Berita
Tolikara, Kekerasan dan Keadilan yang Timpang
Penanganan cepat pemerintah dalam insiden Tolikara saat Idulfitri kemarin patut diapresiasi. Banyak pihak pun berharap kekerasan itu tidak menyebar dan makin memperburuk masalah. Tapi apakah sekadar membangun kembali kios dan mushola yang terbakar akan menyelesaikan masalah? Apa sebenarnya selama ini akar masalahnya?
Berikut wawancara ABI Press dengan Ketua Setara Institute, Hendardi mengenai akar masalah di Tolikara.
Bagaimana pendapat Bapak mengenai kasus di Tolikara kemarin?
“Prakarsa dari berbagai pihak untuk membuat sejuk pasca peristiwa Tolikara perlu diapresiasi sehingga tidak menimbulkan efek lanjutan. Tetapi langkah itu belum cukup, karena isu utama Papua adalah diskriminasi dan ketidakadilan berkelanjutan. Apalagi hampir semua temuan dan pernyataan orang Papua menyangkal penyerangan tersebut. Artinya ada kekuatan lain yang menghendaki kekerasan itu terjadi.”
“Salah satu langkah pendek menjawab ketidakadilan itu adalah mengungkap motivasi penembakan terhadap 12 warga Papua dan menghukum secara sepadan aparat yang menggunakan senjata dengan tidak bertanggung jawab. Tidak cukup bagi Kapolri hanya mengatakan bahwa penembakan itu dilakukan untuk melindungi hak beribadah umat Muslim. Di tempat lain polisi tidak pernah melakukan hal serupa, apalagi dengan senjata. Polisi terdiam saat jemaah GKI Yasmin gagal beribadah, jemaah Ahmadiyah Cikeusik dibantai, Muslim Syiah Sampang dibakar rumahnya dan diusir dari kampung halamannya dan banyak lagi kelalaian polisi dalam kasus pelanggaran kebebasan beragama.”
Sebelum terjadinya penyerangan ada surat edaran dari GIDI. Surat edaran yang mengatasnamakan umat oleh otoritas keagamaan ini juga ada di kasus Sampang, Bekasi dan Bogor. Bagaimana pendapat Bapak?
“Surat edaran seperti yang dikeluarkan oleh GIDI itu saya kira bukan permasalahan utama, tapi jadi pemicu persoalan. Persoalan besarnya, bahwa ini merupakan akumulasi dari suatu kasus diskriminasi dan ketidakadilan yang memang sudah ada. Jadi surat-surat edaran itu hanya pemicu saja. Yaitu bahwa pemerintah memang tidak berhasil menjaga toleransi antar umat atau antar suku atau antar apa pun yang mestinya dijaga dalam negara Pancasila ini. Tetap saja pemerintah kurang, atau lalai, atau seringkali persoalan-persoalan seperti ini tidak diselesaikan secara tuntas, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Yang memunculkan kejadian berulang.”
“Kalau satu peristiwa kekerasan dibiarkan, yang melihat itu akan melakukan hal yang sama. Karena dianggap bahwa orang itu melakukan (kekerasan) itu tak dihukum, kok. Itu masalahnya.”
Jadi kelalaian pemerintah adalah penyebab utamanya?
“Ya, apa pun latar belakangnya, bahwa di Papua ini banyak peristiwa negara memang lalai menjaga hak atas rasa aman dari warga. Ini menunjukkan kepada kita bahwa intoleransi di masyarakat itu juga semakin rentan. Semakin besar dan mudah dibakar. Dan kerentanan itu memang bisa jadi titik kombinasi yang lebih besar karena soal utamanya adalah soal keadilan.”
“Apalagi di Papua ini kan kita tahu sejak zaman transmigrasi dulu itu keadilan terpinggirkan. Jadi soal keadilan bagaimana kita menghargai martabat orang Papua sama dengan orang lain itu yg masih sangat kurang. Tak hanya dari pemerintah, tapi juga dari masyarakat. Kita selalu menganggap rakyat Papua sebagai rakyat yang terbelakang, sebagai masyarakat kelas dua. Sikap-sikap ketidakadilan seperti ini yang sebetulnya bisa membakar persoalan seperti di Papua itu lebih besar.”
“Saya tegaskan lagi, memang yang muncul di Papua selama ini pemicu saja. Masalah utamanya adalah soal keadilan. Masalah kita adalah soal keadilan. Dan ini jadi PR besar bagi pemerintah. Ini soal menegakkan keadilan dan menghargai martabat orang Papua. Agar jangan mereka jadi warga kelas dua. Juga jangan manjakan untuk korupsi. Jangan pemerintah pusat membiarkan mereka, sehingga bukannya jadi maju, justru mereka jadi mundur. Yang maju justru korupsinya bukan kecerdasan dan kepandaian mereka.”
“Permohonan yang diajukan Kapolri tentang pelibatan Brimob dalam pelatihan yang dilakukan oleh Kopassus menunjukkan paradigma Polri belum berubah. Kopassus didesain untuk berperang sedangkan Brimob didesain untuk pengamanan. Beda cetakan ini juga menunjukkan secara tegas bahwa Polri bertugas menyelenggarakan keamanan dan TNI menjalankan tugas pertahanan. Polri tampak tidak percaya diri dengan sistem pengembangan SDM yg dimilikinya. Jika pola ini tidak berubah maka harapan menjadikan Polri sebagai polisi sipil akan semakin jauh.”
“Reformasi Polri selama ini baru menyentuh aspek kelembagaan saja. Sedangkan reformasi pada tataran konseptual, cara pikir, dan kinerja masih sama dengan masa lalu.Danjen Kopassus harus menolak permohonan Kapolri tersebut, agar prinsip2 penyelanggaraan negara tetap sesuai dengan ketentuan yg sudah digariskan oleh Konstitusi dan perundang-undangan. Saya setuju dengan Kapuspen TNI Fuad Basya yg melalui media sudah menyatakan penolakannya.”
“Dalam jangka panjang Presiden Jokowi harus memprakarsai penyusunan desain kebijakan penghapusan diskiriminasi dan kekerasan yang lebih komprehensif di Papua, termasuk mengadili kasus pelanggaran HAM di Papua.”
Jika dalam kasus Tolikara pemerintah sigap bertindak, kenapa di kasus penyerangan seperti di Sampang, Bekasi dan Bogor itu pemerintah lambat menanganinya menurut Bapak?
“Ya semestinya pemerintah melakukan hal yang sama terhadap semua kasus ketidakadilan semacam ini. Tak hanya di Papua. Saya kira memang ada kekhawatiran pemerintah kalau kasus Papua ini akan menyebar, meletup lebih besar lagi karena itu mereka bertindak cepat. Tapi seyogyanya memang tindakan-tindakan cepat itu yang sifatnya karitatif, bangun rumah bangun mesjid itu sebaiknya juga diikuti di daerah lain. ”
“Tetapi juga saya kira bukan itu saja yang penting. Bukan sekadar mereka berdamai, bagaimana kios dan mushola dibangun. Tapi bagaimana penegakan hukum bisa dijalankan. Dan yang melakukan tindakan kekerasan siapa pun itu tak bisa dibiarkan. Karena itu pelaku harus diseret ke muka hukum. Agar hukum itu tidak diistimewakan. Agar ada efek jera.”
Apa pesan Bapak untuk masyarakat terkait hal ini?
“Masyarakat di Papua sendiri sebenernya toleransi itu tinggi di mereka. Dan itu sudah sejak lama. Sebenarnya masyarakat Papua bukan suatu masyarakat yang gampang disulut dan mudah diadu baku hantam. Tapi beberapa tahun terakhir ini memang isu-isu agama dan kebebasan berkeyakinan itu memang jadi isu yang relatif sensitif. Karena seringkali hal ini terjadi bukan karena masyarakatnya tapi karena memang ada kepentingan-kepentingan politik yang sering digunakan untuk memicu persoalan-persoalan seperti itu. Seperti persoalan politik pilkada misalnya.”
“Dan oleh karena itu anjuran saya kepada masyarakatnya untuk tetap menjaga toleransi. Dan bagi masyarakat di luar Papua agar jangan terprovokasi untuk jihad atau apalah. Saya rasa gak perlu ikut-ikutan begitu. Itu bukan menyelesaikan masalah, malah memperlebar persoalan.”
Sebagai penutup, apa poin penting pembelajaran yang bisa kita ambil?
“Saya kira paling penting adalah bahwa faktor-faktor ketidakadilan dan intoleransi memang besar pengaruhnya bagi persatuan bangsa ini. Karena itu pemerintahan Jokowi harus awas dan waspada. Karena ketidakadilan sosial dan intoleransi amat petensial memecah belah kita sebagai bangsa dan menghancurkan nilai sila-sila dalam Pancasila. Bisa mengancam kebhinnekaan dalam Bhinneka Tunggal Ika kita.” (Muhammad/Yudhi)