Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Tantangan dan Solusi Kebebasan Berekspresi di Indonesia

Di abad ke-21 saat kemajuan teknologi makin tak terbendung, ternyata berimbas pada perkembangan teknologi komunikasi yang tak kalah cepat membuat sekat-sekat interaksi antar manusia seolah tak ada lagi. Hal-hal privat menjadi begitu cepat dan mudahnya terpublikasi ke ruang publik dan kebebasan berekspresipun menjadi terbuka lebar seolah tanpa batas. Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi kita dalam mengatur lingkup dari kebebasan berekspresi tersebut.

Dua Tantangan

Komisioner Komnas HAM Roichatul Aswidah, dalam diskusi sekaligus peluncuran buku “Kebebasan Berekspresi di Indonesia” oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) di Hotel Oria, Jakarta Pusat, Kamis (17/3) mengatakan bahwa kebebasan berekspresi ini memiliki dua tantangan.

Tantangan pertama adalah sisi medium atau sarana yang digunakan untuk mengekspresikan kebebasan tersebut. Dengan adanya internet yang berkembang begitu pesatnya, membuat setiap orang yang menggunakannya bisa mengekspresikan kebebasannya melalui media tersebut, maka diperlukan regulasi kebijakan yang jelas dari pemerintah.

“Kalau pengambil kebijakan kewalahan, lalu mengambil kebijakan yang instan, maka dampaknya pada kita semua,” jelas Aswidah.

Untuk itu, Aswidah mengatakan pentingnya kita mengingatkan pemerintah agar tidak mengambil kebijakan secara instan dan menyederhanakan semua masalah, padahal masalah yang dihadapi begitu kompleks.

Kemudian tantangan yang kedua adalah dari sisi pesan yang disampaikan. Beruntungnya menurut Aswidah, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural, sehingga minimal pesan yang disampaikan dalam kebebasan berekspresi juga menjadi plural.

“Setidaknya dua hal itu tantangan terbesar dari kebebasan berekspresi,  yaitu medium dan pesan,” tegas Aswidah.

Alternatif Solusi

Sementara itu, terkait masih adanya masalah dalam hal kebebasan berekspresi di Indonesia, Prof. Dr. Syamsudin Haris dari Pusat Penelitian Politik LIPI, menjelaskan ada beberapa hal yang mengakibatkan hal ini terus terjadi.

Pertama, sulit dibantah bahwa lebih dari 15 tahun pasca Reformasi, fokus kita lebih pada reformasi institusional.

“Mulai dari amandemen konstitusi, undang-undang bidang politik, bidang HAM, bidang hukum,” terang Syamsudin.

Akibatnya, yang terjadi justru demokrasi yang kelewat prosedural. Partai politik ada tapi bukan sungguh-sungguh partai politik. Wakil-wakil kita di parlemen ada tapi bukan dengan mudah dapat dimasuki. Dalam kondisi seperti inilah, menurut Syamsudin elemen-elemen otoriter tumbuh dan subur kembali.

“Sebab pada saat yang sama belum ada perubahan cara pandang dalam banyak hal dalam kehidupan kebangsaan kita,” tambah Syamsudin.

Selain itu, yang juga tidak kunjung berubah menurutnya adalah pola hubungan antara Negara dengan masyarakat. Negara masih kerap memandang masyarakat sebagai sumber konflik dan sumber masalah.

“Itulah yang kita lihat ketika pemutaran film digagalkan kemarin,” jelasnya terkait larangan pemutaran salah satu film dokumenter oleh pihak kepolisian.

Solusinya, kata Syamsudin adalah dengan mengkonsolidasikan berbagai elemen masyarakat. Tanpa itu, menurutnya, kita akan berada dalam penindasan penguasa yang tidak kunjung berubah itu.

Baginya, buku yang diluncurkan oleh ELSAM ini mengingatkan kita sebagai elemen masyarakat, bahwa ancaman terhadap bangsa kita bukan dari mana-mana tapi dari mindset aparat Negara yang belum banyak berubah.

“Kemampuan kita mengkonsolidasikan kekuatan masyarakat sipil itu, menjadi kata kunci,” pungkasnya.

Hadir sebagai pembicara lain dalam peluncuran buku siang itu adalah Dr. Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kantor Staf Presiden Republik Indonesia dan Kuskridho Ambardi, Ph.D. Direktur Eksekutif LSI yang juga memberikan paparan cukup lugas tentang kebebasan berekspresi di Indonesia. (Lutfi/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *