Berita
Tasawuf dan Tantangan Dunia Modern
Harus diakui, suasana keberagamaan sedang menghadapi tantangan cukup besar saat ini. Terutama dengan hadirnya kelompok radikal, ekstremis, bahkan teroris yang berpaham sempit dalam beragama. Di tengah kondisi semacam itu, tasawuf menawarkan ideologi cinta kasih yang dapat mengantarkan manusia pada kebahagiaan hati dan ketenangan jiwa dalam menyelami agama. Inilah salah satu yang mendasari digelarnya acara bertema “Sufism in The Modern World” di kantor PBNU Jakarta Pusat (26/2).
“Tasawuf akan membawa kita ke level-level tinggi yang bisa kita capai. Sehingga makin tinggi kita, makin mencakup (menyatu). Kalau kita menyatu, tidak akan terpecah lagi,” papar Dr. Abdul Aziz Abbaci selaku pembicara dari Sadra Institute Jakarta. Menurutnya, kunci dari semua kehidupan itu adalah hidup dalam kesatuan wujud.
“Ketika kita mencapai kesatuan itu kemudian kita akan melihat alam semesta di luar kita, manusia di luar kita, hewan, tumbuhan, batu-batuan, itu menjadi bagian dari diri kita. Tidak mungkin kita akan membunuh orang, menyusahkan orang, kalau kita sudah mencapai level penyatuan. Bahkan, kita tidak akan merusak batu-batuan karena batu-batuan adalah bagian dari keseluruhan eksistensi diri kita. Tapi kalau kita masih di alam materi, (masih didominasi nafsu), maka kita akan melihat orang lain itu sebagai kompetitor kita. Kita pasti rebutan. Rebutan inilah sumber pepecahan, sumber perang, sumber ketidak-bahagiaan,” terang pria kelahiran Aljazair ini.
Ia juga menceritakan ketika awal-awal Raden Patah memimpin, ia tidak meruntuhkan tradisi yang sudah ada. Raden Patah tidak menghancurkan Budhaisme dan Hinduisme. Kenapa?
“Jika hancurkan Budhaisme dan Hinduisme, itu bukan hanya Budhaisme dan Hinduisme yang akan rugi tapi juga Islam yang akan hilang,” imbuhnya.
Dalam hal ini, Islam mengajarkan pahamnya dengan jalan tasawuf, cinta kasih, sehingga dapat berkembang dan diterima masyarakat luas tanpa menghancurkan kelompok agama lain.
Sementara itu, Dr. Mastuki HS dari STAINU Jakarta yang juga hadir menjadi pembicara mengatakan bahwa sejak abad ke-19 tasawuf mengalami tantangan besar sejak munculnya gerakan reformis Islam dan Wahabi menumpang di situ. Abad 20-an menurutnya, tasawuf berkembang dan mengejewantah dalam bentuk yang beragam dan moderat. Seperti halnya social aktivism yang lebih diterima. Lebih longgar, dengan adanya pemakaian musik untuk lebih menarik kalangan muda, kemasan baru seperti zikir masal, dan istighasah.
Dr. Haidar Bagir, Direktur PT Mizan Publishing yang juga menjadi pembicara saat itu mengatakan bahwa kegairahan munculnya tasawuf juga sama seperti halnya dengan munculnya kelompok fundamentalistik-radikalisme-terorisme. Sama-sama tujuannya mencapai ketenteraman hati.
“Namun tasawuf menawarkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan dengan ideologi cinta kasih. Radikalisme, terorisme, manawarkan ketenangan jiwa dengan ideologi kebencian,” papar Dr. Haidar.
Tema “Sufism in The Modern World” ini digelar dalam forum Book Launching (Pergulatan Islam di Dunia Kontemporer; Carl W. Ernst; Mizan) and Studium Generale atas kerjasama PT Mizan, LTN NU, LPTNU, UNU Indonesia, STAINU Jakarta dan didukung beberapa organisasi lainnya. (Malik/Yudhi)