Berita
Teladan Toleransi Warga Giyanti
Keberadaan air di dusun Giyanti tak hanya cukup, bahkan bisa dikatakan sangat berlimpah. Seperti warga dusun lain yang mayoritas adalah petani, maka kondisi ini merupakan hal yang paling didamba oleh warga disana. Tentu saja hal itu tak lepas dari kegiatan bercocok-tanam yang sehari-hari mereka jalani.
Di sisi lain, ada hal menarik dan menakjubkan dalam keseharian warga dusun yang terletak di Desa Kadipaten, Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo ini, yang bisa menjadi teladan kehidupan bermasyarakat bagi warga di daerah lain. Terutama dalam hal menjunjung tinggi toleransi.
Berbeda dengan masyarakat dusun pada umumnya yang homogen dalam hal agama dan keyakinan, masyarakat Giyanti justru memiliki keyakinan yang beragam. Namun demikian, hal itu tidak menjadi masalah dalam interaksi sosial keseharian mereka, karena sikap saling memahami dan menghargai perbedaan benar-benar telah tertanam pada diri setiap warga.
“Sesuai data yang ada, pemeluk Islam di Dusun Giyanti ada 200 KK, dan pemeluk Nasrani ada 40 KK, sedangkan yang lainnya adalah pemeluk aliran kepercayaan, ada 17 KK,” ujar Sosro Wardoyo selaku Kepala Dusun Giyanti.
Ditanya lebih jauh apakah keberagaman keyakinan itu benar-benar tidak pernah menimbulkan masalah, Sosro Wardoyo dengan cepat membantahnya. Menurutnya, bukan berarti kondisi itu tidak pernah menimbulkan masalah sama sekali. Terkadang juga muncul persoalan sebagai akibat dari perbedaan itu. Namun, adanya sikap dewasa dalam menghadapi persoalan yang muncul, menjadikan masalah yang ada tidak sampai berlarut-larut dan mengakibatkan perpecahan.
Salah satu contoh adalah ketika di tahun 2012, tindakan warga Nasrani memelihara anjing diprotes keras oleh warga Muslim. Meski persoalan itu sempat meruncing, namun melalui forum musyawarah desa akhirnya selesai juga dengan keputusan yang membuat masing-masing kelompok merasa lega.
Selanjutnya Sosro Wardoyo mengatakan bahwa meskipun warga Giyanti berbeda agama dan profesi, namun kerukunan dan keutuhan antar warga tetap terjaga karena adanya unsur perekat lain yaitu kesenian dan kebudayaan.
“Inilah kunci kerukunan yang terjalin pada warga kami,” kata Kepala Dusun Giyanti kelahiran 27 September 1948 itu.
“Seni dan budaya merupakan napas Dusun Giyanti. Seluruh warga sama-sama mencintai seni dan budaya, serta dengan suka cita telah melestarikannya. Warga Dusun Giyanti yang memeluk berbagai agama seperti Islam, Protestan, Katholik, dan penghayat kepercayaan, tidak akan lagi saling mempersoalkan agama dan keyakinan ketika bersama-sama dalam kegiatan seni dan budaya,” tambah Siswono, seorang aktivis muda Dusun Giyanti, menguatkan pernyataan Kepala Dusunnya.
Salah satu kegiatan seni dan budaya yang rutin diadakan di Dusun Giyanti ini adalah kegiatan Nyadran. Kegiatan ini merupakan perwujudan syukur warga desa atas karunia Tuhan karena melimpahnya hasil pertanian, tanah yang subur, serta air yang melimpah.
Pada saat Nyadran berlangsung, seluruh warga dengan kebhinekaannya mendukung dan berpartisipsi. Tidak ada silang pendapat yang berakibat perpecahan, tidak pula ada pengelompokan antar agama dan kepercayaan. Semuanya lebur mensyukuri rahmat Sang Pencipta atas Dusun Giyanti.
Suasana toleran yang senantiasa terjaga dan ikatan toleransi yang tetap terjalin erat di tengah masyarakat Dusun Giyanti, patut kiranya menjadi teladan bagi kita semua sebagai warganegara yang menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama. (Malik AZ/Yudhi)