Berita
The Last Sahur
Muhammad Rosid, sibuk mengepak barang-barang, mengikat kardus dengan tali rafia, saat kami datang Rabu malam (17/7). Tubuhnya yang gempal, menampakkan dia bekerja dengan cekatan. Malam itu, ada;ah malam terakhir para pegowes Syiah dari Sampang yang memperjuangkan niatnya bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menagih janji, agar hidup aman bersama saudara-saudaranya yang lain di bumi Pancasila ini.
Para pegowes—begitu kami menyebut untuk pengayuh sepeda—itu menempuh jarak dari Surabaya ke Jakarta, sejak Hari Lahir Pancasila, 1 Juni (2013). Mereka bersepuluh, dengan sepeda biasa -bukan sepeda touring, yang biasa digunakan untuk menempuh jarak jauh. Ditemani beberapa relawan kemanusiaan dari beberapa lembaga kemanusiaan dan organisasi masyarakat, berangkat dari depan gedung Grahadi di Surabaya.
Ide, naik sepeda, sebenarnya dari pertemuan kecil, di kawasan Kalibata, Jakarta. Saat itu sikap Pemerintah Daerah di Sampang dan Jawa Timur, terus mengeras untuk menyingkirkan pengungsi Sampang dari Gelanggang Olah Raga, tempat mereka mengungsi. Bahkan yang muncul dari para pemerintah daerah adalah relokasi atau transmigrasi. Bukan niat baik, rekonsiliasi dan menyambungkan lagi persaudaraan antar manusia para pengungsiu dengan saudara-saudaranya di kampung halaman, atau antar manusia dengan tanah kelahirannya.
Ternyata ide itu disambut buat baik oleh para pengungsi dan juga pegiat kemanusiaan di Jawa Timur. Walau ntidak sedikit juga orang yang mencibir, akan menuai hasil baik. Namun niat para pengungsi itu, malah lebih kuat. Mereka ingin berbuat sesuatu untuk memperjuangkan hidupnya, dan juga spirit keadilan yang dirasakan mulai pudar di negeri ini. Para pengungsi itu tak mau dikatakan, “senang-senang” hidup di pengungsian (GOR) mendapat bantuan negara dan mengharap bantuan sana sini, tanpa bekerja. Seperti yang dituduhkan seorang kiai dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) TV-One yang dipandu jurnalis senior, Karni Ilyas.
Lalu, tema apa yang diusung? Ini juga menjadi perdebatan, ada yang usul “kembalikan Tanah Kami,” “Jangan Rampas Tanah Kami.” Sampai “Menagih Janji Presiden SBY.” Memang akhirnya tema terakhir yang digunakan, walaupun dalam kain rompi seadanya, ada tema kembalikan tanah mereka. Tema menagih janji Presiden SBY, bukan bermaksud menyudutkan Presiden. Tapi hanya mengingatkan Presiden SBY yang pernah berjanji, beberapa jam setelah kejadian pembakaran, pengusiran dan pembunuhan. Janji itu tercatat di media massa, salah satunya Tribunnews. Bahkan mereka adalah anak bangsa yang masih percaya, Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, bukanlah bayang-bayang kosong sebuah jabatan yang hanya ada di layar kaca dan media massa.
Di sepanjang jalan dari Surabaya menuju Jakarta, ternyata mereka disambut hangat oleh saudara-saudara mereka. Di setiap daerah yang disinggahi, mereka bisa tinggal di masjid, pesantren, bahkan gereja. Teman-teman aktivis mahasiswa dari PMII dan HMI juga menyambut dan mengiringi mereka tiap masuk ke kota tempat aktivis itu bermukim.
Bahkan di Pekalongan, Jawa Tengah, keluarga Habib Lutfi bin Yahya menyambut mereka dengan marawis, bak menyambut rombongan “penantin”. Ya, mereka memang patut dijuluki “penantin kemanusiaan”, perkawinan massal, yang bersanding dengan tekad dan perjuangan untuk keadilan.
Di Brebes Jawa Tengah dan Purwakarta, Jawa Barat bahkan pemerintah daerah secara resmi menyambut mereka. Di Cirebon, Jawa Barat mereka ikut pertemuan dengan ulama-ulaman Nahdlatul Ulama yang sedang mengadakan pertemuan. Bahkan Kapolres setempat bersama ketua NU menandatangani spanduk mendukung perjuangan mereka menuntut hak.
Ahad, 16 Juni (2013) mereka sampai di Jakarta, dari Cawang melalui Kuningan, lalu larut bergabung dengan masyarakat yang merayakan Jakarta Car Free Day. Tujuan mereka depan istana negara. Waktu itu bersamaan dengan kemeriahan ”Jakarta Fair” kembali ke Monas. Keadaan sekitar riuh rendah, bahkan di dalam bus TransJakarta penuh sesak orang-orang yang hendak ke Monas—lambang keperkasaan –ibukota.
Namun, saat mereka di Jakarta, di Sampang justru dinodai dengan pengusiran paksa yang direkayasa. Sebuah acara Istighosah, sebuah acara sakral yang biasanya digunakan untuk memuji Sang Pencipta dan memohon ampun atas ke khilafan sebagai makhlukNYA, malah diguankan dengan menyeret anak-anak dan perempuan dan mengusir paksa ke Puspa Agro di Sidoarjo. Kenapa disebut rekayasa? Karena dua hari sebelum hari-H, ada pertemuan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dengan Gubernur Jawa Timur, dan setelah itu berbuah pengusiran paksa.
Sejak di Jakarta beberapa kali, mereka aksi di depan istana, mendatangi lembaga-lembaga negara, organisasi kemanusiaan, kemasyarakatan. diundang dan diliput media massa, dan lain sebagainya. Mereka gigih, dengan tekad, belum mau pulang sebelum bisa bertemu Presiden SBY. Bahkan dari istri mereka di pengungsian, juga punya tekad yang sama seperti petugas pemadam kebakaran, “jangan Pulang sebelum Padam.”
Akhirnya, Ahad malam pekan lalu (14 Juli 2013) Presiden SBY menerima lima orang pengowes dan lima pendamping mereka di kediamannya di Cikeas. Janji kembali diucapkan presiden untuk rekonsiliasi. Presiden meminta sesama anak bangsa apalagi sesama umat Islam yaitu Ahlulsunnah Waljamaah dan Syiah untuk tidak saling menebarkan kebencian apalagi tindakan-tindakan yang saling mencederai dan dapat merusak ukhuwah Islamiyah demi kesatuan bangsa. Presiden menyatakan akan memimpin langsung pertemuan rekonsiliasi dengan para pihak yang terkait dengan peristiwa penyerangan tersebut.(TEMPO.co)
Terpecahkan sudah, tekad bertemu presiden SBY sudah terpenuhi. Semangat dan kegigihan berbuah hasil. Sampai Rabu malam kamis saat Rosid dan kawan-kawan mengepak barang-barang untuk pulang bertemu keluarga mereka di pengungsian, sambil berharap rekonsiliasi yang dijanjikan Presiden SBY bisa terealisasi.
Malam itu kami bersama 10 pegowes Syiah Sampang reriungan di atas hamparan karpet dalam sebuah ruang ruko kosong, tempat mereka tinggaal selama di Jakarta. Semua saling bercerita ada kelucuan-kelucuan, terutama dari logat-logat mereka yang polos dan jujur, misalnya Rosid menyebut Rusunawa (tempat mengungsi sekarang) dengan Sunawa atau menyebut Presiden SBY dengan Bambang Susilo Yudhoyono. Kisah-kisah mereka saat penyerangan 26 Agustus 2012 lalu. Kisah tentang pemimpin mereka Tajul Muluk (yang kini di penjara Sidoarjo selama 4 tahun), dengan perasaan berbangsa dan bernegara.
Malam itu saya teringat peristiwa “Perjamuan Terakhir” saat Yesus dengan para pengikut setianya. Walau tidak persis, ada Hadijoban, seorang kawan aktivis bertubuh kurus yang setia mendampingi para pegowes sejak dari Semarang, dan menemani terus sejak di Jakarta. Mengurusi member semangat dan lai sebagainya. Joban, bagai “Yesus” yang bangkit dari kesadarannya untuk berbagi kasih dan damai. Sepuluh pegowes, dan dua pendampingnya Joban dan Tom, Kamis sebelum subuh berangkat ke Sidoarjo.
Kami, sekitar30 orang malam hingga dini hari itu seperti mengikuti tradisi “Perjamuan Terkahir”. Kisah yang terkenal dengan isitilah “The Last Supper”, kami tutup dengan sahur bersama “The Last Sahur”, sebelum mereka kembali ke keluarga mereka dank e kampung halaman, tanah kelahiran mereka dengan membawa damai dan kasih.
Depok, 18 Juli 2013.
Ahmad Taufik