Artikel
Tafsir Etimologi Kata Kyai
Ma Huwa Kyai ? Simak jawabannya di bawah ini:
Setelah lama menelusur darimana sebenarnya asal kata “Kyai/Kiyai” akhirnya beberapa informasi saya dapat, meskipun masih blm terlalu lengkap. Mencari beberapa buku yang mengulas etimologi kata itu serta mendengar beberapa sumber yang bercerita lisan. Untuk mengendus akar katanya.
Kata, Kyai atau Kiyai, disinyalir sudah lama digunakan, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Sejak kebudayaan china menyebar di Indonesia. Istilah ini dibentuk dari dua kata, yaitu “Ki” dan “Yai”. “Ki” adalah sebutan untuk laki-laki yang dituakan, dihormati atau memang sudah tua. Sedang “Yai” adalah kata yang asalnya dari dialek daerah-daerah asia tenggara Indochina, yang terpengaruh bahasa sanskrit dan Pali. “Yai” artinya besar, luas, atau agung. Kata ini masih digunakan di thailand, burma, kamboja. Dan jawa kuno. Maka, jika digabung, Kiyai berarti seorang laki-laki yang dihormati. Dalam segala kapasitas. Bukan hanya bidang “agama” saja.
Ini memang sebutan bagi pemimpin atau tetua, di masyarakat lampau. Terutama jawa. Meskipun oleh Belanda, kemudian disebar ke daerah lain. Jika di Sunda, dikenal kata “Ajengan” untuk menyebut seorang yang dihormati. Di Aceh, ada “Teungku”, di Sumatera Barat “Buya” di Sulawesi Selatan, ada “Tofanrita”, di madura “Bendara, Bindara, atau Nun” dan di Nusatenggara dikenal sebutan “Tuan Guru”.
Awalnya, di Jawa dikenal sebutkan untuk seseorang yang dihormati dengan “Panembahan”, Ki ageng juga ki gede. Yang sifatnya spiritual-politis. Lalu penyebutan, Kiyai diberlakukan kepada benda dan fenomena yang spiritualistik, mistik dan dihormati secara cultural. Seperti pusaka,simbol-simbol budaya, hewan-hewan yang disucikan atau makhluk ghaib yang mendiami sebuah tempat yang disakralkan. Ketika masa awal kolonial, sebutan ini dipergunakan oleh belanda utk disematkan kepada pejabat-pejabat politiknya dan disebar di daerah lain. Maka di kalimantan selatan di kenal istilah Kiyai, merupakan pangkat bagi pegawai negeri setingkat wedana, hingga demang. Bahkan, di sumatera Barat, juga ada gelar “Kiyai” diperuntukkan bagi keturunan tionghoa yg sudah tua, dihormati. Biasanya berjenggot panjang.
Dari masa kolonial itulah kemudian, penggunaan kata kiyai, merambah ranah lain. Lalu diperuntukkan bagi seorang yang pandai ilmu “agama”. Padahal, semasa walisongo, dan awal penyebaran islam di jawa, ada sebuah istilah utk menyebut seorang yg kompeten di ilmu agama, yaitu sunan. Sunan adalah kependekan dari susuhunan. Ada yang menafsir, kata ini maksudnya adalah susunan, yang dimaksud adalah susunan jari sepuluh. Yaitu merujuk pada sikap tangan ketika menghadap seseorang yang dihormati pada posisi di depan wajah, atau dada. Kata lainnya “menyembah”. Versi lain juga menyebut, kata susuhunan, berakar dari kata “Susuh” yaitu sarang burung. Perlambang rumah kosmologis yang tinggi. Sarang burung diidentikkan dengan rumah kasih sayang yang posisinya di ketinggian, senada dengan gambaran kosmologi jawa tentang swargaloka. Pendapat lain lagi, susuhunan yang kemudian disingkat menjadi sunan itu adalah hasil bias fonem dari kata suwun, sinuwun, sinuwunan. Suwun itu minta, sinuwun itu yang dimintai, sinuwunan adalah permintaan. lalu beberapa suku kata lebur hingga berubah menjadi susuhunan. Kata sunan ini menjadi predikat, bagi seorang yg dihormati dengan kapasitas keilmuan Islamnya. Populer bersamaan dengan diserapnya kata wali. Semasa kolonial-lah, kemudian kata sunan menjadi “atasan” terhadap sebuah kata yang dialih sematkan dari benda/fenomena ke manusia, Kiyai.
Sejak saat itu, Kiyai populer sebagai predikat subordinat dari sunan & wali, utk gelar bagi seorang laki-laki yg dihormati karena ilmu agama. Gelar ini bersanding dengan julukan pusaka seperti keris, tombak, dan juga hewan-hewan tertentu, yang masih dipakai di keraton jawa. Di kalangan betawi, yang tadinya populer menyebut seorang ahli agama sebagai “guru”, akhirnya ikut ketularan. Ada Guru Mughni di kuningan, Guru Marzuki di jatinegara, Guru Udin di Kalibata Pulo & Guru Amin di Kalibata. penyebutan ahli agama di betawi. Lantas di kemudian hari, kalangan ulama betawipun turut serta menggunakan kata Kiyai sebagai gelar. Buya Hamka pernah mengemukakan bahwa pada tahun 1960-an, gelar guru masih dipakai di betawi, hingga orde baru akhirnya kata kiyai dipakai.
Barangkali, gelar Kiyai ini memang sudah terlanjur dinikmati, hingga riwayat etimologinya pun dilupakan. Muncul paradoks dimana-mana. Maka ketika sampeyan ke Yogya untuk menghadiri acara sekatenan, disana ada gamelan Kiyai sekati. Benda bukan manusia. Juga jgn kaget dengan pusaka jaka tingkir yaitu tombak kiyai plered, serta dgn Bendera keramat keraton yogya yg bernama Kiyai tunggul wulung. Di keraton solo, ada kerbau yang spesial, bernama Kiyai Slamet, keturunan kerbau bule milik Sultan Agung Hanyakrakusumo.
Dari penelusuran pustaka dan dengar sana-sini, inilah sekelumit etimologi kata kiyai berikut pemakaiannya. Bukan untuk mendesakralisasi peran “penghulu agama” di pesantren dan lainnya tapi hanya membedah tafsir asal-usul kata. Setidaknya, ketika berbahasa dan mengenakan kata pada ujaran atau tulisan, telah mengerti riwayatnya. Bahwa Islam itu nilai yang semestinya tidak didekonstruksi lewat label-label yang justru tidak selalu senada dengan irama nilainya.
______
::oleh Erik Supit,
::editor Moh_Hammad::
Sumber : Samansamin. wordpress.com