Berita
Taqiyah dalam Pandangan Ahlusunah
Mekanisme pertahanan diri adalah anugrah Allah Swt kepada makhluk ciptaannya, dan Allah tidak akan membiarkan makhluknya tidak memiliki perlindungan. Demikian juga, taqiyah adalah mekanisme pertahanan diri secara naluri yang telah Allah berikan kepada manusia. Kemampuan menggunakan lidah seseorang untuk menghindar dari penganiayaan tentunya merupakan satu contoh perlindungan diri. Ahlusunah juga membenarkan sikap dusta untuk tujuan kebaikan (taqiyah). Bahkan sebagian ulama Sunni menggunakan istilah lain, yaitu “tauriyah” meski substansi dan alasannya sama.
Terkadang seseorang terjebak dalam kondisi sulit dan situasi berat, dia menghadapi pilihan di antara dua perkara yang paling manis dari keduanya adalah pahit, berkata jujur dan terus terang, akibatnya adalah sesuatu yang tidak diharapkan, pahit dan babak belur, atau berkata bohong dan berdusta, akibatnya memikul dosa. Simalakama, tetapi tidak bagi orang-orang yang memiliki kemampuan berbicara tingkat tinggi dan keahlian diplomasi level atas, dengannya dia berkelit licin bagaikan belut. Walhasil, dia tidak berdusta dan tidak pula babak belur, inilah seni berkelit yang dikenal di kalangan orang-orang Arab dengan tauriyah yang berarti mengucapkan kata-kata multi-makna, makna yang dekat dan langsung dipahami oleh lawan bicara dan makna yang jauh yang baru bisa dipahami setelah mengernyitkan dahi. Maksud pembicara adalah makna yang jauh sementara lawan bicara memahami makna yang dekat.
Di antara deretan orang-orang tersebut adalah Nabi Ibrahim a.s, salah satu buktinya adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahîh-nya Kitab Al-Buyu’ bab Syira` Al-Amah min Kafir Harbi au Hibatuha au I’taquha nomor 2217 dari Abu Hurairah berkata Nabi Saw bersabda, “Ibrahim berhijrah bersama Sarah, keduanya melewati sebuah negeri yang yang dikuasai oleh seorang raja sombong. Raja diberitahu bahwa Ibrahim datang bersama seorang wanita yang sangat cantik.” Maka dia bertanya kepada Nabi Ibrahim, ‘Wahai Ibrahim siapa wanita yang bersamamu?’ Nabi Ibrahim menjawab, ‘Saudara perempuanku.’ Kemudian Ibrahim kembali kepada Sarah dan berkata, ‘Jangan dustakan ucapanku, aku telah mengatakan kepada mereka kalau kamu adalah saudaraku, demi Allah di bumi ini tidak ada orang yang beriman selain diriku dan dirimu.’”
Latar belakang jawaban Nabi Ibrahim kepada raja lalim ini adalah keinginannya untuk menyelamatkan diri dan istrinya dari raja ini. Alkisah bahwa setelah Allah menyelamatkan Ibrahim dari api dia bersama istrinya, Nabi Ibrahim as pergi ke negeri yang di sana beliau tidak memiliki pendukung. Dalam kondisi seperti ini, orang-orang zalim lagi lalim berhasrat untuk menerkam orang seperti Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim menghadapi ini manakala dia singgah di negeri dengan seorang raja yang sombong lagi serakah yang gemar merebut istri orang. Raja ini mendengar kedatangan Nabi Ibrahim di negerinya dengan seorang wanita yang tergolong paling cantik di dunia.
Salah satu kebiasaan mereka jika mereka menginginkan seorang wanita adalah menyiksa suaminya, jika wanita tersebut bersuami. Tetapi jika wanita itu lajang maka mereka tidak akan mengganggu kerabatnya. Oleh karena itu, Ibrahim berkata kepada utusan raja itu ketika dia bertanya tentang Sarah bahwa dia adalah saudara perempuannya, supaya bisa selamat dari siksaannya. Nabi Ibrahim juga menjelaskan pandangannya dalam hal ini kepada istrinya, bahwa dia adalah saudara perempuannya dalam agama, yakni dalam iman dan Islam, karena di muka bumi pada masa itu tidak terdapat orang yang beriman selain keduanya.
Dengan ini Nabi Ibrahim selamat tanpa harus berdusta. Masih ada dua riwayat lagi sebagaimana dalam riwayat lain dalam Shahîh Al-Bukhârî, Kitab Al-Anbiya bab Qauluhu Ta’ala, Wattakhadzallahu Ibrahima Khalilahadis 3358 dari Abu Hurairah, “Ibrahim tidak berdusta –[ini bukan dusta tetapi ini adalah tauriyah, dengan membaca kisah kita memahami, ia dinamakan dusta sebagai ungkapan majazi, penulis]- kecuali tiga, dua di antaranya karena Allah, yaitu ucapan Ibrahim, Sesungguhnya aku sakit. (QS. Al-Shâffât [37]: 89). Dan ucapan Ibrahim, Sebenarnya patung besar itulah pelakunya. (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 63). Dan yang ketiga adalah seperti yang telah dijelaskan di atas.
Yang kedua adalah ucapan Nabi Ibrahim kepada kaumnya, “Sesungguhnya aku sakit.” Ucapan Ibrahim ini ketika kaumnya mengajaknya berpartisipasi dalam perayaan hari raya mereka yang batil lagi syirik. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Ibrahim berkata demikian kepada kaumnya agar bisa tetap tinggal di kota pada saat mereka merayakan hari besar mereka, Ibrahim ingin menghancurkan berhala-berhala kaumnya ketika kota sepi, maka Ibrahim berkata bahwa dirinya sakit, mereka memahaminya sakit pada umumnya.
Kemudian Ibnu Katsir menyebutkan perkataan-perkataan para ahli tafsir tentang maksud sakit dalam ucapan Ibrahim. Sufyan berkata, “Sakit, yakni saya sakit tha’un.” Sedangkan mereka takut dengan penyakit ini. Ada yang berkata, “Sakit, yakni yang akan datang sebelum mati.” Ada yang berkata, “Sakit, yakni sakit hati terhadap perbuatan kalian yang menyembah berhala.” Al-Hasan Al-Bashri berkata, “Kaum Ibrahim pergi merayakan hari besar mereka, mereka mengajaknya, lalu Ibrahim terlentang seraya berkata, ‘Saya sakit.’Dia melihat bintang-bintang, ketika mereka pergi, Ibrahim mendatangi berhala-berhala mereka dan menghancurkannya.”
Yang ketiga adalah ucapannya, Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya. (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 63), ucapan ini dikatakan oleh Nabi Ibrahim di depan kaumnya setelah dia menghancurkan berhala dan membiarkan patung terbesar setelah mengalungkan kapak di lehernya dan dia menyatakan bahwa patung besar inilah penghancur patung-patung kecil. Ibrahim melakukan ini agar mereka kembali kepada diri mereka sendiri dengan bertanya dan berpikir bahwa berhala besar ini adalah benda mati, mana mungkin ia bisa menjawab dan mana mungkin ia bergerak menghancurkan berhala-berhala kecil? Selanjutnya, kalau berbicara saja tidak kuasa dan bergerak saja tidak mampu, apakah pantas diangkat sebagai sesembahan? Nabi Ibrahim hendak menetapkan kedunguan dan kepandiran mereka di depan khalayak ramai, sehingga hujjah dan argumentasinya lebih menohok, inilah yang diinginkan oleh Nabi Ibrahim dan ia terwujud.
Allah berfirman, Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya. Mereka berkata, ‘Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.’ Mereka berkata, ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.’
Mereka berkata, ‘(Kalau demikian) bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan.’ Mereka bertanya, ‘Apakah kamu, yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?’ Ibrahim menjawab, ‘Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.’ Maka mereka telah kembali kepada kesadaran dan lalu berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya (diri sendiri).’ Kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata), ‘Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.’ Ibrahim berkata, ‘Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu?” ’Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Apakah kamu tidak memahami?” (QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 57-67).
Sekarang jelas bahwa tidak ada perbedaan antara kaum Sunni dan Syiah mengenai taqiyah, kecuali bahwa kaum Syiah melakukan taqiyah karena takut dianiaya, sedangkan kaum Sunni tidak.
Kaum Syiah harus bertaqiyah sebagai bagian dari penganiayaan yang telah mereka derita sejak hari pertama wafatnya karunia Semesta Alam, Muhammad Saw. Cukuplah berkata, “Aku adalah seorang Syiah” dan kepala anda dipenggal, bahkan saat ini di negara-negara seperti Arab Saudi. Mengenai kaum Sunni, mereka tidak pernah melakukan apa yang dilakukan Syiah karena mereka selalu menjadi teman dari pemerintahan yang disebut “Pemerintahan Islam” selama berabad-abad lamanya.
Kaum Wahabi sendiri melakukan taqiyah, tetapi secara psikologis mereka telah diprogram oleh para pemimpin mereka sedemikian rupa sehingga mereka bahkan tidak mengenali taqiyah ketika mereka melakukannya. Ahmad Deedat berkata bahwa umat Kristiani telah diprogram sedemikian rupa sehingga mereka membaca kitab Injil berjuta-juta kali tetapi tidak pernah menemukan kesalahan! Mereka tetap meyakininya karena para ulama mereka mengatakan demikian dan mereka membacanya pada permukaannya saja. Kami menyatakan bahwa hal ini juga terjadi terhadap orang-orang yang menentang taqiyah.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)