Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Hujjah untuk Mereka yang Menolak Hadis Ghadir Khum

Di dalam Buku Panduan MUI halaman 74-75 menyatakan: “Jika teks hadis (Ghadir Khum) itu menegaskan (sharih) tentang pelantikan Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah, pasti sudah digunakan sebagai dalil dan hujjah oleh Ali bin Abi Thalib saat Rasulullah wafat sebelum pengangkatan Abu Bakr sebagai khalifah, atau pada saat musyawarah enam tokoh sahabat setelah wafatnya Amirul Mukminin Umar bin Al-Khattab untuk menetapkan khalifah baru, dan juga telah dijadikan dalil oleh Abu Musa al-Asy’ari untuk memantapkan posisi Khalifah Ali pada saat peristiwa Tahkim (arbitrase) antara Khalifah Ali dan Mu’awiyah setelah perang Shiffin. Namun tak ada satu sahabat pun, termasuk Ali yang memahaminya demikian. Sahabat adalah orang yang paling memahami maksud perkataan Rasul dan kemurnian bahasa Arab mereka tidak diragukan lagi. Pemahaman ulama sahabat yang menjadi ijma’ adalah bentuk Qoth’iy dalam memahami Al-Quran dan hadis.

Tanggapan:

Andai saja penulis buku yang mengatasnamakan dewan MUI ini sedikit memiliki bekal profesionalisme sebagai seorang peneliti yang jujur maka kesimpulan seperti di atas tidak akan pernah dituliskan. Mari kita buktikan keragu-raguan di atas dengan membuka literatur sejarah dan hadis yang telah dituliskan oleh ulama-ulama Ahlusunah sendiri terkait sikap dan tindakan Ali, bahwa Ali tak pernah mengingatkan khalayak akan kedudukan beliau di hadapan manusia lainnya. Benarkah demikian?

Beberapa catatan penting di bawah ini adalah jawabannya;

Suatu kali Ali bin Abi Thalib meminta kesaksian para sahabat Rasul dalam masjid Kufah yang lapang, kemudian beliau berkata, “Bersumpahlah kalian kepada Allah! Siapa pun yang mendengar Rasulullah Saw berkata, “Barang siapa menjadikan aku sebagai walinya, maka Ali adalah walinya”, maka bersaksilah! Kemudian serempak orang-orang pun bersaksi.

Pada sebagian periwayatan yang lain diceritakan bahwa jumlah orang-orang yang telah bersaksi adalah tiga puluh orang sahabat, dan dalam riwayat yang lain dikatakan sebanyak sepuluh orang lebih. (1)

Begitu pula setelah pengangkatan Abu Bakar yang berlangsung di Saqifah, Ali menolak memberikan baiat selama kurun waktu enam bulan dari pembaiatan Abu Bakar tersebut. Enam bulan adalah sebuah waktu yang cukup panjang. Dalam kurun waktu itu, Ali tak henti-hentinya membuktikan hak kewaliannya atas umat Islam. Peristiwa ini dimuat di dalam kitab-kitab Ahlus Sunnah.  (2)

Muhammad Abduh dalam kitab Nahjul Balaghah, khutbah nomor tiga, Khalifah Ali berkata,

“Demi Allah, putra Abu Quhafah (Abu Bakar) membusanai dirinya dengan (kekhalifahan) itu, padahal dia tahu bahwa kedudukanku sehubungan dengan itu adalah sama dengan kedudukan poros pada penggilingan, air bah mengalir menjauh dariku dan burung tidak dapat terbang sampai kepadaku. Aku memasang tabir terhadap kekhalifahan dan melepaskan diri darinya. Kemudian aku mulai berfikir, apakah aku harus bertindak ataukah menanggung dengan tenang kegelapan membutakan dan azab, dimana orang dewasa menjadi lemah, dan orang muda menjadi tua, dan orang mukmin yang sesungguhnya hidup di bawah tekanan sampai dia menemui Allah. Aku dapati bahwa kesabaran atasnya lebih bijaksana, maka aku mengambil kesabaran walaupun dia menusuk di mata dan mencekik di kerongkongan.” (3)

Dr. Subhi Shalih menahkik Kitab Nahj Al-Balâghah tentang surat Imam Ali kepada penduduk Mesir dan kepada Malik Al-Asytar. Khalifah Ali berkata,“Amma ba’du, sesungguhnya Allah Swt telah mengutus Muhammad sebagai pemberi peringatan bagi seluruh alam, ketika beliau wafat muslimin memperselisihkan suatu urusan sepeninggalnya. Demi Allah, jiwaku tidak pernah menemukan semacam ini, tidak pernah terlintas di hatiku bahwa Arab mencemaskan suatu urusan sepeninggalnya dari AhlulBaitnya.” (4)

Ibnu Qutaibah (w. 276 H) dalam Al-Imâmah wa Al-Siyâsah h. 20 menulis, “Sesungguhnya Ali membawa Fatimah dengan mengendarai keledai berjalan bersamanya di waktu malam menuju rumah-rumah orang Anshar menanyakan tentang dukungan mereka demikian pula Fatimah, mereka berkata, ‘Wahai Putri Rasulullah Saw telah berlalu baiat kita kepada orang ini, seandainya putra pamanmu lebih dahulu mendatangi kita tentu kami tidak akan meninggalkannya.’ Maka Ali berkata, ‘Apakah mungkin aku akan tinggalkan jasad Rasulullah Saw di rumahnya dan aku keluar menghadapi manusia serta menentang mereka dalam kepemimpinannya?’”r(5)

Dengan demikian hujjah dan argumentasi Ali dengan hadis ‘Al-Ghadir’ terhadap khalayak dalam menetapkan kekhilafahan dan kepemimpinannya atas umat, adalah adil dan kuat, bahwa maksud kata ‘maula’ dalam hadis Rasulullah Saw adalah keutamaan dalam bertindak dan berbuat dalam masalah-masalah umat dan kepemimpinan.

Beberapa ulama besar Ahlusunah bahkan menuliskan di dalam kitab mereka bahwa beberapa sahabat menolak untuk membaiat Abu Bakar, di antaranya

  • Fakhr Al-Razi
  • Jalal Al-Din Al-Suyuthi
  • Ibnu Abi Al-Hadid
  • Al-Thabari
  • Bukhari
  • Muslim
  • Al-Asqalani
  • Al-Baladzari dalam Thârîkhnya
  • Ibnu Qutaibah dalam Al-Imâmah wa Al-Siyâsah
  • Muhammad Khawan Syah dalam Raudhah Al-Shâfî
  • Ibnu Abd Al-Barr dalam Al-Istî’âb

Ibnu Abd Al-Barr dalam Al-Istî’âb menceritakan bahwa Sa’ad bin Ubadah, sekelompok Khazraj dan Quraisy tidak membaiat Abu Bakar, delapan belas tokoh dari sahabat Nabi juga menolaknya. Mereka adalah pengikut Ali bin Abi Thalib dan pendukungnya, yaitu:

  1. Salman Al-Farisi
  2. Abu Dzar Al-Ghifari
  3. Miqdad bin Aswad Al-Kindi
  4. Ubay bin Ka’ab
  5. Ammar bin Yasir
  6. Khalid bin Said bin Ash
  7. Buraidah Al-Aslami
  8. Khuzaimah bin Tsabit
  9. Abu Haitsam bin Taihan
  10. Sahal bin Hunaif
  11. Utsman bin Hunaif
  12. Abu Ayyub Al-Anshari
  13. Jabir bin Abdullah Al-Anshari
  14. Hudzaifah bin Al-Yaman
  15. Sa’ad bin Ubadah
  16. Qais bin Sa’ad
  17. Abdullah bin Abbas
  18. Zaid bin Arqam.

(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)

Catatan Kaki

  1. Silakan rujuk Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, juz 1, h. 19 dan juz 4, h. 370. Ibnu Al-Atsir Al-Jizri dalam Usud Al-Ghâbah, juz 3, h. 307 dan juz 5, h. 205 dan 276. Ibnu Qutaibah dalam Ma’ârif-nya h. 194. Al-Kanji Al-Syafi’i dalam Kifâyah Al-Thâlib. Ibnu Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balâghah, juz. 5, h. 74, cet. Dar Ihya’ Al-Turats Al-‘Arabi. Al-Hafidz Abu Na’im dalam Hilyah Al-Auliyâ’, juz 5, h. 26. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Al-Ishâbah, juz 2, h. 408. Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Shawâ’iq Al-Muhriqah, hal. 169, cet. Maktabah Al-Haqiqah, Istanbul, Turki, 2003. Al-Muhibb Al-Thabari dalam
    Dzakhâ’ir Al-’Uqbâ, h. 67. Al-Nasa’i dalam Al-Khashâ’is, h. 26. Al-Samhudi dalam Jawâhir Al-Aqdaini. Syamsuddin Al-Jazairi dalam Asnâ Al-Mathâlib, h. 3. Al-Qunduzi Al-Hanafi dalam Yanâbî’ Al-Mawaddah, bab 4. dan Ibnu ‘Uqdah dalam Al-Wilâyah aw Al-Muwâlat.
  2. Bukhari dalam Shahîh Al-Bukhârî, h. 755-6, hadis 3092-3, kitab Al-Khumus, bab Fardh Al-Khumus, dan h. 1036-7, hadis 4240-1, kitab Al-Maghâzî, bab Ghazwah Khaibar. Muslim bin Qutaibah dalam Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, h. 14. Mas’udi dalam Murûj Al-Dzahâb, juz 1, h. 414. Ibnu A’tsam Al-Kufi dalam Al-Futuh. Abu Nasr Humaidi dalam Al-Jâmi’ bayn Al-Shahîhain mereka meriwayatkan bahwa Ali dan Bani Hasyim tidak membaiat kecuali setelah enam bulan.
  3. Muhammad Abduh, (Syarh) Nahj Al-Balâghah, khutbah Al-Syiqsyiqiyyah, j. 1, h. 30-1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, TT.
  4. Dr. Subhi Shalih, (Syarh) Nahj Al-Balâghah, h. 451, surat 62. Kepada penduduk Mesir dengan Malik Al-Asytar, cet. 4, Dar Al-Kitab, Kairo, Mesir, 2004 M, 1425 H.
  5. Ibnu Qutaibah Al-Dainuri, Al-Imâmah wa Al-Siyâsah, h. 22, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 2006 M, 1427 H.
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *