Berita
Transformasi Birokrasi Hadapi Climate Change
Sebagai salah satu isu terbesar yang dihadapi oleh seluruh penduduk dunia, climate change ironisnya kurang mendapat perhatian serius. Di samping kesadaran masyarakat yang minim, pemangku kebijakan pun kurang tegas menyikapinya.
“Masyarakat luas kurang memahami apa itu perubahan iklim dan tantangannya,”ujar moderator Wimar Witoelar dalam diskusi Transformation in Climate Change in Indonesia Under New Goverment yang diadakan di Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/8) ini.
“Padahal climate change ini berdampak pada seluruh dunia, manusia, flora, fauna, semuanya. Ini problemnya,”ujar Prof. Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden RI Untuk Perubahan Iklim yang menjadi salah satu narasumber. “Dan ini harus kita hadapi besama.”
Menurut Rachmat, salah satu tantangannya adalah dibutuhkannya legal branding dari pemangku kebijakan yang tegas untuk mengatasi hal ini.
Sementara Ketua Dewan Pengarah Pengendalian Perubahan Iklim, Ir. Sarwon Kusumaatmadja menegaskan yang penting untuk dibangun adalah adanya ketahanan menghadapi perubahan iklim.
“Yang harus dibangun itu climate resiliance,” ujar Sarwono.“Kita perlu transformasi kebijakan, seperti Ibu Susi yang memilki gebrakan untuk menciptakan task force yang membantunya. Memang terjadi kesimpangsiuran, tapi produktif. Daripada stagnan tapi tidak produktif, bukan?”
Dengan tetap menekankan pentingya sistem yang akuntabel, Dr. Yanuar Nugroho, Deputi Kepala Staf Kantor Presiden Bidang Pengelolaan dan Kajian Program Prioritas menyambut baik pendapat Ir. Sarwono.
Selain pentingnya melakukan transformasi di level pemangku kebijakan, Wimar juga menekankan masyarakat juga harus ikut aktif memelihara lingkungannya.
“Masyarakat pun seharusnya jangan ikut merusak hutan, jangan dukung perusahaan-perusahaan yang mencederai masyarkat adat yang hidup di hutan. Jangan mendahulukan uang di atas keutuhan hutan. Karena yang bikin perubahan iklim gawat adalah perubahan hutan,”ujar Wimar. (Muhammad/Yudhi)