Berita
Tingginya Potensi Ancaman Terhadap Pemberi Bantuan Hukum
“Hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah.” Pepatah itu populer untuk menggambarkan ketidakadilan, ketika rakyat miskin yang sedang terlibat dalam persoalan hukum lebih sulit mendapatkan pembelaan dibandingkan si kaya yang dengan mudahnya membayar pengacara. Karenanya, lembaga atau organisasi bantuan hukum gratis bagi rakyat miskin pun menjadi penting dalam hal ini. Namun apa yang terjadi terhadap organisasi pemberi bantuan hukum itu?
Dalam diskusi publik “Ancaman Terhadap Pemberi Bantuan Hukum” di LBH Jakarta (16/3), Kepala Pusat Penyuluhan dan Bantuan Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM RI, Audy Murfi MZ, S.H., M.H menyebut saat ini ada 405 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) dengan jumlah Pengacara 766, dan Paralegal sebanyak 1.428. Jika dibandingkan dengan Jumlah penduduk miskin Indonesia yang mencapai 28,51 juta orang atau 11,13 persen dari total jumlah penduduk (BPS, September 2015), tentu jumlah pemberi bantuan hukum masih terbilang sedikit. Terlebih Audy menilai penyebaran OBH dan pengacara masih mendominasi Ibu Kota dan kota-kota besar saja, belum merata ke seluruh daerah.
Lalu apa jadinya jika pemberi bantuan hukum yang jumlahnya sudah sedikit itu justru masih mendapat perlakuan diskriminatif dan tidak adil? Selain rakyat miskin akan lebih sulit mendapat pembelaan dalam menuntut keadilan, tentu akan membuat banyak orang enggan untuk menjadi pemberi bantuan hukum.
Direktur LBH Jakarta, Alghiffari Aqsa yang juga pembicara dalam diskusi menyatakan sejak 2014 hingga 2016 ada 4 pengacara LBH Jakarta mendapat perlakuan diskriminatif pihak kepolisian. Pertama, Hendra Supriatna, S.H ditangkap aparat Polres Jakarta Timur ketika mendampingi warga Rawamangun pada saat penggusuran (17 Desember 2014). Kedua, Tigor Gempita Hutapea, S.H dan Obed Sakti Dominika, S.H ditangkap saat bertugas mendampingi buruh dalam aksi penolakan atas PP Pengupahan (30 Oktober 2015). Ketiga, Citra Referandum, S.H ditangkap aparat Polda Metro Jaya pada saat mendampingi aksi Aliansi Mahasiswa Papua (1 Desember 2015). Keempat, Aldo Fellix Januardy, S.H mengalami kekerasan aparat kepolisian pada saat mendampingi warga Bukit Duri (11 Januari 2016).
Alghiffari menjelaskan bahwa advokat juga merupakan penegak hukum yang posisinya “setara” dengan kepolisian. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar persidangan. Sementara Analis Utama Divisi Hukum Polri, Kombes Pol Dr. W. Marbun, S.H., M.H yang juga hadir menjadi pembicara masih mempersoalkan sejauh mana “itikad baik” itu dilakukan.
Sampai kapan polemik terkait “itikad baik” yang dimaknai berbeda oleh dua pihak yang sama-sama aktif dalam upaya penegakan hukum ini bakal berdampak negatif bagi para aktivis pemberi bantuan hukum? (Malik/Yudhi).