Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Tragedi Asyura dalam Budaya Indonesia

Keragaman budaya Nusantara diwarnai dengan fakta corak keislaman yang tidak tunggal. Meskipun Islam di Indonesia mayoritasnya penganut Ahlussunah wal Jamaah, tapi banyak ditemukan jejak kebudayaan yang menunjukkan kebhinekaan dengan kehadiran mazhab lain.

Fakta kebudayaan mengindikasikan ajaran Syiah sudah mengakar dalam budaya Indonesia dan tidak bisa dipisahkan dari identitas keislaman Nusantara. Bahkan sebagian peneliti seperti Nurbaiti, penulis buku “Aceh Gerbang Masuknya Islam ke Nusantara”, meyakini Syiah sebagai mazhab yang pertama kali masuk ke Indonesia.

Baca Asyura dan Karakter Islam Nusantara

Indikasinya dilihat dari beberapa peninggalan Syiah di Aceh, antara lain Kerajaan Peurlak sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh yang didirikan orang pribumi dan para pendatang asing bermazhab Syiah. Meskipun demikian, pandangan ini dibantah oleh ahli lain seperti Buya Hamka yang menilai Sunni sebagai mazhab pertama kali yang masuk ke Nusantara.

Terlepas dari kontroversi tersebut, kehadiran Syiah tidak bisa dipungkiri eksistensi dan peran pentingnya dalam kebudayaaan Nusantara. Peninggalan Syiah sangat banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Misalnya, di Aceh ditemukan budaya penghormatan terhadap Ahlulbait, tradisi asyura, lagu pujian terhadap Ahlulbait, dan tarian seperti Saman hingga manuskrip penting yang menceritakan tragedi Asyura.

Baca Jejak Spiritualitas Syiah di Nusantara

Berbagai manuskrip kuno Nusantara menunjukkan fakta penting mengenai tradisi Asyura dalam kebudayaan Nusantara. Misalnya, dua naskah penting yang berkaitan dengan penghormatan terhadap Ahlul Bait, seperti Naskah Kisah Hasan dan Husain. Dalam masyarakat Aceh, khususnya di wilayah Pidie, naskah-naskah seperti ini dibaca dan dikenal luas.

Selain itu, Hikayat Muhammad Hanafiyyah karya Muhammad Ikhram Fadhly Hussin menunjukkan dengan jelas tradisi Asyura dan kepahlawanan Imam Husein dan keluarganya melalui narasi Hanafiyyah. Kitab ini terdapat dalam koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, berjudul Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah dengan nomor panggil ML 446, yang terletak di lantai 5B, bercerita tentang bagaimana pada 10 Muharam atau Hari Asyura, cucu Nabi, Imam Husein telah syahid.

Muhammad bin al-Hanafiyyah adalah putra Ali bin Abi Thalib. Di kalangan bangsa Melayu, Muhammad Hanafiyyah mewakili citra perwira Islam yang sempurna sejak pada masa kejayaan kerajaan Pasai dan Melaka.

Baca Apa Makna Pernyataan Gus Dur NU adalah Syiah Secara Kultural?

Hikayat setebal kurang lebih 4 cm, lebar 17,5 cm, panjang 25,6 cm dan diperkirakan berumur sekitar 4 abad ini masih terawat rapi. Meski tampak lusuh namun isinya masih tetap dapat dibaca. Dengan menggunakan huruf Arab pegon dan bahasa Melayu, Hikayat dari abad ke 13-15 M ini menjadi bukti nyata bahwa peringatan Asyura dan kisah tentang kesyahidan Imam Husein telah ada di negeri kita sejak awal masuknya Islam ke Nusantara.

Dalam kitab ini, kisah kesyahidan Imam Husein pada 10 Muharam dijelaskan di halaman 186 baris ke enam hingga halaman 187. Di kitab tersebut tertulis bahwa pasukan Yazid membantai Imam Husein di padang Karbala. “Amir Husein di padang Karbala dikerubungi oleh segala kaum munafik. seperti orang memetik kembang, kepalanya pun diperceraikan daripada badannya.”

Sementara di halaman 190 Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah itu dikisahkan saat Imam Husein tiba di padang Karbala dengan paparan sebagai berikut:

“Diceritakan Amir Husein pun bertanya, hai tolongku apa nama padang ini? Maka kata segala sahabatnya, junjunganku padang inilah padang Karbala. Maka kata Amir Husein, wah inilah padang tempat kematianku itu, karena sabda Rasulullah saw, bahwa kematian Husein itu kepada padang Karbala, maka kata Amir Husein, qolu innalillahi wa inna ilaihi roji’un.“

Bukan hanya cerita tentang Imam Husein yang syahid di padang Karbala saja, Hikayat ini pun menjelaskan tentang acara peringatan 10 Muharam atau Asyura pada masa itu di berbagai daerah di Nusantara yang dalam pelaksanaannya terbagi menjadi dua jenis.

Baca Memaknai dan Melestarikan Tradisi Muharam

Peringatan pertama yang berlangsung sederhana dilakukan di sejumlah wilayah di Nusantara seperti di pulau Jawa, Madura, Sulawesi Selatan dan Aceh. Di Jawa dan Madura peringatan 10 Muharram atau Asyura disebut dengan Hari Suro atau Asuro.

Sementara di Aceh, Asyura disebut dengan hari Hasan dan Husin, yang pada malam harinya diadakan pengajian atau majlis dengan mendengarkan pembacaan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyyah yang menceritakan tentang tragedi Karbala.

Peringatan yang kedua adalah peringatan yang lebih mirip dengan di Iran atau India. Bentuk perayaan seperti ini dapat dijumpai di Sumatera Barat dan Bengkulu yang dimulai sejak abad ke-18 M, ketika Inggris menguasai Bengkulu dan membawa banyak warga Muslim Syiah dari daratan India.

Perayaan yang dilakukan dengan arak-arakan Tabut, melambangkan kesyahidan Imam Husein dengan diiringi rombongan musik yang melambangkan pasukan Imam Husein. Terkait tradisi Tabut di Bengkulu, pengamat budaya, Zainab menjelaskan:

Perayaan Asyura yang disebut Tabuik di Kota Pariaman Sumatera Barat dilaksanakan tiap 1 hingga 10 Muharram. Warga Pariaman, Sumatera Barat, mengawali tahun baru Hijriyah dengan menggelar ritual budaya Tabuik. Prosesi tersebut dilakukan dalam dua kelompok yaitu kelompok tabuik Pasa dan kelompok tabuik Subarang yang akan diiringi oleh arakan serta ditemani dengan dentuman gandang tasa.

Ritual yang digelar awal Muharram itu dimulai dengan upacara “maambiak tanah,” pengambilan tanah dari dasar sungai yang berbeda dan berlawanan arah oleh dua kelompok Tabuik. Prosesi itu dilakukan oleh seorang laki-laki dari keluarga pengurus tabuik. Dia mengenakan pakaian putih, melambangkan kejujuran kepemimpinan Husein, cucu Nabi Muhammad Saw.

Menurut Tuo (sesepuh) Tabuik, Nasrul Syam, ritual ini tidak hanya sekedar pengambilan tanah saja, tetapi merupakan simbol dari pengambilan jasad Husein yang mati syahid dalam perang Karbala melawan penguasa Yazid Bin Muawiyah.

Baca Nasionalisme Komunitas Syiah Indonesia

Kemudian, Tanah yang diambil tersebut kemudian dibungkus dengan kain putih seolah-olah mengafani jasad Husein, lalu dimasukkan ke dalam panci yang kemudian juga dibungkus dengan kain putih. Kemudian panci yang sudah dibungkus kain putih tersebut akan diletakkan di Daraga (tempat pembuatan tabuik).

Sejarawan Minangkabau Muhammad Ilham Fadli menilai Tabuik dan pengaruhnya Syi’ah di Minangkabau adalah realitas sejarah yang tak bisa dipungkiri. Dosen sejarah UIN Imam Bonjol mengungkapkan bahwa dalam konteks sosiologis, simbol-simbol budaya semacam Tabuik tidak bisa dipisahkan dari realitas sosial historis sebuah masyarakat.

Jika di Sumatera ada tradisi Tabuik dan Tabut memperingati Asyura, di Jawa, pada bulan Muharam, para tetangga saling berkirim ‘bubur Sura’ atau ‘jenang Suro’, sebuah makanan khas Asyura. Bubur dengan warna putih sebagai simbol kesucian, dan warna merah menjadi simbol kesyahidan Imam Husein yang dibantai Yazid di padang Karbala. [PT]

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *