Berita
Tanggung Jawab Besar Imam Ali Sajjad Pasca Tragedi Karbala
Selepas ayahandanya syahid, Imam Ali bin Husain as menduduki tampuk imamah. Tepatnya pada 10 muharram 61 Hijriah. Imam Ali as yang bergelar “Zainal Abidin” itu pun mengemban tanggung jawab yang sangat berat. Sebelum segala sesuatunya, dua tanggung jawab besar dan penting segera berada di pundaknya:
Pertama, memelihara dan menjaga Ahlulbait Rasulullah saw dan keluarga syuhada. Dus melindungi mereka dari marabahaya yang mungkin terjadi saat menjadi tawanan dan dalam cengkeraman pasukan Yazid yang zalim dan bengis. Imam Sajjad as bekerjasama dengan bibinya, Sayyidah Zainab as dan Ummu Kultsum, dalam menunaikan kewajiban ini secara sempurna.
Kedua, mengenalkan ayahnya, Imam Husain as, serta menjelaskan tujuan-tujuannya dalam pergerakan Karbala. Termasuk pul mengungkap kekejian antek-antek Yazid, dan mendedahkan kebengisan serta kekasaran hati mereka, sampai-sampai tega melakukan apapun yang bertentangan dengan aturan perang.
Inilah perkara penting yang diikhtiarkan Imam as dalam melanjutkan gerakan Imam Husain as. Sebab, Yazid dan antek-anteknya berencana menyebarkan informasi palsu ke tengah masyarakat. Bahwa peristiwa berdarah di Karbala adalah akibat dari munculnya sekelompok perusak dan pembangkang terhadap pemerintah yang sah serta mengganggu keamanan dan stabilitas nasional sehingga darah mereka halal. Yazid cs bermaksud memanipulasi opini publik. Mereka berharap, rencana itu dapat mengaburkan fakta seputar peristiwa berdarah yang terjadi di suatu tempat terpencil dan jauh dari lalu lalang khalayak bernama Karbala.
Bila Yazid dan para pendukungnya suskes melaksanakan rencana busuk itu, bukan hanya darah Imam Husain as, para sahabat, dan keluarganya yang terinjak-injak. Namu, akibat distorsi tersebut, tujuan-tujuan sakral Imam Husain as terancam gagal.
Imam Ali Sajjad as mengetahui betul kewajiban itu sepanjang perjalanan dari Karbala menuju Kufah, lalu dari Kufah ke Damaskus. Imam as memanfaatkan peluang yang ada untuk mengungkapkan fakta sebenarnya dan menyingkapkan keburukan pasukan Yazid. Imam berupaya membuka tabir keburukan dan kekerasan hati mereka. Seraya itu, beliau mengenalkan siapa sebenarnya Imam Husain as serta menjelaskan tujuan-tujuan sucinya.
Bekerjasama bersama Sayyidah Zainab as dan Ummu Kultsum, Imam Sajjad as memanfaatkan peluang dan menunaikan kewajibannya dengan baik. Imam as berorasi di depan warga Kufah dan Damaskus. Di majelis Ibnu Ziyad dan Yazid, Imam as, Sayyidah Zainab as, dan Ummu Kultsum lantang berpidato dan lincah berargumentasi.
Disebabkan khutbah, perdebatan, dan dialog Imam Ali Sajjad as bersama Sayyidah Zainab as dan Ummu Kultsum, tumbuhlah kesadaran di tengah penduduk Kufah. Para wanita dan lelaki menangisi keteraniayaan Ahlulbait. Mereka kontan menepukkan tangan ke dada dan kepala sebagai ekspresi kesedihan dan ratapan. Mereka menyatakan penyesalan atas kekurangan mereka dalam membantu dan membela Imam Husain as.
Baca juga Isi Khotbah Imam Sajjad as di Istana Yazid
Di Damakus, kejadian yang sama juga berlangsung sehingga Yazid terpaksa meminta maaf kepada Ahlulbait dan menyatakan rasa sesalnya yang mendalam atas terbunuhnya Imam Husain as. Namun, Yazid melemparkan tanggung jawab itu ke pundak Ibnu Ziyad. Akhirnya, Ahlulbait Nabi saw dipulangkan ke Madinah dengan penuh penghormatan dan kemuliaan.
Tujuan awal Ibnu Ziyad dan Yazid menyandera dan menawan Ahlulbait Rasulullah saw dan keluarga syuhada, lalu menggiring mereka dari Karbala menuju Kufah, dan dari kufah menuju Damaskus atau Syam, adalah unjuk kekuatan dan melemahkan jiwa Ahlulbait Nabi saw dan para pendukungnya, dus mencegah kebangkitan dan gerakan anti-Bani Umayyah menyusul pencerahan yang disampaikan Imam Sajjad as dan Sayyidah Zainab as. Namun, konspirasi mereka gagal total. Bahkan penawanan Ahlulbait berbalik menguntungkan Ahlulbait itu sendiri.
Sesampainya di Madinah Munawarah pasca keterasingannya di Damaskus, Imam Ali Zainal Abidin as beserta keluarga syuhada langsung menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan imamah. Imam as mengambil amanah imamah dari Ummu Salamah dan memulai program-programnya.
Program pertamanya adalah menjaga, memelihara, serta mengayomi Ahlulbait dan keluarga syuhada yang terlantar. Program kedua, melanjutkan pengungkapan dan penyebaran informasi serta berita mengenai peristiwa menyedihkan Asyura dan tertawannya Ahlulbait ke tengah penduduk Madinah dan tetap menghidupkan peristiwa tragis itu agar tidak dilupakan.
Diriwayatkan bahwa Imam Ali Sajjad as senantiasa menangis di setiap acara dan peringatan syuhada, khususnya ayahnya, Imam Husain as, seraya menceritakan kepedihan Asyura kepada khalayak.
Imam Ja’far Shadiq as berkata, “Ali bin Husain as menangis selama 20 tahun,” dan dalam riwayat lain, selama 40 tahun. Setiap kali makanan dibawa ke hadapannyta, beliau menangis. Suatu hari, pembantu Imam berkata, “Jiwaku kukorbakan bagimu, wahai putra Rasulullah! Aku takut engkau membahayakan nyawamu lantaran terlalu banyak menangis.”
Baca juga Sahifah Sajadiyah, Warisan Abadi Imam Ali Zainal Abidin
Dalam jawabannya, Imam as berkata, “Aku memasrahkan kesedihan dan kepedihanku pada Allah Swt. Apa yang kuketahui tidaklah engkau ketahui. Setiap saat kuingat syahidnya salah seorang anak-anak Fatimah, tak terasa air mataku meleleh.”
Saat hendak minum, Imam as selalu menangis sampai-sampai air matanya meleleh di tempat minum beliau. Imam as ditanya, mengapa selalu demikian. Imam as berkata, “Bagaimana mungkin aku tidak menangis sementara ayahku dibunuh dalam kedaan dahaga dan air yang diperbolehkan untuk binatang di gurun pun terlarang bagi ayahku.”
Tangisan dan kepedihan Imam Sajjad as bukan hanya pertanda kesedihan dan duka. Namun juga sejenis dakwah dan ungkapan atas kezaliman dan kekejaman Bani Umayyah.
Tanggung jawab ketiga Imam Sajjad as adalah mendirikan pemerintah Islam dan memimpin masyarakat sesuai hukum Islam. Mendirikan pemerintahan dan memimpin mayarakat menjadi salah satu kewajiban terbesar seorang imam. Imam as memiliki kesiapan untuk menunaikannya. Namun, akibat pelbagai makar jahat para penyabot pemerintahan, kaum muslimin tidak dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan memadai dari Imam.
Di satu sisi, lewat propaganda licik yang luas, mereka mendiskreditkan Imam Ali bin Abi Thalib as dengan tuduhan-tuduhan bohong seraya memakinya. Mereka juga menjelek-jelekkan nama Ahlulbait di tengah masyarakat.
Di sisi lain, mereka begitu sensitif terhadap kaum Syiah dan pengikut Ahlulbait. Sampai-sampai mereka terus menerus mengawasi semua perilaku dan ucapan mereka. Jangan sampai kaum Syiah leluasa keluar masuk rumah Ahlulbait atau mendengar hadis dan menukilkannya kepada orang lain atau memuji Ahlulbait. Apabila melanggar, mereka langsung dijatuhi pelbagai sanksi dan hukuman. Dalam kondisi mencekam dan terkungkung seperti ini, siapakah yang berani menemui Imam Sajjad as untuk mencerap ilmu darinya?
Bagaimana mungkin pula Imam as mampu menyebarkan ilmunya ke tengah masyarakat dalam batasan yang dikehendaki? Namun, dengan semua keterbatasan itu, Imam tetap memanfaatkan peluang. Dengan kapasitas yang memungkinkan, Imam as juga menyirami para pecintanya dengan ilmu. Dalam kaitan ini, banyak sekali hadis dalam berbagai bidang yang disampaikan Imam dan tercatat dalam kitab hadis. Yang terpenting di antaranya adalah Risalah Huquq.
Pada 25 Muharram 95 H, Imam Ali Zainal Abidin as wafat sebagai syahid, tak lama setelah penguasa Umayyah, Hisyam bin Abdul Malik, membubuhkan racun ke dalam makanan beliau. Imam as syahid di usia 57 tahun dan dimakamkan di Baqi‘, di samping makam pamannya, Imam Hasan bin Ali as.
Ayatullah Ibrahim Amini