Berita
Tembang Hati: Kasidah Cinta Untuk Ali
Dari bisikan yang terus mengiang, dari ufuk yang samar-samar merentang, dari khayalan yang kian berarak, aku beranikan diri melontarkan larik ini. Dari masa lalu yang tak terbatas, menuju masa depan yang tak terjangkau, aku beranikan diri menggubah tembang ini; di pagi yang kelabu, ditingkahi siang yang pilu dan berujung dengan malam yang menderu, aku siapkan diri untuk berbicara tentangmu.
Aku bukanlah aku tanpamu. Aku masih dapat menyayangi karenamu. Bayanganku tentangmu, duhai imamku, tambatan hati dan biji mataku, itulah yang menjaga kewarasanku, menyempurnakan agamaku, mempertautkanku dengan Sang Utusan, menghadirkan makna dalam benak dan otakku. Kaulah oksigen dalam benakku, darah yang mendetakkan jantungku, kau yang menahan keputusasaanku.
Ali, di pipimu, aku berlindung dari kecamuk kebencian. Di dadamu, aku berlari dari halilintar kebiadaban. Di pundakmu aku menjaring matahari harapan. Dalam kepal tanganmu aku mencari cinta abadi. Di pojok masjidmu, aku mengais masa depan. Di mihrabmu, aku menjamah kemutlakan. Pada ujung terompahmu aku meniti kebahagiaan. Di jalanmu aku menapaki jejak Sang Kekasih. Kepadamu aku menitipkan rindu. Di balik jubahmu aku menatap wajah Sang Utusan, mencium kaki dan meminum air wudhunya.
Di balik sejadahmu, aku waqafkan anak-anakku. Di antara debu-debu kudamu, kami terbang, melayang, menyapa kesucian. Di antara cucuran keringatmu, cita-cita kami hanyutkan. Dalam butiran air matamu, bawalah nyawa dan jiwa kami. Dalam cintamu remukkan ego kami. Saat itulah bersihkan kotoran-kotoran kami.
Ya Allah, Pemelihara Ali dan seluruh ciptaan, ikutkan kami dalam barisannya, sertakan kami dalam rombongannya, sesatkan kami dalam pusaran renjananya.
Ali, ketulusanmu seperti air (terus memberi tanpa meminta). Kasih sayangmu seperti udara (berhembus menyambung nyawa). Keberanianmu seperti matahari (memancar hangat). Pengetahuanmu seperti angkasa. Dadamu seperti samudera. Kesabaranmu seperti langit, tinggi, membentang tak berhingga. Malam menjadi siang dengan menyebutmu; siang menjadi malam tanpa kehadiranmu. Kaulah putra Ka’bah, washi dan wazir Baginda, suami putrinya, pelindung dan pelayannya, pena dan pedangnya. Seperti garam kau menyatu dalam air laut Sang Nabi.
Kaulah garam, dan Rasul adalah lautannya. Di dalamnya hidup segenap keajaiban Ilahi. Tertunduk semua mata. Terhibur hati yang lara. Itulah samudera makrifat, hikmah dan cinta. Di situlah agama bermuara, dan di situ pula manusia menemukan hakikatnya. Airnya berasal dari rahmat yang Allah tumpahkan ke seantero jagat raya.
Ali, kau gendong derita Nabi dengan riang. Kau jadikan dirimu jalan raya bagi umatnya. Dengan senang kau memilih diinjak-injak demi kelangsungan agama dan risalah yang beliau emban.
Ali, kau pun rela dianggap tak layak menerima apa-apa, tak mampu memikul apa-apa, dan akhirnya keutamaanmu adalah milik semua. Kau tak boleh punya keistimewaan agar tak ada dalil untuk mengakui kealpaan. Tapi, kau tak pernah berubah, tetap bersikap seperti ombak yang terus kembali meski selalu tertolak.
Ali, dari sejarahmu kami belajar makna Islam dan bagaimana mengalami dan mengamalinya. Darimu kami belajar hakikat mengikuti dengan patuh dan setia sekaligus memimpin dengan memikul, menggendong dan mengayomi. Sikapmu seperti burung yang bebas terbang tak kenal lelah, seperti karang, seperti gunung, seperti benda tapi jelas bukan benda. Benda menjadi indah karena sifatnya, tetapi sifat menjadi indah karena kau.
Ali, kau adalah bintang. Tapi kau bukan bintang sembarang bintang. Kau adalah bintang yang melahirkan bintang gemintang. Kau adalah bulan, yang menjanjikan sinar di malam yang kelam. Kau adalah mata air yang memancarkan airmata, airmata yang mengalir jadi sungai munajat dan shalawat. Kau adalah gelombang asmara, yang mengabarkan ihwal jalan utama manusia, jalan lurus yang tak pernah mengalami kepadatan, apalagi kemacetan.
Kau adalah yang tidak terlukiskan oleh kata-kata; kau melampaui kata-kata; kau mencapai puncak dan mengalirkan arus deras dari ketinggian itu tanpa tercemar kotoran.
Ali, di bilik rindu ini, aku memohon, sekali saja, dapat mencium kedua tanganmu yang melepuh karena kerja keras, mencium dahimu yang bercahaya berkat sujud yang berkepanjangan, memelukmu erat-erat, dan terus memelukmu. Ali, jangan kau tinggalkan kami yang telah bergelayut di ujung terompahmu. Ali, dengarkan nyanyian sunyi ini, sunyi senyap memujimu, mengambil jalan keras yang diminta Baginda Nabi.
Ali, zaman ini, seperti di zamanmu, tak ada keadilan bagi yang mencintaimu; bahkan seolah tak ada ruang sidang bagi yang dituduh di jalanmu. Ali, amir bagi mereka yang karam dalam cinta Ilahi, ajarkan kami berpahit-pahit dalam kesabaran hingga kesabaran itu sendiri menyerah dan bersabar pada kami; ajarkan kami menekuk lutut nafsu diri hingga ia kembali jinak dalam kendali Pemilik Hakikinya. Ali, jangan biarkan cinta kami ini meleleh akibat panasnya gelombang kebencian yang menerpa, kuatnya arus tuduhan yang menghunjam dan kejinya gunung fitnah yang menindih.
Ali, cinta kami kepadamu terlalu halus untuk dapat dimengerti oleh mereka yang terlalu membencimu; sekaligus juga terlalu mulia untuk kami sia-siakan karena tidak mereka hargai. Semoga saja ini bukan hubungan searah, tidak bertepuk sebelah tangan. Semoga saja ini adalah janji tulus, sepanjang masa, melalui dunia sampai kelak di padang Mahsyar.
Ali, tak kuasa aku mencurahkan kata-kata, sementara gemuruh di dada jauh lebih nyata. Tak mampu aku bersuara di saat airmata telah mencekam kerongkongan. Sudilah kau terima kasidah seadanya ini, sebagai tanda kehadiran kami, lambaian tangan kami dari kejauhan.
(Musa Kazhim)