Berita
Syiah di Indonesia dan Dinamika Politik Iran (bag 2 Wilayatul Fakih)
Wilayatul Faqih
Syiah seringkali dikaitkan dengan isu politik Iran. Salah satunya adalah wilayah al-faqih. Wilayah al-faqîh bermakna ketika masyarakat Syiah menjadi bagian dari bangsa itu sendiri. Sebagaimana iman dan amal mesti seimbang dalam sendi kehidupan kita, maka iman seorang Syiah menjadi sempurna dengan mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara dimana ia hidup. Jadi, kesyiahan dan ke-Indonesiaan hampir sejajar. Kesyiahan itu iman dan ke-Indonesiaan itu amal. Iman tanpa amal tidak ada artinya. Dengan kata lain, Syiah tanpa meng-Indonesia tidaklah bermakna.
Kadang karena ketidakjelasan maksud dan arti sebuah kata, kesimpulan yang diperoleh bisa sangat melenceng. Terkadang tema-tema ‘ikutan’ dalam konsep Wilâyah Al-Faqîh menimbulkan pertanyaan bahkan praduga negatif, antara kedudukan marja’iyah dan mujtahid. Yaitu, apakah jangkauan kewenangan Wilâyah Al-Faqîh di luar batas geografis sebuah masyarakat yang secara struktural berada di dalam sistem Wilâyah Al-Faqîh?
Apakah pola hubungan yang bersifat struktural institusional ataukah semata kultural, spiritual dan sebagainya?
Untuk membicarakan tema-tema ‘ikutan’ tersebut, harus disepakati terlebih dahulu pengertian komprehensif atas sejumlah kata kunci. Ada beberapa kata yang maknanya sepintas nyaris sama dengan faqîh, seperti mujtahid, dan marja’.
Ijtihâd adalah potensi atau kemampuan menyimpulkan hukum yang elementer dan mengindentifikasi tugas operasional dalam bidangnya. Sebagian ulama mendefiniskan ijtihad sebagai “mencurahkan jerih payah demi memperoleh hujjah atas suatu realitas.” (Al-Ra’y Al-Sadîd, Mushthalahât Al-Ahwâl, 25)
Mujtahid adalah mukallaf (orang yang berkompeten) yang mencurahkan tenaga dan jerih payah dengan cara-cara legal secara rasional dan konvensional guna menghasilkan sebuah dalil atas hukum dan fatwa berdasarkan sumber-sumber ijtihad.
Mujtahid ada dua macam, mujtahid kulliy (universal), yaitu seseorang yang ijtihadnya meliputi semua bidang hukum zhanniy; dan mujtahid juz’i atau mutajazzi’ (partikular), yaitu seseorang ijtihadnya hanya meliputi sebagian bidang hukum zhanniy. Selain itu, mujtahid kulliy ada dua macam; mujtahid yang tidak ditaqlid; dan mujtahid yang ditaqlid, yaitu mujtahid yang dijadikan sebagai rujukan dalam masalah-masalah hukum zhanniy. Yang terakhir inilah yang disebut sebagai marja’ dalam fikih Syiah.
Dalam fikih mutaqaddimûn (terdahulu), biasanya kita menyebut para marja’ sebagai para Imam Mazhab Sunni; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal. Dan dalam dunia fikih kontemporer kita mengenal para marja’ Sunni seperti, Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi, Syaikh Abu Zahrah, Syaikh Wahbah Zuhaili (Suriah), Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi, Syaikh Ali Jum’ah (Mesir) dan lainnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan antara mujtahid (baca: mujtahid kulliy) dan marja’ terletak pada ada dan tidaknya seseorang yang menjadi muqallidnya. Kendati demikian, menurut pendapat populer, ada sejumlah syarat tambahan bagi mujtahid yang menjadi marja’, yaitu: a’lamiyyah (lebih mendalam pengetahuannya dalam agama) dan laki-laki.
Ada beberapa istilah yang sering digunakan oleh Syiah kemudian disalahpahami oleh segelintir orang. Rahbar misalnya, adalah pemimpin tertinggi dalam konstitusi Republik Islam Iran yang mengikat semua warga negara Iran.
Sedangkan wali faqîh sebagai wujud dari konsep wilâyah al-faqîh bisa saja diikuti oleh siapa pun.
Sebagai konsep, wilâyah al-faqîh diimani oleh setiap Syiah sebagai konsekuensi dari konsep imamah itu sendiri. Terlepas dari siapa yang menjadi wali faqîhnya. Tapi bahwa setiap muslim harus mengikuti seorang faqîh (mendalam agamanya), adalah sebuah kewajiban dalam Alquran itu sendiri. Namun di dalam Syiah itu sendiri ada yang memahami konsep wilâyah al-faqîh itu secara terbatas dan secara universal.
Kemarja’an dalam Syiah di Indonesia yang mengikuti marja’ di luar negeri bersifat konsultatif, tidak mengikat dan tidak mesti diikuti. Sama halnya dengan kemantapan seseorang dengan seorang kiai dalam tradisi NU atau lebih jauh sebagaimana yang terjadi antara warga Indonesia pengikut para Syaikh di Al-Azhar (Mesir), Syaikh Yusuf Qaradhawi (Qatar), Syaikh Al-Buthi (Suriah), Syaikh Utsaimin (Saudi), Al-Albani (Yordania) dan lainnya. Produknya disebut fatwa. Ia bersifat umum dan berkenaan dalam persoalan-persoalan fikih/hukum saja, seperti wajib, sunnah, makruh, mubah, dan haram atau sah dan batal, suci dan najisnya sesuatu dan sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan aqidah.
Semua persoalan yang difatwakan oleh seorang marja’ bersifat umum dan ijtihadiyyat, bukan persoalan yang qath’iyyat, awwaliyyat, dan muhkamat dalam Alquran dan Sunnah. Misalnya, keharaman zina tidak memerlukan fatwa karena sudah jelas. Fatwa hanya berlaku bagi persoalan yang tidak diketahui oleh seorang muqallid.
Pandangan seorang marja’ terbagi menjadi dua, definitif dan preventif. Definitif misalnya wajibnya melakukan sesuatu, ini yang disebut sebagai fatwa. Sedangkan preventif adalah kehati-hatian ini yang disebut sebagai ijtihad.
(Dikutip dari Buku “Syiah Menurut Syiah” Tim Penulis Ahlulbait Indonesia)