Berita
Syiar Cinta Alquran Akbar Tulis Tangan
Alquran adalah jiwa dan ruh Islam. Dengannya, Allah SWT membimbing umat manusia melalui jalan-jalan kehidupan yang penuh kelok dan tikungan. Karena itulah, umat Islam harus akrab dan mencintai Alquran, agar makin terbimbing mendekati-Nya.
Semangat inilah, awal dari penulisan Alquran terbesar di dunia oleh Hayatuddin, selain perintah tokoh besar Pesantren Al-Asya’ariah, Wonosobo, Mbah Kiai Haji Muntaha Al-Hafidz.
“Saya menulisnya tahun 1991 itu di-dawuh oleh Mbah Kiai,” ujar Hayatuddin. “Sebagai santri ya saya lakukan tanpa pikir panjang. Walaupun sebenarnya kemampuan menulis saya belum sebaik standar penulisan Alquran. Karena yangdawuh Kiai, ya ndak ada tawar menawar.”
Menurut Hayatuddin, Mbah Muntaha memerintahkannya menulis Alquran Akbar itu karena Mbah Muntaha terinspirasi oleh kakeknya, Mbah Abdurrahim.
“Awalnya dari ide Mbah Kiai Muntaha. Ide ini diputuskan karena kakeknya Mbah Abdurrahim saat naik haji dulu kan pernah nulis Alquran. Nulisnya pas waktu berangkat hingga pulang haji di kapal untuk menghilangkan kejenuhan.”
“Setelah sampai Kalibeber baru dijilid. Tapi sayangnya, pas Kalibeber diserbu Belanda, orang pada ngungsi. Alqurannya diambil Belanda dan dihancurkan. Setelah itu Mbah Mun kepingin meneruskan karena sudah pernah melihat Alquran yang ditulis kakeknya. Tapi karena Mbah Mun sendiri kurang mampu, akhirnya memerintahkannya ke saya,” terang Hayatuddin.
Lahir dari pesantren Al-Asy’ariyah, ornamen yang menjadi ciri khas Alquran Akbar ini dituliskan oleh penulis ornamennya, Anas, menyimbolkan pondok pesantren Al-Asy’ariyah dan UNSIQ (Universitas Sains Alquran).
“Ornamennya itu yang full colour bertuliskan Al-Asy’ariyyah. Kalau yang tidak full colour lambangnya UNSIQ,” tutur Anas.
Sementara untuk penulisan, ada 3 khat yang digunakan oleh Hayatuddin, khat naskhi untuk tulisan ayat, khat tsulutsiuntuk penulisan surat, dan khat riq’ah untuk keterangan lainnya.
Terus Menulis Terus Ditulis
Saat ini, Alquran Akbar hasil tulis tangan ini sudah yang ke-8. Menurut Hayatuddin, cara penulisan Alquran Akbar ini akan diteruskan dari generasi ke generasi sebagai bagian dakwah, mensyiarkan Islam sebagaimana pesan Mbah Muntaha.
“Bikin pertama tahun 1991-1993, ukuran 2×1,5 meter, diberikan untuk Presiden Soeharto dan disimpan di Binagraha. Kedua tahun 1995-1997, 2×1,5 meter, dikasih ke Menag, sekarang ada di Taman Mini. Ketiga diberikan ke Gubernur Jakarta Sutiyoso, yang keempat ke Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, di masjid Agung Jawa Tengah.”
“Tahun 2005-2006, diserahkan ke Sultan Hasan Bolkiyah, Brunei, disimpan di istana sultan, ukuran 1.5 x1 meter. Tahun 2008-2009 ditaruh di Masjid Raya Makassar. Ke-7 sudah selesai ukuran lebih kecil, 1×75 senti, dan yang ke-8, yang masih dalam proses pengerjaan ukuran 2 x1.5 meter,” ujar Hayatuddin.
Menurut Hayatuddin, Mbah Muntaha ingin dengan penulisan Alquran Akbar itu, nama Alquran bisa mendunia.
“Inginnya agar Alquran bisa lebih mendunia. Besar itu hanya simbol saja. Maksudnya agar orang Islam disuruh membesarkan, mengagungkan Alquran. Itu falsafahnya,” terang Hayatuddin.
“Tujuannya yang lain ya, Alquran itu punya falsafah orang Islam itu harus mencintai menulis dan membaca. Karena itu adalah kunci ilmu, jadi agar umat Islam itu makin seneng menulis dan membaca,” tambah Hayatuddin.
Menurut Dr. Muchotob Hamzah, Rektor Universitas Sains Alquran (UNSIQ) Kalibeber, Wonosobo, Alquran memang merupakan pedoman komprehensif kehidupan, tapi tak serta merta bisa langsug diaplikasikan. Di situlah, simbol itu penting.
“Prinsipnya begini, Alquran itu sebagai sumber penggerak. Tapi Allah juga berikan ke kita law of nature. Keduanya ini sumbernya satu. Karena logikanya sama, pasti tak ada yang berbeda, kalau beda mungkin ada pemahaman yang salah atau sains yang belum nyampe.”
“Untuk itu pakai simbol-simbol. Simbolnya bagaimana? Alquran Akbar ini,” lanjut Muchotob. “Seperti kata Pak Harto, meng-Qurankan masyarakat, memasyarakatkan Alquran. Jadi ada kolaborasi.”
“Karena arahnya supaya pesan penting ini menyebar ya kita kolaborasi. Kita ke Brunei begitu, ke Pak Harto begitu,” tutur Muchotob.
Generasi Penerus
Untuk tujuan syiar itulah, Hayatuddin mengatakan akan terus menulis dan meneruskannya ke generasi selanjutnya.
“Saya akan terus menulis hingga akhir hayat. Untuk regenerasi juga nanti rencananya akan kita adakan lomba penulisan kaligrafi. Yang terbaik nanti akan jadi penerus tongkat estafet,” ujar Hayatuddin.
“Saya inginnya santri. Karena kalau santri kan kesabarannya terbukti. Karena nulis Alquran kan karena jumlahnya banyak lembar, kan butuh kesabaran, butuh ketelatenan.”
“Yang paling penting, ada rasa untuk memiliki. Kalau gak ada, nanti gak tanggungjawab. Kalau rasanya milik sendiri kan mengerjakannya dengan semangat, tanpa kenal lelah. Beda kalau tidak ada rasa itu. Mengerjakannya seadanya,” ujar Hayatuddin.
Dengan terus mentradisikan penulisan Alquran ini, Muchotob berharap, bisa memberi semangat dan inspirasi kepada generasi muda Islam agar makin mencintai dan mengkaji Alquran.
“Islam sekarang mundur karena jauh dari Alquran. Karena itu setiap generasi muda harus membaca, mengkaji Alquran untuk maju,” pesan Muchotob. (Muhammad/Yudhi)
Link liannya :
– Nama 12 Imam Ahlul Bait di Masjid Nabi