Berita
Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 2
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ
(2) Segala puji (hanyalah) milik Allah, Rab ( Tuhan) semesta Alam
Dunia Penuh dengan Rahmat-Nya
Usai membaca bismillahirrahmanirrahim, yang mengawali surah tersebut, tugas kita yang pertama adalah mengingat Pencipta Agung dan Pemelihara dunia wujud, yang rahmat-Nya tak terbatas dan meliputi segala sesuatu. Dalam melakukannya, ayat ini berperan ”sebagai pembimbing” bagi kita untuk memperhatikan keberadaan Allah sekaligus ”sebagai motif” untuk menunjukkan penghambaan dan penyembahan kita kepada-Nya.
Ia sebagai ”suatu motif” karena siapapun, setelah menerima hadiah, berkeinginan mengetahui sang pemberi dengan segera untuk menunjukkan rasa terima kasih dan syukurnya kepadanya. Sifat yang ada dalam watak sejak lahir ini mendorongnya untuk mewujudkan pengetahuan dia tentang Allah.
Kualitas serupa yang ada dalam diri manusia, dalam membahas motif-motif teologis tentang ”pentingnya pemyataan terima kasih kepada Pemberi Rahmat tersebut” menurut arahan pemikiran dan sifat dasar manusia, dianggap sebagai salah satu motif yang ada.
Pun, ayat ini (berperan) sebagai ”pembimbing” untuk memakrifati Tuhan dan rahmat-rahmat-Nya, karena cara terbaik dan terlurus ke arah pengetahuan tentang asal-usul adalah studi tentang rahasia-rahasia ciptaan, khususnya, keberadaan karunia kehidupan yang dikaitkan pada umat manusia.
Barangkali karena dua alasan inilah, maka surah al-Fatihah, selain bismillah, dimulai dengan ungkapan: ”Segala puji (hanya) milik Allah Tuhan semesta alam.”
Atau, dengan kata lain, ayat ”Segala puji (hanya) milik Allah Tuhan semesta alam” menunjuk pada dua hal yakni (1) keesaan zat Tuhan (tawhid dzat), dan (2) keesaan sifat (tawhid shifat) dan perbuatan Tuhan (tawhid fi’li).
Semula penyifatan Allah SWT di sini, dengan bacaan rabbil’alamin (Tuhan semesta alam), sesungguhnya merupakan penyebutan alasan setelah menyatakan klaim (penyifatan) tersebut. Nampaknya, seseorang bertanya mengapa segala puji hanya milik Allah, maka jawabannya adalah karena Dialah ’Tuhan semesta alam.’
Ini adalah salah satu sifat-sifat Allah. Di tempat lain, Allah berfirman: ”Dialah yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan dengan sebaik-baiknya (QS as-Sajdah [32:7).
Selain itu, dalam surah Hud [11]:6, Allah berfirman: ”Tidak ada makhluk yang bergerak di permukaan bumi kecuali menggantungkan rezekinya kepada Allah. .”
Hal itu pun secara jelas bisa dipahami dari kata al-hamd (pujian) yang digunakan dalam ayat ini bahwasanya Allah telah menciptakan semua karunia dan kebaikan ini, pada dasarnya, karena pilihan dan kehendak-Nya.
Menarik untuk diketahui bahwa dengan melafalkan bacaan ”Segala puji (hanya) milik Allah” tidak hanya bermanfaat pada saat memulai suatu urusan, tetapi-seperti yang al-Quran ajarkan-juga digunakan sebagai satu penutup (doa) seperti termaktub dalam surah Yunus [10]:10, mengenai orang-orang saleh di surga, yang berbunyi: ”(lnilah) doa mereka di dalamnya Subhanakallhumma (Mahasuci Engkau wahai Allah) dam ’salam’ (kedamaian) akan menjadi salam penghormatan mereka di dalamnya. Dan penutup doa mereka adalah ’segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam (alhamdulillahi rabbil ‘alamin).”’
Keutamaan Ayat Ini
Berkenaan dengan keutamaan ayat suci ini, terdapat sebuah hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam ash-Shadiq as dimana Nabi saw berkata: ”Ketika seorang mukmin mengucapkan alhamdulillahi rabbil ‘alamin, pujian semacam itu adalah pantas bagi-Nya dan bagi kedudukan-Nya, sehingga para malaikat pun tidak bisa mencatatnya. Mereka akan ditanya oleh Allah mengapa mereka tidak mencatat pahala ucapan yang dibacakan oleh mukmin tersebut. Kemudian, sebagai jawaban terhadap alasan mereka tidak mencatat pahala ucapan itu, mereka akan bertanya bagaimana mereka bisa mengetahui dan memperkirakan standar tinggi dari ucapan tersebut yang berisi pujian yang pantas dan layak bagi-Nya saja. Allah Ta’ala akan mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus mencatat ucapan tersebut dan Dialah yang akan menganugrahi hamba tersebut dengan pahala pujian yang layak bagi-Nya.”1
Kata rabb semula bermakna ”pemilik sesuatu yang terus mendidik dan meningkatkannya.”
Kata ini secara mutlak diterapkan untuk Allah saja. jika diterapkan, dalam bahasa Arab untuk selain-Nya, maka pasti ‘ digunakan dalam bentuk kepunyaan, seperti rabb ad-dar (pemilik rumah) atau rabb as-safinah (pemilik perahu). Dalam keadaan, bagaimanapun kata itu sendiri mengandung makna ”pendidikan”.
Dalam Majma’ al-Bayan ada keterangan lain yang berbunyi: rabb berarti ’orang penting yang perintah-perintahnya ditaati’. Bagaimanapun, adalah mungkin saja bahwa kedua makna tersebut mengacu pada sumber yang sama.
Istilah ‘alamin adalah bentuk jamak dari ‘alam (dunia) dan kita menyebutkan di sini dengan makna ’suatu himpunan berbagai macam makhluk dengan karakter-karakter umum atau suatu ruang dan waktu yang umum.’ Misalnya, kita mengatakan dunia manusia, dunia binatang, dan dunia tumbuhan, atau kita mengatakan: dunia Timur dan dunia Barat, atau: dunia hari ini dan dunia kemarin. Oleh karena itu, ketika ’alam, yang memiliki makna jamak dengan sendirinya, digunakan dalam bentuk jamak, maka ia menunjukkan ”alam semesta”.
Penulis tafsir al-Manar berkata bahwa Imam ash-Shadiq as mengartikan ’alamin sebagai ”umat manusia” saja. Kemudian sang penulis menambahkan bahwa istilah tersebut digunakan dalam al-Quran dengan makna yang sama misalnya dalam ayat: ” …agar dia (al-Quran) menjadi pemberi peringatan bagi seluruh manusia.” (QS al-Furqan [25]:1).2
Memang benar istilah ’alamin dalam beberapa tempat dalam al-Quran digunakan dalam arti ’umat manusia”. Namun kadang-kadang ia juga digunakan dalam makna yang lebih luas yang meliputi makhluk-makhluk lain, misalnya: ”Maka segala puji bagi Allah, Tuhan langit dan Tuhan bumi, Pemelihara semesta alam!” (QS al-Jatsiyah [45]:36); dan juga ayat: ”Fir’aun berkata: ’Dan siapakah Tuhan dari Pemeliharaan alam semesta? ’ (Musa) berkata: ’Tuhan dan Pemeliharaan langit dun bumi, dan semua yang ada di antara keduanya …” (QS asy-Syu’ara [26]: 23, 24)
Adalah menarik bahwa dalam ’Uyun al-Akhbar-nya Syaikh Shaduq, Hadhrat Imam Ali as menafsirkan ayat tersebut dengan ‘ungkapan: ”(Frase) rabbil-’alamin mengacu pada seluruh makhluk, baik makhluk hidup ataupun benda mati.”3
Tentu saja, tidak ada kontradiksi di antara hadis-hadis ini, lantaran betapapun makna istilah ’alamin itu sangat luas, manusia merupakan makhluk yang paling signifikan di antara seluruh makhluk dunia, maka ia kadang-kadang dianggap sebagai titik pusat bagi mereka dan makhluk-makhluk yang lain bergantung kepadanya dan kepada bayangannya. Oleh karena itu, menurut hadis dari Imam as, istilah tersebut dimaksudkan kepada manusia. Alasannya, karena maksud utama penciptaan, dalam kumpulan makhluk yang banyak ini, adalah manusia.
Hal ini juga menarik sehingga sebagian orang memperkenalkan dua bentuk ’alam (dunia, jagat): ’jagat besar’ (makrokosmos) dan ’jagat cilik’ (mikrokosmos). ’Jagat cilik’ dimaksudkan kepada manusia karena entitas manusia itu sendiri merupakan kumpulan berbagai kekuatan yang mengatur ’jagat besar’. Sesungguhnya, manusia adalah model dari seluruh alam. Karena itulah, Amirul Mukminin Ali as, dalam salah satu puisinya yang ditujukan pada manusia, berkata: ”Engkau menyangka bahwasanya engkau adalah tubuh yang kecil, padahal (engkau mesti tahu bahwa) engkau mengandung ’jagat besar’ (makrokosmos) yang ada dalam dirimu.”4
Salah satu faktor yang menyebabkan kami menekankan pengertian luas ’alam (dunia), karena istilah tersebut ditempatkan setelah bacaan alhamdulillah yang menunjukkan bahwa kita mesti mencurahkan segala puji kepada Allah saja, kemudian kita membaca rabbil-‘alamin (Tuhan semesta alam). Kita mengucapkan pujian hanya milik Allah karena semua kesempurnaan, semua karunia dan rahmat di dunia ini adalah milik-Nya, milik Rab (Tuhan), Sang Pemelihara.[]
Artikel sebelumnya: Tafsir Surat Alfatihah Ayat 1
Catatan kaki:
- Ma’ani al-Akhbar, h.32, hadis 8; tafsir Furat al-Kufi, jilid 1, h.52.
- Tafsir al-Manar, jilid 1, h.51.
- Tafsir Nur ats-Tsaqalayn, jilid 1, h.17.
- DAri koleksi puisi (diwan) Amirul Mukminin Ali bin ABi Thalib as, h.175