Berita
Terobosan Pondok Pesantren Jawab Tantangan Zaman
Di tengah era globalisasi yang didorong kemajuan teknologi dan informasi, sebuah ironi terpampang di depan mata kita. Masyarakat yang dengan keterbukaan informasi mestinya menjadi lebih terbuka, justru dilanda sindrom beragama yang sempit dan dangkal. Sindrom yang merupakan gerbang awal munculnya sikap takfiri dan ekstrem.
Hal inilah kiranya yang menjadi pendorong para santri lulusan pondok pesantren mengusung gerakan Ayo Mondok Nasional untuk meneguhkan kembali keberagamaan inklusif dan dengan spirit rahmatan lil ‘alamin.
Untuk mengetahui lebih jauh apa yang dimaksud dengan gerakan Ayo Mondok Nasional, berikut ini wawancara ABI Press dengan Imam Malik, Direktur Pusat Kajian Indonesia Jaya selaku salah seorang penggerak Ayo Mondok Nasional tersebut.
Bisa Anda ceritakan bagaimana awalnya ide Ayo Mondok ini diawali?
“Begini, pandangan orang pada pesantren itu dinamis di tiap zaman. Zaman pertama didirikan dulu pesantren dianggap sebagai tempat belajar. Semua orang kalau ingin belajar ya di pondok. Lalu orang menganggap pesantren itu identik dengan orang saleh. Jadi orang kalau merasa tidak saleh tidak mau belajar di pondok. Lalu ada periode tertentu pondok dianggap semacam ‘rumah sakit’ dan tempat rehabilitasi. Kalau anak sudah sangat nakal sekali, dimasukin ke pondok. Lalu berkembang lagi bahwa pondok itu tempat siswa yang tidak berprestasi. Yang agak susah belajarnya, dimasukkan ke pondok aja.”
“Nah, dari sini terus kita lihat di sisi yang lain ada SMA Negeri, SMP Negeri, Universitas Negeri, toh mereka juga tak memberikan garansi hasil pendidikan mereka seperti apa. Gak ada jaminan, kan? Sehingga kalau dikatakan pesantren itu terbelakang itu gak ada. Parameternya seperti apa?”
“Padahal sekarang kaum pesantren bisa menunjukkan bahwa lulusan pesantren itu berkualitas. Kita lihat menteri-menteri di Indonesia yang alumni pesantren itu berapa persen? Saya rasa ada 30% lah yang alumni pesantren jadi Menteri, jadi politisi, di universitas-universitas. Dari situ kebanggan sebagai alumni pesantren muncul.”
“Tapi ini tak terlalu penting, yang penting adalah kita alumni pesantren itu optimis kalau orang belajar Islam di pesantern, maka perspektif tentang Islamnya tidak akan suka menyalahkan (takfiri) seperti itu. Perspektif keberagamaan yang mudah mengkafirkan selainnya ini kan berbahaya. Berbahaya sekali.”
Memang bahayanya seperti apa perspektif keberagamaan becorak takfiri itu?
“Kami di kampung-kampung menemukan ada orang yang menyalahkan aliran x, aliran y. Kita bilang kenapa aliran x, aliran y disalah-salahkan? Karena mereka minoritas. Kalau mereka mayoritas, tak akan berani disalahkan. Jadi suatu hari NU bisa didiskriminasi juga. Kalau perspektif seperti itu dibiarkan dan kalau orang-orang pengkafir seperti ini berkuasa.”
Apa keunggulan metode pendidikan pondok pesantren sehingga menjadi spesial?
“Kita yang memiliki perspektif terbuka, meyakini dunia pondok pesantren adalah dunia yang membawa perubahan, dunia yang memberikan karakter baik pada anak jauh sebelum UNESCO mengampanyekan education for sustainable development, pesantren sudah memikirkannya.”
“Artinya kita tidak kalah dengan mereka. Waktu UNESCO mengampanyekan long life learning, di pesantren itu juga sudah dilakukan. Kalau Anda lihat, di pesantren itu anak SD dalam satu kamar itu bisa kumpul dengan anak mahasiswa. Dan prinsip pesantren itu belajar atau mengajar. Kalau tinggal di sini, berarti harus belajar ama yang lebih senior dan mengajar pada yang yunior. Itu kan long life learning itu. Prinsip hidup yang belajar-mengajar. Mangkanya kita kampanyekan Ayo Mondok dengan segala kepercayaan diri.”
Anda mengatakan pendidikan pondok pesantren bisa membentuk pemikiran yang inklusif dan anti takfiri. Bagaimana prosesnya?
“Memang. Tapi sebelumnya saya mau cerita ada satu pesantren namanya Salafiyyah Syafi’iyyah di Situbondo Jatim. Hasil dari evaluasi pesantren yang disampaikan pengasuhnya adalah bahwa anak mondok di pesantren kalau kurang dari 4 tahun, itu dia masih dalam posisi transisi, sangat berbahaya, bisa jadi anak nakal, bisa jadi anak radikal, unexpected.”
“Kenapa ini terjadi? Karena proses belajar di pesantren itu integrated. Artinya begini, hari ini Anda belajar fiqh, ushul fiqh, belajar tafsir, hadis, itu bersama-sama. General. General knowledge ini diangkat bersama-sama. Sehingga prosesnya akan panjang. Dia akan memahami filosofi ilmu pesantren itu kalau dia lebih dari 4 tahun. Nah begitu dalam tahun pertama hingga tahun ketiga dia baru akan belajar bab-bab tertentu, di situ kalau baru sebentar mondok, melihat sanitasi yang buruk, bulliying di pesantren dia gak betah lalu keluar. Belum memahami filsafat ilmunya pesantren dia sudah keluar, dengan segala memori buruknya. Ah, pesantren itu ngomong doang jaga kebersihan tapi kotor, dan seterusnya.”
“Jadi tantangan kita kaum pesantren itu membangun kurikukum yang lebih singkat dengan mengasumsikan anak muda sekarang gak punya banyak waktu untuk mondok. Ini yang sekarang sedang kita garap. Mungkin juga akan kita balik kurikulum, kalau dulu pesantren kan kurikulumnya praktikal dulu baru filosofis. Cara wudhu, cara salat, cara thaharah, cara-cara dan how to-how to baru filosofi. Mengapa manusia itu harus shalat, itu nanti. Nah, di fase how to kalau kemudian santri kabur, itu bahaya. Nah kita mau coba ini dibalik. Tapi ini tantangannya besar. Banyak pesantren belum bisa menerima pendekatan ini. Anak kecil sudah diajari tasawuf. Tapi pelan lah… kita coba pendekatan ini.”
Seberapa penting diajarkan pemikiran filosofis lebih dulu dibanding cara beribadah seperti itu?
“Hal-hal filosofis ini penting sekali. Sangat-sangat penting sekali. Sangat fundamental dalam hidup ini. Mengapa kita salat, mengapa kita puasa, mengapa kita bekerja, dan seterusnya. Ini hal-hal filosofis yang kalau kita tidak pahami maka pekerjaan kita terasa sia-sia, gitu kan?
“Celakanya, karena kesulitan ekonomi dan tuntutan sosial, orang tertuntut untuk serba cepat. Untuk serba instan. Makan saja instan, apalagi soal pemikiran. Sehingga dengan kondisi seperti itu kita tak punya kemewahan untuk menjelaskan secara filosofis. Orang gak betah. Orang buru-buru. Orang lelah memikirkan kehidupan sehari-hari. Apalagi diajak memikirkan hal yang filosofis.”
Lalu bagaimana solusinya?
“Karena itulah kita tertuntut membuat satu kurikulum yang singkat cerita yang kalau dia sebentar saja mondoknya, dia keluar itu sudah punya bekal. Kita ajarkan filosofinya, lalu hal-hal yang praktikal itu mereka bisa cari sendiri prosedurnya. Nah kalau dia baca Google lalu dia menemukan tata cara shalat yang menyalahkan orang lain dia bisa membentengi diri tak jatuh jadi takfiri karena dia tahu filosofi salatnya (untuk mendekatkan diri kepada Allah).”
“Jadi caranya menyiasati itu kita tak bisa berharap dari orang lain. Tetap kita mulai pertama kita sendiri mulai berpikir filosofis. Yang kedua kita sajikan cara pikir filosofis ini dengan cara pragmatis. Penjelasannya sederhana tapi isinya filosofis.”
Apakah ini bisa diterapkan di semua madrasah?
“Memang ada tantangan. Ada yang namanya corporate culture, kalau di korporasi itu Anda lihat Seven Eleven yang di Thailand dengan Arjosari yang di sini itu sama kan. Kualitasnya sama, pelayanan sama, produk sama, kepuasan pelanggan juga sama. Tapi madrasah x misalnya di daerah Bandung buka madrasah x di Pasuruan nanti outputnya beda, kualitasnya beda. Bikin lagi x di Banyuwanig beda lagi.”
“Atau kalo sekolahan kita lihat misalkan Columbia Street University di Amerika buka cabang juga di Abu Dhabi sama hasilnya. Tapi madrasah gak bisa begini. Kenapa tidak bisa? Karena ada school culture. Kalau di korporasi itu ditularkan di cabang-cabang itu, sementara di pesantren nggak. Kalau kiai ditanya bagaimana caranya madrasah itu maju, semuanya itu Gusti Allah yang ngresakna. Itu berkat doa para santri.”
“Nah, doa kan gak bisa diverifikasi. Tolok ukurnya gak ada. Makanya saya dan temen-temen mengajak kita semua memverifikasi kesuksesan-kesuksesan itu. Lesson learn-nya apa segala macem. Jadi kayak knowledge management. Jadi kalau ada orang sowan ke Kiai bilang, ‘Saya pingin buka madrasah ini nyuwun pangestu.’ Nanti Kiai akan bilang, ‘O, ini saya berikan pangestu lengkap dengan modulnya.’ Maka dengan semua dinamikanya, Pondok Pesantren bisa kembali menunjukkan peran pentingnya dalam membentuk keberagamaan yang kokoh dan inklusif. Keberagamaan yang rahmatan lil ‘alamin.” (Muhammad/Yudhi)