Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Terorisme dan Hilangnya Motif

Oleh Hertasning Ichlas

“Bunuh diri adalah tindakan pemberontakan terakhir,” ucap Ulrike Meinhof dalam manifestonya di tahun 1970 yang kemudian mengilhami terbentuknya Rote Armee Fraktion (RAF) atau Faksi Tentara Merah. Organisasi kaum muda Jerman yang marah atas kegagalan de-Nazi-fikasi.

Ulrike Meinhof sendiri pada 1976 menunaikan keinginannya dengan jalan menggantung diri di selnya. Aksi serupa ditunaikan generasi RAF lainnya seperti Andreas Baader, Gudrun Ensslin, dan Irmgard Moller.Mereka memecah keheningan pagi di penjara Stammheim, Stuttgart, Jerman saat ditemukan membujur mati di sel tahanan masing-masing.
Anak muda yang resah dan kematian terencana karena dunia yang tak kunjung membaik dalam gambaran moralitas yang mereka inginkan. Meinhof kerap mengutip drama Bertolt Brecht, “Die Massnahme” :
“Membunuh adalah hal yang mengerikan/ Tapi kami tak hanya akan membunuh orang lain/ Kami juga akan membunuh diri sendiri bila perlu/ Agar dunia dapat diubah dengan kekuatannya sendiri, seperti yang diketahui setiap orang yang hidup.”
Betapa pun absurdnya moralitas mereka, kita masih bisa melihat ada motif yang menunjukkan hubungan logis antara tujuan politik dan aksi. Sebagaimana kejelasan motif bisa kita pahami pada kejadian teror oleh sayap tempur IRA yang kemudian dikeraskan oleh sayap organisasinya Sinn Fein bahwa itu memang ulah mereka untuk tujuan politik mereka yaitu kemerdekaan Irlandia Utara.
Terorisme> kekerasan > dengan motif politik

Tapi, setelah 10 tahun istilah terorisme di Indonesia, bisakah kita mengetahui secara jelas apa motif dari semua rangkaian teror itu. Dan apakah ada sebuah koherensi antara aksi teror/bom dengan tujuan politik yang diinginkan?

Tentu saja kita sering mendengar polisi menyebut  Jamaah Islamiyyah, Al Qaidah, Ngruki, Alumni Afghanistan, tapi apakah itu sesuatu yang berdiri sendiri atau sebuah rangkaian logis dari sebab musabab teror di Indonesia?

Lebih spesifik lagi, apakah kita sepatutnya mempercayai polisi begitu saja? Tidakkah kita seharusnyanya memposisikan versi polisi sebagai satu cerita/klaim yang harus diuji/diverifikasi secara logis terutama oleh wartawan (yang terlatih berpikir skeptis)? Dan bukan malah ditelan bulat-bulat seolah-olah sebagai kebenaran itu sendiri.

Motif, motif dan lagi-lagi motif.

Sudah menjadi tugas wartawan untuk selalu memverifikasi dan menguji hubungan logis antara aksi, kejadian/saksi dan tujuan/motif. Bahkan jika kita merasa keterangan polisi sudah benar adanya.

Hanya dengan menguji semua itu secara logis, kita bisa terhindar dari label, stereotipe bahkan kecenderungan berpikir konspiratif.

Bukankah aneh, setelah 10 tahun lebih terorisme di Indonesia, puluhan orang (tersangka teroris) ditembak mati, ratusan teroris ditangkap, penggeledahan rumah-rumah yang mengerikan, dan paling penting,  BANTUAN ASING yang masuk ke kas polisi (densus) tanpa pernah diaudit kinerja maupun anggaran secara prosedural, selalu saja muncul Nordin M Top baru dan peristiwa baru tanpa kita pernah bisa menangkap motifnya secara jelas –sebagian justru karena sumber keterangan penting ditembak mati polisi.

Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulan Teror masih saja bilang INDONESIA ADALAH SARANG TERORIS. Ucapan fantastis yang seharusnya justru merugikan Indonesia dan memukul kinerja lembaganya sendiri.

Dalam histeria kepanikan atau mungkin ketakutan, terdapat kesempatan besar untuk mencuri akal sehat dan daya kritis manusia.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *