Berita
TARUNG: Stop Kriminalisasi Nelayan Kecil Ujung Kulon
Damo, Rahmat, dan Misdan, tiga pemuda usia 25 tahunan, nelayan kecil dari Ujung Kulon, ditangkap petugas Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) pada Jumat 3 Oktober 2014 atas tuduhan mengambil kepiting dan udang yang diklaim masih berada di wilayah Taman Nasional Ujung Kulon. Selepas penangkapan atas ketiganya, pada tanggal 4 Oktober 2014 mereka kembali ditahan hingga sekarang di Rumah Tahanan Negara (RUTAN) Pandeglang. Mereka terpaksa berpisah dari istri masing-masing, padahal ketiganya adalah tulang punggung keluarga.
Lebih ironis lagi, Damo harus meninggalkan istrinya yang sedang hamil sedangkan Misdan baru menikah 3 bulan lalu. Sebagai tulang punggung keluarga, mereka mengambil kepiting dan udang yang diklaim oleh petugas TNUK masih berada di wilayah TNUK, tentunya tidak jauh dari motif ekonomi. Mereka mengambil kepiting dan udang di wilayah tersebut semata-mata untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara rutin, khususnya persiapan mereka menjelang hari raya Idul Adha saat itu. Sebagai nelayan kecil tentunya mereka hanya menggunakan alat seadanya yang masih konvensional seperti jaring dan perahu kecil.
Sikap represif tersebut tentunya tidak akan menyentuh dan menyelesaikan akar persoalan yang sebenarnya yakni persoalan terkait penguasaan sumber-sumber agraria dan tata kelola batas wilayah TNUK. Hal tersebut tentunya hanya akan menambah deret panjang masyarakat Ujung Kulon yang ditangkap, ditahan, diteror, dan bahkan ditembak.
Peristiwa serupa marak terjadi dan menimpa masyarakat Ujung Kulon yang diduga dilakukan dan difasilitasi oleh pihak Balai Taman Nasional Ujung Kulon dalam bentuk pengerahan personil Polhut, Polri, dan bahkan milisi Jawara ke kampung-kampung wilayah Ujung Kulon. Maka sejak ditetapkannya Ujung Kulon menjadi Taman Nasional sejak tahun 1984 dan diperbaharui pada tahun 1992 melalui SK Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 rentetan peristiwa represif itu terus berlangsung. Misalnya, pada tahun 2007 seorang warga Desa Ujung Jaya ditembak oleh petugas TNUK hingga tewas karena protes terhadap kebijakan TNUK yang sewenang-wenang menyerobot lahannya demi kepentingan proyek Yayasan Badak Indonesia. Pembabatan tanaman warga pun akhirnya mendapatkan legitimasi melalui proyek tersebut dengan disertai bentuk-bentuk pemaksaan, teror dan intimidasi demi persetujuan warga atas proyek tersebut.
Terkait hal itu, masyarakat Ujung Kulon melalui Tim Advokasi Rakyat Ujung Kulon (TARUNG) menuntut agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Taman Nasional Ujung Kulon memiliki itikad baik untuk menyelesaikan persoalan tata batas kelola wilayah konservasi TNUK. Selanjutnya, dapat menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan di tepi wilayah TNUK sebelum permasalahan pokok di Ujung Kulon dapat diselesaikan. (Hendra/Yudhi)