Berita
Takfirisme Mengikis Kebhinekaan Kita
Berabad-abad lamanya Nusantara hidup harmonis dalam kebhinnekaan. Perbedaan bahasa, suku, agama, menjadi khazanah bangsa yang beriring indah dalam bingkai keberagaman. Menjadikan Indonesia permata khatulistiwa yang dicemburui dunia.
Tapi itu dulu. Kini kita justru disuguhi ragam gerakan anti kebhinnekaan. Mengatasnamakan Tuhan, aksi-aksi takfiri pelan-pelan mengikis modal sosial keharmonisan kita, mengancam persatuan bangsa.
Apa dan bagaimana pandangan Ketua Indonesian Conference on Religion and Peace mengenai fenomena ini?
Berikut ini wawancara ABI Press dengan Ulil Abshar Abdalla.
Seberapa besar bahaya gerakan takfirisme ini bagi kebhinnekaan kita?
“Bahaya sekali. Kalau bangsa kita tidak waspada, kita bisa mengalami masalah yang serius dalam hubungan antar agama, antar kelompok. Karena sekarang ini ideologi kebencian terhadap keompok-kelompok yang dianggap sesat, menyimpang dan seterusnya itu berkembang cukup cepat di masyarakat.”
“Kita saksikan sekarang misalnya, dalam ruang-ruang sosial, banyak forum-forum diselenggarakan untuk memusuhi kelompok ini kelompok itu. Syiah, Ahmadiyah, Liberal, dan kelompok yang dianggap aliran sesat dan seterusnya.”
“Saat ini pola keberagamaan masyarakat itu adalah pola keberagamaan yang sarat dengan kebencian dan kecurigaan. Sangat tidak sehat menurut saya. Sekarang ini orang yang punya pandangan yang berbeda itu dimusuhi. Bahwa kalau mengatakan Syiah harus dihargai, Ahmadiyah harus dihargai, langsung dianggap dia sesat. Dianggap dia membela orang-orang sesat. Kalau dia menganggap bahwa syariat Islam tak harus dipaksakan publik melalui Perda, ia dimusuhi dan dianggap anti Islam.”
“Jadi sekarang ini iklimnya adalah iklim yang penuh kecurigaan, kebencian, dan memaksakan keseragaman pendapat atas nama agama.”
Banyak yang mengatakan fenomena takfirisme ini terjadi karena faktor politik dan sosial?
“Ya tentu ada faktor politik dan faktor sosial kenapa radikalisme keagamaan sekarang muncul. Pasti ada. Tapi saya anggap masalah radikalisme tidak sekadar masalah politik dan sosial. Ada itu. Tapi terkait juga dengan masalah yang lebih serius. Yaitu paham, pandangan keagamaan.”
“Pandangan keagamaan (yang takfiri) ini bisa masuk ke mana saja. Termasuk ke negara yang secara politik stabil dan ekonominya baik seperti Jerman, Swedia, Austria, ada masuk ke sana juga paham takfirisme ini. Jadi menurut saya ini masalah gagasan yang harus kita hadapi dengan sungguh-sungguh. Dan gagasan ini persebarannya makin mudah karena dunia digital sekarang memfasilitasi secara luar biasa persebaran apa pun.”
Indonesia adalah negara yang memiliki modal sosial dan kultur moderat dan toleran. Tidakkah itu cukup untuk menghadang pengaruh takfirisme ini?
“Tidak cukup. Sekarang pun sudah berubah Indonesia ini kok. Ada orang-orang yang melakukan kekerasan atas nama agama. Ada perang Ambon, Poso, Bom Bali 1 dan 2. Itu terjadi di Indonesia yang katanya negara dengan penduduk yang sebagian besar toleran. Artinya, kalau toleran kenapa ada yang begitu? Artinya ada sesuatu yang berubah pada masyarakat kita.”
“Memang kita punya modal kebudayaan, local wisdom, modal tradisi dan modal Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika. Tapi kalau modal ini tidak dijaga, tidak dirawat dan dikembangkan kan bisa terkikis. Pelan-pelan tergerus karena macam-macam unsur dari luar, ada kondisi domestik, ada yang memfasilitasi ide kekerasan dari luar, jihadisme salah arah, terorisme. Itu kan menggerus modal sosial kita.”
“Kita kan tak bisa mengatakan jangan khawatir kita punya simpanan modal banyak. Iya, tapi seberapa lama simpanan ini bisa bertahan? Kalau gak kita tambahin terus, kita injeksi terus dengan deposito baru ya bisa habis juga modal kita ini. Tahu-tahu kita tinggal sedikit trus gak bisa lagi nambahin lagi, ancaman seperti ini gak bisa lagi kita tahan.”
Jadi menurut Anda modal sosial kita tak cukup untuk membendung paham takfirisme ini?
“Ya, saya tak menganggap bahwa sekarang Indonesia masih aman-aman saja. Tapi betul-betul kalau kita tak hati-hati menghadapi situasi seperti sekarang ini, kita bisa tergelincir. Seperti Pakistan, seperti negara-negara di Timur Tengah yang di situ konflik sektarian itu begitu besar sekali pengaruhnya. Menimbulkan instabilitas dan destabilitas dalam masyarakat.”
“Selain karena juga begini, sekarang itu agama di Indonesia pengaruhnya besar sekali pada level publik, pada massa umum. Karena sekarang ini ada fenomena yang disebut ‘kebangkitan agama.’ Yaitu orang jadi lebih religius, lebih agamis, sadar akan agama. Itu bagus, tetapi ada efeknya juga. Karena agama itu sekarang begitu mendalam pengaruhnya di masyarakat, orang jadi begitu sensitif. Yaitu ketika ada pendapat-pendapat tentang agama yang berbeda dengan pandangan mereka. Dan itu menurut saya kalau tidak diwaspadai bahaya, karena bisa menutup kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat dan kebebasan berkumpul. Ada orang diskusi dilarang, diserang, diancam, dan segala macam. Itu kan sekarang makin banyak. Sesuatu yang tidak kita lihat pada zaman dulu. Makanya kalau kita bilang Indonesia tak berubah masak bener sih? Pasti kita berubah saat ini. Ada perubahan yang baik pasti, tapi ada perubahan yang seperti ini ya harus kita waspadai juga.”
Jika bahaya realitas sosialnya seperti itu, bagaimana masyarakat mestinya bersikap?
“Menurut saya, pertama masyarakat harus kritis dalam menerima informasi yang terkait dengan agama. Terutama informasi tentang agama yang cenderung memprovokasi untuk bertindak kekerasan. Harus waspada dan kritis menghadapi itu.”
“Kedua, masyarakat menurut saya perlu tetap merawat dalam diri mereka ruang-ruang yang di situ akal sehat bekerja. Ruang-ruang di mana diskusi masih bisa dilakukan dengan bebas. Mempertanyakan sesuatu kan penting itu. Karena dalam masyarakat yang ‘sangat religius’ memang biasanya tidak terlalu suka ada perdebatan. Mereka pinginnya semua orang itu sama, tunduk, kompromis dan seterusnya. Itu khas, bukan hanya Islam. Di mana-mana begitu.”
“Mereka biasanya kurang suka kalau ada orang berbeda pendapat. Kalau bisa semua orang pemimpinnya satu, ajaran satu, ajaran kitab suci. Kalau ada yang berbeda dianggap menyimpang, sesat, kafir, seterusnya. Nah, itu berbahaya kalau dibiarkan. Perlu ada kelompok-kelompok dalam masyarakat yang terus membuat suatu ruang dialog. Entah dalam bentuk diskusi atau dalam bentuk (penerbitan atau bedah) buku yang di situ orang bisa bertanya kenapa begini, kenapa begitu.”
“Kenapa ini penting? Karena kalau masih ada orang yang bertanya kritis, maka sehatlah itu masyarakat. Tetapi begitu masyarakat dipaksa sepakat berpendapat pada satu pendapat saja atas nama agama atau atas nama tradisi, kekusasaan, politik, atau apa pun. Itu pasti ya nggak sehat.” (Muhammad/Yudhi)