetahui itu disebut alim, siapa saja yang mengetahui sesuatu dia disebut alim. Tapi sebagai sebuah predikat permanen secara terminologis, ulama itu artinya adalah sekumpulan orang atau beberapa orang yang mengetahui bidang agama.
Kemudian di Indonesia kata ulama itu memiliki makna singular atau plural, satu orang disebut dengan ulama atau alim mestinya. Secara terminologis artinya agamawan, orang-orang yang mengurusi bidang agama atau ahli dalam bidang agama. Tapi kalau kita melihat arti ulama secara keagamaan, substansi ulama adalah seperti yang disebutkan dalam kitab suci al Quran yaitu siapa yang paling takut kepada Allah, yang takut kepada Allah adalah orang-orang yang berpengetahuan, adalah orang-orang yang mengetahui kedudukan Allah. Nah, itulah yang disebut dengan ulama.
Jadi ulama secara substansial adalah orang yang takut kepada Allah, sebab pengetahuannya tentang Allah dan kebesaran Allah, pengetahuannya tentang agama dan semuanya, maka dia takut kepada Allah. Itu secara substansial. Tapi secara fenomenologis atau secara kenyataannya ulama adalah sebuah atribut yang dilekatkan pada orang-orang tertentu atau diklaim oleh orang-orang tertentu yang disebut ulama.
Di Indonesia secara khusus, memang tidak ada kriteria baku, tidak juga ada proses seleksi yang ketat, sehingga siapa saja bisa dengan mudah disebut ulama, siapa saja bisa menyebut dirinya ulama, siapa saja bisa membuat lembaga yang mengatasnamakan ulama, membawa nama ulama, dan lain sebagainya.
Dalam kenyataannya, di sini ada lembaga yang secara umum populer itu dianggap sebagai merepresentasikan ulama, padahal tidak harus berada di situ dan tidak juga mereka yang ada di situ juga bisa dianggap mewakili ulama dalam pengertian umum, mewakili pandangan agama semua umat Islam yang ada di Indonesia. Tapi masyarakat awam menganggapnya lembaga itu secara resmi merupakan representasi dari umat Islam, sebagai tempat pemuka-pemuka Islam di Indonesia. Jadi memang longgar, siapa saja bisa jadi ulama, makanya ada sebutan derivat dari ulama yaitu, kyai, ustaz, mubalig dan lain sebagainnya. Berbeda dengan di negara lain seperti di Iran dan Mesir, ada kriteria khusus bagi seseorang untuk disebut ulama. Kalau disini kan siapa saja bisa disebut ulama sehingga yang bener-bener ulama dengan yang mirip ulama atau ulama gadungan tidak bisa dibedakan. Sebab masyarakat mengukurnya dari situ.
Yang lebih memprihatinkan lagi karena sudah disebut ulama, semua urusan agama itu seakan-akan sudah diserahkan kepadanya, sehingga posisi yang lain itu betul-betul tidak berhak ikut menentukan mana yang benar, mana yang salah. Semuanya sudah diserahkan dan ditentukan ulama. Nah, di sini cenderung terjadi manipulasi, pemanfaatan. Kadang tujuannya untuk bisnis, untuk kepentingan-kepentingan tertentu, digunakanlah nama ulama, agama dan lain sebagainnya. Ini yang memprihatinkan.
Karena itu masyarakat harus pandai-pandai memperhatikan mana yang bener-bener ulama dan mana yang tidak. Disebutkan dalam sebuah syair oleh seorang penyair Iran terkenal bernama Sa’di, “Betapa sulitnya menjadi manusia, betapa mudahnya menjadi ulama.” Artinya, di sini ingin menunjukkan bahwa manusia itu substansi sedangkan ulama itu predikat, atribut yang bisa disandangkan. Tapi manusia yang menjunjung tinggi etika dan logika, barulah disebut ulama.
Tapi dalam kenyataannya, orang-orang yang menyandang predikat ulama atau orang-orang yang mengklaim dirinya ulama ini malah seringkali tidak berpikir logis dan tidak bertindak etis. Karena begitu mudahnya orang mengaku ulama, maka kita harus hati-hati tentang itu.
Tugas-tugas ulama itu apa saja? Apakah juga bertugas memberikan dukungan kepada negara tertentu yang sedang berkonflik?
Kalau di al Quran disebutkan memang diharuskan bagi sekelompok orang untuk mengutus beberapa orang untuk mendalami agama sehingga setelah mempelajari kembali ke masyarakatnya menjadi orang-orang yang selalu memberikan peringatan-peringatan tentang ajaran agama, dosa-dosa dan lain sebagainnya. Itu yang ada dalam al Quran dan banyak sekali ayat-ayat al Quran yang memang mengutamakan ilmu.
Ulama itu artinya berilmu, ulama itu bukan tampilan. Kalau tidak berilmu ya tidak bisa disebut ulama. Ulama itu ya mestinya karena alim. Ulama, ilmu, ‘alim. Itu kan sudah sambungannya, itu satu rangkaian. Nah, artinya dia harus benar-benar memiliki kapabilitas selain alim. Itu yang lebih penting. Seandainya dia pandai pun, seandainya dia berilmu pun, itu tidak cukup.
Tapi harus juga berperilaku sesuai dengan ilmunya. Nah, sementara di sini orang yang disebut alim itu hanya yang ngomong, yang kerjanya nyuruh orang. Lha kalau cuma nyuruh itu, ya buat apa? Orang alim yang sebenarnya dalah yang amil, dia tidak menyuruh sesuatu kecuali dia melakukannya. Dia tidak melarang sesuatu yang buruk kecuali dia sendiri tidak melakukannnya.
Tapi kenyataannya kan tidak. Dia hanya seperti mesin, hanya ngomong. Setelah itu, apakah yang disampaikan mencerminkan perilaku? Apakah dia mencerminkan perilaku itu? Ternyata tidak mesti juga. Nah, ulama itu tugas utamanya adalah menjelaskan agama, mengayomi masyarakat, menjadi perekat. Bukan malah membingungkan, bukan malah berpihak, bukan malah menjadi pemicu keributan, konflik, dan lain sebagainya.
Yang Anda tanyakan tadi bagaimana sih kok ulama itu tiba-tiba memberikan dukungan? Soal ini saya mempunyai beberapa catatan, beberapa poin yang perlu diperhatikan. Pertama, konflik satu negara dengan negara lain itu sendiri adalah salah bila kita mencampurinya. Artinya, ketika ada sebuah negara mencampuri urusan negara lain, itu sendiri adalah sebuah tindakan salah. Memberikan dukungan lebih salah lagi. Dalam kasus Saudi dan Yaman, saudi mencampuri negara lain. Dimana saja, mau Saudi mau negara manapun, itu tindakan yang tidak bisa dibenarkan, dengan alasan apapun!
Walaupun alasannya itu adalah menolong negara tetangga?
Walaupun alasannya adalah menolong negara tetangga. Karena yang berhak menentukan negara itu sendiri adalah rakyatnya.
Kalau alasannya adalah al Quran yang menyebutkan, “jika salah satu pihak menolak kesepakatan damai, maka perangilah”?
Nah, mereka yang menentukan siapa yang menjadi juru damai, ini yang bermasalah. Kalau ayatnya iya, tapi kemudian mengklaim dirinya sebagai juru damai? Kenapa tidak menyelesaikan Palestina yang lebih dulu? Saya kira tidak ada model begitu. Ketika orang ingin menjadi juru damai, ya harus diterima oleh kedua belah pihak. Kalau dia sudah berpihak kepada salah satu pihak, maka tidak bisa lagi menjadi juru damai. Apalagi fakta-fakta sudah menunjukkan, tidak ada ceritanya orang ingin mendamaikan dengan cara malah menghancurkan.
Karena berdasarkan pada ayat tersebut, ketika didamaikan tidak bisa…?
Faham, saya katakan ayat itu soal siapa yang ingin mendamaikan? Ini kan berposisi, lho Anda ini siapa? Yang mendamaikan itu harusnya pihak yang diterima oleh kedua belah pihak, aklamasi masyarakatnya menerima itu. Ketika masyarakatnya menolak, berarti Anda tidak bisa memaksakan diri mengaku sebagai juru damai. Itu bukan juru damai, tapi punya kepentingan untuk menetapkan satu pihak tertentu menang atas pihak lain. Jadi, mau Saudi, atau negara manapun, saya tidak bicara Saudi secara khusus, tapi negara manapun, mencampuri urusan orang lain itu tidak boleh. Mencampuri urusan negara lain, mencampuri rumah tangga orang lain, mencampuri dalam hal apapun, dia tidak punya hak melakukan itu.
Kalau negara tetangga tersebut meminta bantuan pertolongan dari negara terdekat?
Nah, minta tolong itu kan harus mewakili siapa yang minta tolong, dia kan harus merepresentasikan masyarakat. Ini tidak ada buktinya, apalagi satu orang yang lari malah minta tolong. Dia yang lari itu mestinya ditangkap, karena dia meninggalkan rakyatnya. Dengan dia lari itu berarti dia tidak merepresentasikan masyarakatnya, jelaslah.
Saya lari dari rumah karena diusir oleh yang punya rumah, lalu saya mengatasnamakan yang punya rumah itu. Ndak ada logika yang bisa menerima, itu logika yang paling sederhana, idiot saja tidak bisa membenarkan itu. Kemudian kalau tujuannya mendamaikan itu, bukan kemudian dia mengirimkan tentaranya, jet-jetnya untuk ngebom. Sekarang sudah hampir lebih dari 500 anak dan perempuan meninggal, karena keinginan Saudi untuk menjadi juru damai ini. Jadi jelas tidak ada yang bisa membenarkan itu.
Alasan lainnya adalah untuk mengamankan kota suci Mekah dan Madinah agar pelaksanaan ibadah haji tidak terganggu, sebab jika konflik di Yaman menyebar ke Saudi maka dikhawatirkan prosesi haji akan terganggu. Bagaimana pandangan Anda?
Lebih lucu lagi itu. Bayangkan, Saudi negara yang aman, tenteram, kuat, dilindungi oleh Amerika, dilindungi oleh siapapun. Terlalu naif menganggap bahwa Saudi itu akan diganggu oleh sekelompok orang yang katanya pemberontak, yang katanya kecil, yang sarungan, yang ndak punya senjata itu. Makin jauh itu. Itu pun kalau mereka bisa masuk ke Saudi, tapi ini buktinya malah Saudi yang masuk wilayah Yaman.
Asumsi itu terlalu naïf. Jadi tidak ada yang bisa membenarkan alasan itu, kenapa? Sebab Israel lebih memungkinkan (masuk ke Saudi). Atau jangan-jangan ternyata yang berbahaya bagi Saudi itu bukan Israel, tapi Houthi yang lebih berbahaya? Sama Israel lalu bagaimana? Oh, berarti Isarel itu tidak ada kemungkinan menguasai Saudi? Memangnya Israel bukan musuh?
Jadi dalilnya ini malah menunjukkan bahwa Saudi itu tidak terganggu oleh Israel yang kemungkinan akan menguasai Mekkah atau Madinah atau menghancurkannya. Ternyata Saudi lebih takut kepada Yaman yang lemah, yang miskin, yang tidak punya senjata, tidak punya pesawat tempur, tidak punya apa-apa ini.
Lalu kenapa dengan cara membombardir? Mestinya Saudi tidak memancing musuh untuk masuk ke wilayahnya. Dengan agresi begini berarti kan mereka sudah tahu bakal terjadi pertempuran. Kalau keadaan berbalik, musuh makin masuk ke Saudi, berarti yang menginginkan penghancuran Saudi dan Mekah serta Madinah adalah Saudi sendiri.
Itu pertama, jadi mencampuri urusan negara lain itu tidak ada yang benar, mau alasan agama, mau alasan etika, logika, tidak ada yang bisa membenarkan. Kedua, kita sebagai warganegara Indonesia, seandainya kita pejabat pun, tetap tidak punya hak untuk mencampuri urusan negara lain. Apalagi kita bukan sebagai apa-apa, bukan sebagai pejabat negara, hanya seorang ulama. Coba tanya orang-orang yang mendatangi kedubes Saudi itu, ulama darimana dan dimana kamu? Kamu keluar dari teritori Indonesia, bukan lagi ulama. Karena kamu sebagai ulama bagi orang-orang yang mempercayaimu, itupun tidak merepresentasi semua umat Islam di Indonesia, tidak semua orang perrcaya pada keulamaan kamu. Karena itu, tadi pertama saya tekankan, jangan mencampuri urusan negara lain, pun kalau ingin menyikapi dalam tata hubungan internasional itu mestinya ya Kementerian Luar Negeri. Jika tidak, bila ada warganegara mencampuri urusan negara lain, ini yang disebut dengan indikasi adanya ideologi transnasional.
Bagaimana bila alasan mereka adalah karena anggapan bahwa apa yang terjadi di Yaman akan diekspor ke Indonesia?
Kekhawatiran? PKI juga ekspor, semuanya ekspor. Islam juga ekspor, kalau bukan ekspor masa dari Saudi bisa masuk ke sini? Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi mencampuri urusan negara lain dengan alasan Anda sebagai warga negara Indonesia, apa hak Anda?
Jelaslah ini ada upaya untuk menjustifikasinya menjadi sebuah masalah agama, sehingga apa? Sehingga bisa dibenarkan aksi pengeboman itu. Anda mendukung tindakan yang mengakibatkan satu nyawa melayang saja berarti ikut melakukan, apalagi memberikan dukungan dengan mendatanginya dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Media itu juga perlu memperhatikan saat membuat judul berita “Ulama Indonesia Mendukung Agresi dan Invasi Saudi ke Yaman.” Kenapa menyebut ulama Indonesia? Padahal faktanya hanya beberapa orang, kemudian dikatakan ulama Indonesia, seolah mewakili semuanya? Ini jelas-jelas manipulasi.
Tapi di antara mereka (yang mendatangi kedubes Saudi) juga kan ada yang memiliki posisi di Ormas Islam?
Apapun namanya, tidak bisa Anda mengatakan, hanya karena satu orang, dua orang, tiga orang, lalu menamakannya seolah mewakili semua orang. Kenapa tidak sekalian menyebutnya “Umat Islam Indonesia” saja kalau begitu. Anda katakan beberapa ulama, beberapa orang yang diakui sebagai ulama, memberikan dukungan. Itu masih bisa diterima oleh sebagian orang. Tapi kalau ulama Indonesia mendukung, lha Indonesia ini kan besar, hanya beberapa gelintir orang ya ndak cukup merepresentasi, apalagi bila tidak semua orang menganggap mereka sebagai ulama.
Jadi jangan katakan “Ulama Indonesia Mendukung Saudi.” Jelas-jelas itu pembodohan. Tapi kalau “Beberapa Ulama Datang ke Kedutaan Saudi Memberikan Dukungan,” nah, itu boleh lah.
Walaupun dengan semua alasan yang telah saya sebutkan tadi?
Lho iya, suruh saja bawa semua alasannya itu, bakal ditolak oleh masyarakat. Saya sebagai orang Indonesia mengurusi konflik di negara lain? Orang akan bertanya, lha kamu ini siapa? Merepresentasikan negara juga tidak! Bahkan ternyata negara yang selama ini, awalnya menyatakan mendukung Saudi, sekarang menarik diri. Ini tandanya kita punya masalah sendiri. Negara kita ini punya banyak masalah, tidak sampai perlu ngurusin negara lain, di sini banyak korupsi, banyak penyimpangan, narkoba, segala macam. Mau ngurusin negara lain yang jaraknya ribuan kilo dari kita, memangnya kurang kerjaan? Jangan-jangan ada sesuatu? Maka itu kemungkinannya hanya dua, naif atau tendensius.
Apakah yang mereka lakukan itu bukan merupakan tugas dari ulama?
Tugas ulama ngurusi atau intervensi urusan negara lain itu tidak ada. Kenapa tidak kasus-kasus sebelumnya juga disikapi? Sekalian saja semua konflik-konflik internasional ditanggapi! Tidak ada! Jadi jelaslah kalau mau menjadi ulama yang baik malah semestinya memberikan dorongan kepada Saudi untuk kembali ke meja perundingan dan itu kalau berkepentingan untuk mendamaikan, tempuhlah jalan damai. Mau damai tapi yang ditempuh bukan jalan damai, ini kan paradoks! Dan tidak perlu diskusi masalah ini, ibaratnya sudah selesai lah kitabnya. Artinya, tidak ada orang waras bakal mendukung tindakan kekerasan.
Kalau justfikasinya membawa ayat untuk menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Saudi itu adalah benar dan Saudi juga mengatakan ini adalah permintaan pemerintah Yaman yang sah?
Sekarang yang melakukan perlawanan adalah tentara Yaman. Apakah satu orang dapat mewakili? Untuk membombardir semua rakyat Yaman? Sudah lah, alasan itu jangan dibawa-bawa lagi. Tidak ada orang membawa itu, pengamat juga tidak ada yang menggunakan argumen-argumen itu.
Meski argumen dari al Quran?
Iya! Tidak ada! Al Quran digunakan untuk membunuh orang? Saya bisa menyatakan Anda untuk dibunuh dengan ayat, apa semudah itu? Khawarij melakukan itu, Ali bin Abi Thalib dibunuh karena mereka menggunakan ayat. Jadi ini malah mencerminkan ideologi transnasional. Dulu kita bicara tentang ideologi transnasional kelompok-kelompok teroris, lho ternyata cara pandang ini juga mencerminkan ideologi transnasional.
Anda warganegara Indonesia bukan warganegara Saudi, Anda tidak tahu persoalan Yaman, tidak mengikuti kronologi sejarah konflik-konfliknya, tiba-tiba Anda memberikan dukungan. Oh, berarti Anda merasa punya bagian dari ini. Lihat tulisannya Said Agil Siradj di Kompas yang cukup menohok mengingatkan kita, “jangan mencampuri yang bukan urusan Anda. kembali ke negara Anda, bangsa Anda, rakyat kita perlu untuk dibenahi.” Nah, begitu seharusnya.
Lha ini yang mereka lakukan, semakin menegaskan mereka sudah kehilangan legitimasinya sebagai ulama.
Walaupun alasannya seperti yang telah saya utarakan tadi, seperti lebih pada ketakutan ideologi Houthi ditransfer ke Indonesia?
Emangnya Houthi itu siapa!? Siapa Houthi itu!? Houthi itu melakukan apa!? Mana bukti-buktiya Houthi melakukan sesuatu!? Ada buktinya? Houthi itu merepresentasikan masyarakat Yaman, Houthi bukan satu kelompok. Yaman Utara itu semuanya Houthi, dipikir Houthi itu satu kelompok kecil begitu!? Houthi itu seperti NU di Indonesia.
Nah ulama-ulama ini perlu baca, perlu wawasan. Siapa Houthi itu? Bagaimana perkembangannya? Bagaimana Yaman itu? Houthi kok ditulis dan disebut pemberontak! Lha kalau pemberontak itu merepresentasikan rakyatnya, apa masih mau tetep dicap pemberontak? Lha kita ini juga dulunya pemberontak terhadap penjajah Belanda. Pemberontak, tapi pemberontak yang merepresentasikan keinginan masyarakat. Jadi, apa pemberontak itu? Kalau mengusir koruptor, rezim boneka, ya bagus itu! Saat Reformasi, kita dulu juga memberontak terhadap Soeharto.
Terus disebut apa ketika sejumlah orang yang mengaku ulama mengunjungi salah satu kedubes negara yang berkonflik dan menyatakan dukungannya?
Ya, itu memalukan rakyat Indonesia. Mereka itu melakukan tindakan dengan mengatasnamakan rakyat Indonesia, mengatasnamakan umat Islam Indonesia. Sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Seharusnya mereka berposisi dimana?
Ya namanya ulama mestinya mengayomi, memberikan masukan-masukan untuk damai. Klarifikasi, banyak yang bisa dilakukan, kok malah mendukung salah satu pihak untuk melakukan bombardir. Sedangkan yang paling representatif di Indonesia itu ya NU dan Muhammadiyah. Sedangkan mereka ini mewakili siapa?
Di antara mereka ada orang NU dan Muhammadiyah juga kan?
Person, tapi bukan lembaga yang melalui Muktamar dan merepresentasikan masyarakat NU. Kalau cuma satu orang, masa bisa disebut mewakili. Mereka ini person-person, tidak punya gaung, tidak punya pengaruh apapun, artinya tidak bisa mengatasnamakan NU atau Muhammadiyah. Saudi juga jangan terlalu bangga dengan dukungan ini, ndak ada apa-apanya bagi rakyat Indonesia.
Mau lihat rakyat Indonesia? Lihat sosial media, lihat masyarakat kumpul, bagaimana sih sikap mereka terhadap Saudi, mereka punya masalah dengan rezim Saudi. Suruh selesaikan masalah kezaliman terhadap para TKI asal Indonesia itu, jadi jangan terlalu gembira. Indonesia dengan kesadaran tentang Islam citarasa Indonesia, sudah tidak lagi gampang silau dengan baju-baju gamis dan longdress-longdress.
Lalu bagimana umat Islam seharusnya memandang ulama yang keluar dari jalur tugas mereka?
Ditinggal, tidak ada pengaruhnya apa-apa. Mereka itu separuhnya dibesarkan oleh media-media tertentu, tetapi tidak di hati masyarakat. Masyarakat ini cerdas, saya ini bergaul, saya tahu, rakyat ini cerdas, lebih cerdas dari mereka. Lho iya! Orang lebih suka mendengarkan motivator daripada ulama atau ustaz, buktinya Mario Teguh lebih populer.
Karena itu harus cepat-cepat evaluasi, jangan terus-terusan ikut terlibat dalam konflik, jangan menjadi bagian dari konflik-konflik, jangan ikut mengatakan ini sah ndak sah, siapa kamu? Kamu pemegang KTP Yaman!? Pemegang KTP Saudi!? Tahu deritanya orang-orang Yaman?
Jika tidak tau apa-apa, cara yang paling baik itu kalau ndak mendamaikan ya diam. Berdoa, tunjukkan perilaku yang mengayomi. Sebenarnya siapa yang mau mendengarkan mereka di sana? Tidak Yaman! Tidak juga Saudi! Jadi lebih baik hemat sikap, hemat ngomong, fokus pada prioritas. Lha mereka ini gagal paham prioritas, tidak tahu mana prioritas, mana yang perlu diperhatikan, ngomong ke sana kemari seenaknya. Kasihan.
Kalau terhadap umat Islam dan masyarakat Indonesia, apa pesan-pesan Anda agar dapat memandang ulama yang di Indonesia dapat dengan mudah disandang oleh siapa saja, tanpa ada komvensi atau ujian khusus?
Rakyat Indonesia, umat Islam Indonesia harus memperhatikan substansi, jangan silau dengan tampilan, jangan silau dengan busana, jangan silau dengan retorika. Perhatikan saja substansi keulamaan dan perilaku mereka, dari pernyataannya, dari sikapnya. Bahkan menurut saya, yang perlu memperbaiki sikap itu adalah ulamanya bukan masyarakatnya.
Ulama yang berperilaku baik akan diterima oleh masyarakat. Sudah waktunya jangan ngomong saja, tunjukkan dalam bentuk perilaku, dalam bentuk sikap. Itu lebih memberikan pengajaran kepada banyak orang. Orang lebih mengikuti perilaku dan sikap daripada omongan.
Tapi pada zaman dulu masyarakat Indonesia kan lebih mendengarkan ulama daripada yang lain, apakah ini berarti telah terjadi pergeseran perlakuan kepada para ulama?
Karena pada masa itu posisi ulama benar-benar dijaga. Orang yang menjadi ulama benar-benar ulama yang hidup bersama masyarakat, tahu deritanya, menjadi pengayom, perekat, bukan menjadi pemecah belah. Lihat saja Sunan-Sunan itu, itu kan perilakunya ulama. Lihat kyai-kyai besar sebelumnya, itu sudah cukup kalo tidak harus sampai ke Sunan-Sunan, kyai-kyai tertentu itu sudah bisa memainkan perannya. Tapi ketika mereka masuk dalam politik, ikut dukung sana, dukung sini, maka hilanglah wibawanya. Mereka kehilangan kehormatannya, kehilangan pesonanya dan tidak ada tempat lagi di hati rakyat.
Apa penyebab pergeseran yang terjadi pada ulama hingga seperti saat ini?
Ketidaksiapan untuk menjadi ulama. Karena untuk menjadi ulama itu harus punya kesiapan-kesiapan. Saya dulu pernah belajar dalam ilmu akhlak, nasihatnya adalah “kalau Anda sekiranya tidak cukup kuat untuk menjadi ulama, menanggung beban ini, sebaiknya menjadi orang biasa saja.” Karena bebannya berat, kalau berbuat baik akan mendapatkan pahala berganda karena orang akan mengikutinya, karena perilakunya. Tapi kalau berbuat dosa, dosanya juga berganda, karena akan dianggap oleh orang-orang, bahwa itu adalah kebenaran.
Orang akan mengatakan ”dia saja yang ulama, yang mengerti agama begitu, ya bagaimana saya.” Maka itu disebutkan dalam al Quran kepada istri-istri Nabi juga ada, “wahai istri-istri nabi, kamu tidak seperti wanita-wanita lain.” Posisi kamu lebih terhormat. Artinya apa? Kalau kamu berbuat baik, pasti kamu akan mendapatkan pahala berganda karena orang mengikuti kamu. Tapi kalau kamu berbuat buruk, ya kamu nanti akan juga dinilai karena keburukanmu berdampak pada masyarakat.
Nah, kalau ada orang berani menyatakan diri sebagai ulama, berarti dia harus rela untuk dinilai, untuk diawasi, untuk diperhatikan, untuk dikritisi, itu risikonya. Jangan cuma enaknya mau jadi ulama dengan semua penghormatannya tapi tidak mau dikritisi, kecuali Nabi yang memang sudah pasti benar. Lha kalau mereka, kan manusia biasa. Jadi jangan tersingung kalau perilakunya dinilai tidak mencerminkan ulama.
Masyarakat saat ini cerdas, sehingga tidak semudah itu Anda menjadi ulama, kemudian orang lain hanya akan langsung mendengar omongan Anda. Tapi masyarakat akan menimbang dulu, logis atau tidak, masuk akal atau tidak, bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan atau tidak, apa-apa yang Anda omongkan.
Jelas-jelas mendukung agresi terhadap satu bangsa, itu bertentangan dengan Hak Asasi Manusia, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar yang menolak penjajahan. Mau pakai dalil agama, mau pakai penafsiran ayat? Tidak akan pernah bisa ayat itu diputar-putar, tidak bisa! Bahwa Anda menafsirkannya sesuai dengan pandangan Anda, sesuai dengan kontrak-kontrak hubungan perjanjian bisnis dan sebagainya, itu bisa! Tapi ayat itu sendiri, ia akan berada dalam kesuciannya. Tidak akan bisa orang mengotak-atik ayat, tapi hanya bisa menafsirkannya.
Di satu sisi sebenarnya mereka menolak atas terbunuhnya warga sipil yang ada di Yaman, mereka juga menginginkan yang disebut pemberontak itu bisa ditumpas karena kekhawatiran ideologi mereka akan diekspor ke Indonesia. Jadi?
Yang perlu diperhatikan, yang perlu dikhawatirkan itu adalah ideologi ISIS. Kenapa sih kok muter-muter kesana kemari? Ini cara-cara untuk memanipulasi, untuk mengalihkan dari ancaman ISIS yang menggorok umat Islam, mau Syiah atau Sunni. Sementara Houthi, tidak punya cita-cita membangun khilafah, tidak punya keinginan untuk pindah ke tempat-tempat lain. Kelompok ini urusannya ya urusan negaranya sendiri. Ini gerakan nasionalis murni, ndak ada hubungannya dengan khilafah, tidak ingin membangun pemerintahan internasional, tidak pernah memperagakan aksi menggorok kepala orang atau membunuh orang atau menghancurkan masjid, tidak menghancurkan makam. Tidak ada itu!
Jadi jelas-jelas ini tendensius, jelas-jelas manipulatif, alhamdulillah banyak orang cerdas. Saya sendiri optimis.
Kekhawatiran lain adalah jika Houthi itu masuk ke Saudi dan mereka ini digambarkan sebagai teroris maka akan masuk ke Mekkah dan Madinah?
Tidak! Pemberontak itu bukan teroris, pemberontak itu adalah terhadap rezim yang berkuasa. Houthi kok disebut teroris? Houthi itu pemimpin ormas resmi terbesar di Yaman, bernama Ansharallah. Ormas ini resmi, tidak menutup identitas, visinya religius nasionalis, tidak memimpikan khilafah, tidak juga meneriakkan negara monolitik berdasarkan satu sekte, tidak menghancurkan makam-makam, dan situs-situs sejarah. Singkatnya, inilah gerkan reformasi, yang diinginkan rakyat.
Houthi ini punya partai, punya perwakilan, punya juru bicara. Terbesar di Yaman. Bukan yang pakai tutup-tutup kepala, orang-orangnya bisa ditemui dan hadir dalam pemakaman Raja Abdullah. Pidatonya terang-terangan, tidak ada yang perlu ditutup-tutupi.
Makanya perlu disadari bahwa Anda diperhatikan oleh banyak orang dan yang lebih pinter dari Anda banyak, yang bisa baca kitab seperti Anda banyak, yang tahu nahwu-sharaf banyak, yang doktor juga banyak. Jadi please santai saja, jangan kemaruk pada atribut-atribut ulama.
Jangan-jangan mereka ini adalah kelompok-kelompok yang mendukung ekstremisme.
Atau apakah ini adalah tandingan dari demo oleh Aliansi Anti Perang yang mengecam agresi Saudi beberapa hari lalu?
Boleh jadi! Dengan itu mungkin mereka ingin berusaha mempengaruhi opini umat Islam di Indonesia. Dulu, mungkin bisa! Dulu, sebelum orang itu jengah terhadap ISIS dan ekstremisme. Sekarang masyarakat sudah mau muntah terhadap semua jenis ektremisme, maka tidak akan berhasil, sadari itu! Saudi sedang berada dalam blunder, cari dukungan sana-sini! Lho katanya lawannya cuma pemberontak miskin pakai sarung, Saudi kan punya senjata-senjata tempur, mengapa kok sampai perlu dukungan sana-sini? Coba kalau mencari dukungan untuk melawan Israel, itu masih lumayan. Ini kan jelas-jelas ada yang tidak beres!
Israel…! Israel…! Pak Saudi! Pak ulama-ulama! Pak kyai-kyai, jangan lupakan Israel…!
Rupanya mereka sudah lupa jalan ke Palestina karena sudah terlalu lama dibiarkan.
Pada kenyataannya, sejumlah media menyebutkan Israel kan bergabung dengan koalisi, menurut Anda?
Kalau begitu ya sudah jelas. Berarti mereka ini mendukung negara yang didukung oleh Israel, makin jelas itu!
Sikap masyarakat saat ini terombang-ambing dalam pusaran pemberitaan dan keputusan sebagian orang yang mengaku ulama. Apa yang seharusnya masyarakat lakukan?
Intinya jangan campuri urusan negara lain, minimal kalau ndak mau menolak, ya jangan mendukung!
Cara ini lebih baik, kalau mau lebih berhati-hati diam, pasif nunggu proses berikutnya. PBB, Dewan Keamanan, punya mekanisme untuk mengatasi itu. Anda yang cuma dari pojok-pojok kota ini mau datang memberi dukungan, tidak ada pengaruhnya apa-apa itu!
Itu cuma getar-getar kecil ndak ada pengaruhnya. Jadi kalau kita tidak tahu, takut salah menyikapi, jangan ceroboh, diam saja! Yang penting tetap saja gaungkan pesan perdamaian. Itulah cara terbaik memberikan masukan kepada siapapun yang berkonflik, mau ke kelompok yang dianggap pemberontak maupun ke Saudi yang konon merasa ingin menegakkan demokrasi. Meski terus terang saja agak terdengar lucu bila Saudi ingin menegakkan demokrasi.
Masyarakat, kalau mau, mending minimal diam saja lah. Tetaplah mendukung penyelesaian politik, bagaimana semua pihak bisa ikut berunding, begitu semestinya. Bukan malah ikut dukung-mendukung, salah itu! (Lutfi/Yudhi)