Berita
Ulama Islam Harus Bersatu Bendung Penyebaran Takfirisme
Fenomena Takfirisme akan terus menjadi problema dan duri dalam tubuh umat Islam jika kaum alim ulamanya berdiam diri. Singkirkanlah kepentingan pribadi dan golongan, bersamalah dalam satu suara menentang takfirisme, membantah keyakinan-keyakinan batil mereka, sehingga informasi tersebut secara meluas sampai kepada masyarakat. Dengan demikian, semakin banyak umat Islam yang sadar dan generasi muda Islam terselamatkan dari penyimpangan aqidah dan saling membantai sesama muslim.
Hujjatul Islam wa Muslimin DR. Mahdi Farmaniyan, Rektor University of Religions and Denominations Qom Republik Islam Iran dalam penjelasannya mengenai defenisi kufur menyebutkan, kekufuran yang berhadapan dengan iman berbeda dengan kekufuran yang berhadapan dengan Islam. Ia berkata, “Seseorang yang dikarenakan kejahilannya atau terkena syubhat dan informasi yang salah mengenai ajaran inti dalam Islam yang dengan itu dia mengingkarinya, maka dia tidak bisa dikategorikan sebagai orang kafir.”
Fenomena takfirisme (mengkafirkan sesama umat Islam) hari ini tidak hanya membawa bencana bagi dunia Islam tapi juga seluruh masyarakat dunia. Takfirisme yang dianut militan-militan bersenjata seperti ISIS bukan hanya mengkafirkan penganut agama lain, namun juga siapapun yang bertentangan dan tidak menerima pendapat mereka, meskipun itu ahli kiblat sekalipun. Hal tersebut bisa dilihat dari fatwa-fatwa yang dirilis oleh ulama-ulama mereka, yang menghalalkan darah bagi siapapun yang menentang mereka, sehingga pembunuhan dan pembantaian ratusan bahkan ribuan manusia menjadi sarapan harian mereka.
Untuk memahami dengan benar konsep kekufuran dalam Islam dan siapakah yang dimaksud golongan Kafir itu dalam terminologi Alquran, Hujjatul Islam wa Muslimin DR. Mahdi Farmaniyan membicarakan khusus mengenai hal ini.
Bagaimana pandangan Alquran mengenai Takfirisme dan siapakah yang dimaksud dengan golongan kafir itu?
Masalah kekufuran adalah diantara masalah penting dalam Islam yang dibahas pada banyak ayat dalam Alquran. Dengan merujuk dari Alqan dan Sunnah, ulama-ulama Islam membagi kekufuran itu dalam dua bentuk. Pertama, kekufuran yang berhadapan dengan iman, dan yang kedua, kekufuran yang berhadapan dengan Islam. Yaitu, suatu waktu kata “kufur” itu bisa berlaku secara mutlak yang ditujukan kepada siapa saja yang bukan beragama Islam. Dan juga dalam kondisi tertentu bisa ditujukan kepada orang-orang yang meskipun secara lahiriah mereka beragama Islam.
Mengatakan seseorang telah keluar dari Islam adalah tindakan yang sudah seharusnya dilakukan secara hati-hati dan tidak serampangan. Sementara kekufuran yang berhadapan dengan iman, konteksnya jauh lebih luas. Untuk lebih mudah memahaminya seperti ini. Kekufuran yang berhadapan dengan Islam contohnya seseorang yang menyatakan diri secara sadar keluar dari Islam, atau menyatakan dan meyakini hal-hal yang dapat membatalkan keislamannya, atau siapapun yang tidak mengimani inti pokok dalam ajaran Islam maka mereka tidak disebut muslim dan hukum-hukum Islam tidak berlaku atas mereka. Orang-orang itulah yang kemudian mendapat penisbatan sebagai orang-orang Kafir.
Namun perlu ditekankankan mengenai syarat-syaratnya, yaitu seseorang yang mengingkari ushul agama itu bukan orang yang jahil dan sadar sepenuhnya atas pengingkarannya itu. Jadi faktor kejahilan atau ketidaktahuan bisa menjadi penghalang seseorang yang mengingkari ushul agama itu disebut kafir.
Yang kedua, perbedaan dalam penafsiran dan interpretasi. Jika seorang muslim yang merujuk kepada Alquran dan Sunnah tetapi kesimpulan yang diambil dari hasil analisa dan penafsirannya justru bertentangan dengan ushul agama, namun dikarenakan ia tetap menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai rujukan, maka diapun tetap tidak bisa dikatakan sebagai orang kafir.
Misalnya seperti ini. Jika kita memperhatikan mengenai hasil-hasil penelitian para pemikir dan peneliti muslim, tidak sedikit dari mereka yang menyampaikan kesimpulan yang bisa dikatakan bertentangan dengan ushul agama. Seperti misalnya munculnya pendapat mengenai ketidakrasionalan wahyu. Mereka berpendapat tidak mungkin terjadi komunikasi antara Tuhan yang nirbatas dengan Nabi yang merupakan makhluk dan materi yang terbatas. Meskipun secara dzahir pendapat ini mengingkari kenabian, namun mereka tidak bisa dikategorikan kafir sebab hal tersebut berkaitan dengan interpretasi yang salah.
Yang ketiga adalah syubhat ilmiah. Seseorang yang sedang dalam penelitiannya mencari Tuhan namun karena ketikdakmampuannya menemukan bukti yang sepenuhnya menyakinkan dia, maka dia berkesimpulan Tuhan itu tidak ada. Orang seperti inipun tidak serta merta bisa dikategorikan sebagai kafir. Melainkan dia berhak lebih dulu mendapat jawaban dan penjelasan dari syubhat-syubhat ilmiah yang dihadapinya.
Jadi ada tiga hal yang lebih dulu dipertegas dan ditekankan sebelum memvonis seseorang itu kafir atau keluar dari Islam, yaitu persoalan ketidaktahuan, metode dalam pemahaman (interpretasi) dan syubhat ilmiah. Karenanya yang dimaksud orang kafir, adalah orang yang memilih keyakinannya itu bukan karena kejahilan (ketidaktahuan), tidak sedang menafsirkan dan juga mereka tidak sedang berhadapan dengan syubhat. Jika dalam keadaan seperti itu, kemudian ia memilih untuk mengingkari ushul Islam, maka dia baru bisa dikatakan orang Kafir.
Sekarang, yang perlu diketahui, bentuk pengingkaran seperti apa yang bisa membuat seseorang terkategorikan kafir?.
Seperti yang dikatakan sebelumnya. Bentuk pengingkarannya adalah pada ushul agama atau pokok-pokok penting dalam agama. Dengan merujuk pada Alquran dan Sunnah kita bisa memahami diantara ushul agama adalah masalah tauhid atau pokok penting dalam agama seperti wajibnya shalat. Jika ada yang meyakini misalnya Tuhan itu berbilang, salat dalam Islam tidak wajib, atau Nabi Muhammad Saw bukan nabi, dengan syarat dia tidak jahil dan dapat informasi mengenai ushul dan pokok-pokok penting dalam agama, tidak melakukan penakwilan, dan tidak pula berhadapan dengan syubhat ilmiah maka dia disebut orang Kafir.
Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw, barangsiapa yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat maka dia seorang muslim selama dia tidak mengingkari persoalan penting dalam agama. Dengan persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan, jika masih ada pada diri seseorang, maka tetap bagian dari umat Islam. Jadi seseorang dikatakan Muslim setelah mengucapkan dua kalimat syahadat dan untuk mengeluarkannya dari Islam membutuhkan banyak syarat yang berat. Keluarnya itu disebabkan misalnya mengingkari suatu ajaran penting dalam Islam dan itu diyakininya secara sadar, sementara dia sudah mengetahui hakikat Islam sesungguhnya dan tanpa syubhat apapun, maka dia bisa terkategorikan murtad dan keluar dari Islam. Karena itu, dalam banyak hal kita semestinya cukup memperhadapkan kekufuran dengan iman, yaitu seorang bisa saja bukan Mukmin namun dia tetap terkategorikan sebagai Muslim. Dengan pemahaman seperti ini, banyak firqah-firqah menyimpang dalam Islam namun tetap bisa disebut sebagai umat Islam.
Lantas menurut anda, mengapa pemahaman Ibnu Taimiyah seringkali dianggap sebagai sumber pemikiran takfiri yang berkembang sekarang?
Dalam membahas pemikiran Ibnu Taimiyah, terdapat perbedaan pendapat. Disebutkan dibeberapa kondisi Ibnu Taimiyah memperhadapkan kekufuran dengan Islam, dan tidak memiliki pengklasifikasian mengenai kekufuran yang berhadapan dengan iman. Dan sayangnya pendapat ini pula yang dipegang kuat oleh Takfiri saat ini, yang menjadi landasan pemikiran mereka dengan sedemikian mudah mengkafirkan umat Islam yang tidak sependapat dengan mereka. Namun jika kita meneliti lebih dalam mengenai pemikiran Ibnu Taimiyah, apakah benar ia berpahaman Takfiri atau tidak, maka kita menemukan fenomena yang menarik. Bahwa misalnya Rasyid Ridha, Hasan al Banna dan pemikir muslim lainnya yang terpengaruh dengan pemikiran Ibnu Taimiyah, tidak termasuk memiliki pemahaman Takfiri.
Tidak sedikit pemikir Islam yang terpengaruh pemikiran Ibnu Taimiyah, namun masih tetap meyakini bahwa umat Islam yang disebabkan amal mereka tidak serta menjadi penyebab mereka keluar dari Islam. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pemahaman keislaman dan ilmu syariat yang sangat luas. Menurut mereka, Ibnu Taimiyah membagi kekufuran itu menjadi dua, yaitu kekufuran mutlak dan kekufuran mu’ayyan. Namun kebanyakan adalah orang-orang yang mengklaim diri menghidupkan kembali pemikiran Ibnu Taimiyah tapi tidak disertai dengan keluasan ilmu sehingga justru lebih banyak memberi bencana bagi umat Islam, seperti Muhammad bin Abdul Wahab, seperti al-Qaedah, ISIS, Salafi Radikal dan lain-lain. Mereka berkeyakinan bahwa yang bertawassul terhadap orang-orang saleh yang telah meninggal dunia adalah kesyirikan, pelakunya telah murtad, dan halal darahnya untuk ditumpahkan dan ucapan-ucapan takfirisme lainnnya. Dan sayangnya, mereka yang saat ini mendominasi dan disebut sebagai pewaris pemikiran Ibnu Taimiyah.
Lebih singkatnya, amal, kelakuan dan aqidah kelompok takfiri hari ini sama halnya kelompok Khawarij di zaman Rasulullah Saw. Sebagaimana Khawarij mereka juga memahami Alquran secara tekstual, parsial dan tanpa melalui pengkajian yang mendalam sehingga dalam kesimpulannya, mereka mengeluarkan fatwa-fatwa yang mudah mengkafirkan umat Islam lainnya. Bahkan pengkafiran itu terjadi tidak jarang malah dalam internal mereka sendiri. Seperti kita lihat saat ini, ISIS mengkafirkan Jabhah an Nusrah begitupun sebaliknya, bahkan mereka terlibat dalam konflik senjata satu sama lain.
Pemahaman mereka sangat dangkal mengenai Alquran. Seperti misalnya dalam ayat, “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” Mereka memahaminya, bahwa siapapun yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia telah kafir dan keluar dari Islam.
Padahal frase kufur dalam ayat tersebut tidak berhadapan dengan Islam, melainkan berhadapan dengan iman. Dan pendapat ini pula yang dikemukakan ulama Ahlusunnah sepanjang sejarah, bahwa penguasa Muslim meski dia zalim namun dia tetap muslim dan haram hukumnya untuk menjatuhkan dan memberontak atasnya. Mereka berpendapat, memberontak kepada penguasa Muslim meskipun zalim tidak diperbolehkan menurut syariat.
Dengan melihat fenomena hari ini, saya berpendapat, tampak kecenderungan besar dari mereka yang mengklaim pengikut Ibnu Taimiyah tersebut untuk menggeser doktrin Ahlusunnah untuk tidak memberontak pada penguasa Muslim bagaimanapun keadaanya selama penguasa tersebut masih salat. Mereka dengan mengatasnamakan Alquran dan Sunnah yang mereka pahami secara dangkal berusaha untuk terlebih dulu mengkafirkan penguasa muslim, yang dengan itu mereka punya alasan syar’i untuk melakukan pemberontakan dan menyulut peperangan. Sayangnya, pemahaman seperti ini banyak menarik kecenderungan anak-anak muda Islam sehingga bergabung dengan mereka dan merasa telah berperang untuk memperjuangkan tegaknya Daulah Islamiyah. Yang pada kenyataannya, mereka justru menghadirkan derita yang tidak berkesudahan dalam dunia Islam kekinian.
Untuk menghadapi mereka, apa langkah dan solusi yang harus dijalankan?
Upaya yang paling baik untuk dilakukan adalah melakukan pencerahan kepada masyarakat Islam dengan memperkenalkan batilnya pemahaman mereka. Mungkin ini akan membutuhkan waktu yang cukup lama, bisa seratus sampai 150 tahun, tapi hanya ini langkah yang paling mungkin yang bisa dilakukan. Jika ulama-ulama Islam secara serentak dan bersama-sama aktif mendakwahkan Islam yang moderat, Islam yang menghargai perbedaan pendapat dan menutup ruang bagi kelompok Takfiri memberi pengaruh, maka target kita saya rasa bisa dicapai lebih cepat. Dan langkah-langkah ini yang sementara sedang kita lakukan.
Namun yang perlu diperhatikan, adalah adanya semangat persatuan antar ulama Islam tersebut dengan meminggirkan kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. Jika yang dipikirkan ulama Islam adalah kepentingan dunia Islam, kepentingan umat Islam secara keseluruhan dan menempatkan hal tersebut diatas kepentingan pribadi dan kelompok, maka hasilnya tentu sangat dasyhat. Jika ulama-ulama Islam hanya memikirkan kepentingan dakwah kelompoknya masing-masing, maka kita akan diperhadapkan dengan fenomena pengkafiran satu sama lain, perang sektarian antar mazhab dan kabilah yang justru akan membawa kehancuran pada dunia Islam.
Menurut saya, para pakar politik, pejabat pemerintahan dan kritikus-kritikus muslim harus juga terlibat aktif dalam membendung pengaruh takfirisme. Sangat disayangkan, jika potensi generasi Islam yang besar justru terbuang sia-sia karena dimanfaatkan untuk kepentingan sesaat kelompok takfirisme. Tidak sedikit pemuda muslim secara tulus berjuang untuk tegaknya Islam, bahkan mereka rela mengorbankan nyawa untuk itu. Sayang mereka terjebak pada pemahaman yang salah sehingga yang dimusuhi dan diperangi justru umat Islam sendiri.
Ulama-ulama Islam harus memikirkan serius hal ini dan melakukan langkah prefentif dengan segera. Fenomena Takfirisme akan terus menjadi problema dan duri dalam tubuh umat Islam jika kaum alim ulamanya berdiam diri. Singkirkanlah kepentingan pribadi dan golongan, bersamalah dalam satu suara menentang takfirisme, membantah keyakinan-keyakinan batil mereka, sehingga informasi tersebut secara meluas sampai kepada masyarakat. Dengan demikian, semakin banyak umat Islam yang sadar dan generasi muda Islam terselamatkan dari penyimpangan aqidah dan saling membantai sesama muslim. (abna)