Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Tradisi Asyura Mengakar di Nusantara

Sejumlah sejarahwan dan sarjana menyebutkan, banyak tradisi agama dan budaya Islam yang dipengaruhi mazhab keislaman Syiah. Meski, sebagian lain mengatakan itu hanya kemiripan. Terlepas apakah dipengaruh langsung atau hanya sebuah kemiripan, tradisi-tradisi itu menunjukkan spiritualitas dan budaya mazhab Syiah sudah hadir di Indonesia sejak awal.

“Jadi, masyarakat Aceh memang memiliki banyak simbol-simbol yang bernuansa Syiah. Misalnya, dalam Tari Saman, terdapat gerakan tepuk-tepuk dada (ini pun saya kira masih memerlukan riset lebih lanjut) yang kemungkinan gerakan-gerakan ini adalah gerakan-gerakan kepiluan awalnya. Saya kira pengaruh sufi ini kental dalam Tari Saman, tari yang memang mengidolakan ataupun memberi simbol Syiah seperti simbol Karbala yaitu kepiluan. Kemudian Kenduri Asyura. Saya ketika kecil terbiasa jika pada 10 Muharram, melakukan upacara Asyura dan ini pun masih dilakukan di kampung-kampung di Aceh, meskipun frekuensinya sudah berbeda.” (Dr. Asna Husin)

Hassan dan Husain cucunya Nabi
Sayyidah Fatimah Zahra
Sayyidina Husain syahid dalam perang
Sayyidina Hasan syahid diracuni

Syahidnya Husain terkena besi
Sayyidina Hasan racun diberi
Syahidnya Husain di dalam perang
Syahidnya Hasan di rumah tangga

“Nah ini menarik, syahidnya Hasan di rumah tangga karena memang Hasan meninggal di dalam rumah sebab diracuni oleh anggota keluarganya. Kalau kita mendengar lagu Rafli, jelas sekali bahwa isterinya Hindun yang di dalam pemahaman orang Aceh itulah yang meracuni Hasan. Karena itu, meninggalnya di dalam rumah, berbeda dengan Husain yang meninggalnya di dalam perang di Karbala.” (Dr. Asna Husin)

Atas dasar itulah, seorang tokoh cendekiawan Aceh, Dr. Hasballah M. Saad, menulis karya berjudul “Syiah Aceh”.

Dr. Hasballah M. Saad

Almarhum yang pernah menjadi Menteri RI Urusan HAM di era Presiden Abdurrahman Wahid itu menyebutkan berbagai budaya dan tradisi Aceh yang penuh simbol-simbol Syiah. Selain Hikayat Hasan Husein dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah, Hasballah juga mengungkap adanya tradisi ratapan kesyahidan Husain (as) selama bulan Muharam di Aceh.

“Bak siploh uroe buleueun Muharram
Kesudahan Husen Jamaloe (Jamalul)
Peu na mudah ta khanduri
Po Tallah bri pahla dudoe”

(Sepuluh hari bulan Muharram / Kesudahan Husain Jamalul / Jika ada kemudahan agar berkhanduri / Allah memberi pahala nantinya )

“Hubungan dengan Ahlulbait yaitu Hasan-Husain keluarga Nabi, saya kira benar-benar menjadi bagian pegangan bagi orang Aceh. Saya ingat ketika kecil banyak orang tua berbicara sampai begitu fanatik hingga ada semacam larangan tidak boleh main bola. Saya mendengar langsung kata orang tua jika menendang bola sama dengan menendang kepala Husain (as). Sehingga takut, rakyat menghormati sekali. Mungkin ada maksud lain yang ditunjukkan yaitu, jangan bermain di situ, nanti tidak mengikuti pengajian.

Maka dahulu banyak gambar di dinding. Waktu kecil rumah saya dan hampir seluruh rumah orang Aceh ada gambar-gambar yang memberikan simbol-simbol keyakinan bagaimana menggambarkan kemuliaan agama. Dahulu, pada 10 Asyura, setiap kampung ada acara. Jadi, Hasan Husain adalah keluarga Nabi saw, sangat dihormati. Tidak pernah orang Aceh untuk menampakkan di luar, tapi -keluarga Nabi saw–sangat dihargai, sangat dihormati. Dalam batinnya marah mengapa dibunuh putera Ali, cucu Rasulullah saw. Maka saya kira ini bagian integral dari nilai budaya Aceh untuk menghormati dan menghargai keturunan Rasulullah saw, Hasan dan Husain.” (Badruzzaman MA)

“Melihat realita yang ada dalam masyarakat Aceh, yang begitu cinta pada Ahlulbait, memiliki banyak simbol-simbol mazhab Syiah, pertanyaan tentu muncul, Apakah ini bukan peninggalan Syiah yang tadinya datang ke nusantara?

Namun harus kita beri catatan bahwa orang Aceh memang pencinta Ahlulbait. Lihat saja saya, nama bapak saya Husain, nama ibu saya Fatimah, nama kakek saya Ali. Ini kan menandakan orang Aceh adalah orang yang sangat mencintai Ahlulbait. karena itu nama anak-anaknya pun diberikan dengan nama Ahlulbait” (Dr. Asna Husin)

 

Festival Tabuik di Pariaman, Sumatra Barat

Menurut Agus Sunyoto dalam buku “Atlas Walisongo”, sejumlah tradisi keagamaan di Jawa seperti peringatan orang mati pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000, termasuk tradisi haul, talqin, kenduri, pembuatan bubur syuro pada 10 Muharam, Nisfu Sya’ban, dan berbagai kasidah pujian kepada Ahlulbait adalah pengaruh tradisi keagamaan Champa yang berpaham Syiah.

Li khamsatun ukhfi biha, harra al-waba’ al-hathimah, al-Mushthafa wa al-Murtadha, wa ibnahuma wa al-Fathimah. [Aku memiliki lima “jimat” untuk padamkan epidemi yang mengancam; yakni, al-Mushthafa, al-Murtadha, kedua putra Imam Ali (Hasan dan Husain), dan Sayyidah Fathimah]

Memperhatikan lirik pujian li khamsatun tadi, pendapat Agus Sunyoto tersebut cukup beralasan karena konsep Ahlulbait yang definitif kepada Nabi Muhammad saw, Sayyidina Ali, Sayyidah Fatimah, Sayyidina Hasan, dan Sayyidina Husain merupakan doktrin Syiah.

Nyanyian Babad Diponegoronya oleh R. Ng. Yosodipuro II:

“Den siro poro satrio nagari metaram nagarining jawi hingdodotiro, sumimpin watak, wantune Sayyidina NGALI, sumimpin kawicaksanane Sayyidina KASAN, sumimpin kakendelane Sayyidina KUSEN. Den seksenono, hing wanci SURO, LONDO bakal den Siro sirnaake soko tanah jawa. Krona sinurung pangribawaning para satrianing MUKHAMAD yaiku NGALI, KASAN, KUSEN. Siro podho lumaksanana yudha kairing takbir lan solawat, yen siro guguring bantala cinandra, guguring sakabate sayyidina KUSEN ing NAINAWA (KARBALA)

(Wahai kalian para ksatria negeri Mataram Negeri Jawa di hati kalian, dipimpin oleh watak keberanian Sayidina Ali, Dipimpin oleh kebijaksanaan Sayidina Hasan, dipimpin keberanian Sayidina Husain. Saksikanlah, pada saat bulan Muharram (Suro), Belanda akan kalian sirnakan dari Tanah Jawa. Karena didorong oleh kewibawaan para Ksatria Muhammad yaitu Ali, Hasan, Husain. Laksanakanlah perang, dengan iringan Takbir dan Selawat. Jika kalian gugur dalam berperang, maka kalian akan gugur seperti gugurnya Sahabat Sayidina Husain di Nainawa (Karbala).

“Ada semacam tradisi memuliakan Sayidina Ali di kalangan warga NU, sekalipun tidak mematikan sahabat-sahabat yang lain. Misalnya dalam kebiasaan bersyair saat orang menunggu imam salat datang seperti ini:

Abu Bakar sahabat Nabi
Umar, Usman, Sayidina Ali

Jadi mereka menyebutnya begitu. Abu Bakar sahabatnya Nabi, Umar, Usman dan Sayidina Ali. Yang dikasih Sayidina cuma Ali, yang lain tidak. Ada pemuliaan khusus kepada tokoh Ali bin Abi Thalib ini. Jadi,  tradisi itu sudah melekat di kalangan masyarakat bawah, mereka tidak tahu dari mana asalnya. Qasidah yang digunakan adalah qasidah diba’, Syeikh Abdurrahman Diba’. Kalau kita pelajari makna dari isinya dalam diba’ disebutkan puji-pujian kepada Rasulullah dan yang disebut-sebut di situ selain Rasulullah adalah keturunan beliau, tidak ada di dalamnya sebutan untuk sahabat yang lain. Bahkan di dalam kitab diba’ itu ada satu konsep yang berkaitan dengan keberadaan Nur Muhammad.” (Agus Sunyoto MA)

Sumber:  TIM ICRO dan Tim ACRoSS, Menguak Akar Spiritual Islam Indonesia, Peran Ahlulbait dalam Penyebaran Islam di Nusantara

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *