Ikuti Kami Di Medsos

Akidah

Syariat, Garis Demarkasi Kebebasan [4/4]

Pembahasan Sebelumnya Jalan Mengenal Kenabian [3/4]

Di seputar mafhum kebebasan senantiasa terdapat juga pembahasan tentang batas dan wilayah kebebasan. Dalam menentukan batas dan wilayah kebebasan, terdapat beragam pandangan yang didasari oleh pandangan dunia dan ideologi. Namun, yang pasti tak seorang pun di dunia ini yang memfatwakan kebebasan mutlak, tanpa batas dan tanpa kait; akan tetapi penentuan batas, syarat, dan kait kebebasan ini yang senantiasa menjadi bagian daripada wacana dan dialog para filosof politik.

Sebagian dari mereka berkeyakinan terhadap kebebasan yang berkeadilan; yakni hanya keadilan yang memiliki kelayakan dan kemampuan membatasi kebebasan; sebab tidak satupun komprehensi dan esensi yang dapat berhadapan dengan kebebasan selain sebuah komprehensi yang lebih penting, lebih besar, lebih luas, den lebih meliputi dari makna kebebasan. Oleh karena itu, gabungan antara nilai dan idealitas tidak lain adalah kebebasan yang berkeadilan, dimana penafsiran tentangnya berada dalam pancaran dan penataan syariat.

Keadilan, yakni menjaga totalitas hak-hak dan nilai-nilai, di mana kebebasan merupakan salah satu di antara mereka. Oleh karena itu, susunan tersebut (hak dan nilai), adalah keseluruhan yang berimbang yang memenuhi seluruh hak dan nilai dan di antaranya adalah kebebasan itu sendiri.

Dengan demikian, hak kebebasan tidak boleh mempersempit dan menyudutkan hak-hak yang lain, sebagaimana keadilan itu sendiri bukanlah suatu nilai yang independen yang menghalangi hak kebebasan; akan tetapi keadilan adalah suatu sifat yang memiliki totalitas kesetimbangan (equilibrium), dan sudah jelas kesetimbangan seluruh hak dan nilai ini baru dapat teraktual ketika kehidupan seluruhnya terjaga, bukan sebagian dari mereka, dan menjamin keberlangsungan seluruhnya, bukan meliburkan sebagian dari mereka.

Berdasarkan ini, maka sistem akhlak yang adil dan bebas merupakan sistem yang dinasihatkan dan dianjurkan oleh para nabi dan juga seluruh hukama dan reformer.

Dalam mengisykal teori kebebasan berkeadilan ini harus dikatakan bahwa keadilan yang diperhadapkan dengan kebebasan yang membatasi kebebasan tersebut adalah suatu komprehensi yang datang dari tempat lain dan mesti dimaknakan dan ditafsirkan. Jika kebebasan juga dibebaskan dan dilepaskan -sesuai keinginannya dan keuntungannya- dalam memaknakan keadilan dan memberi artian untuknya; dalam bentuk ini maka apa saja yang menguntungkannya akan dihitungnya adil dan apa saja yang merugikannya akan dipandangnya buruk dan zalim.

Jika kita menerima kebebasan itu memiliki batasan dan itu adalah keadilan kebudayaan, maka penerimaan ini adalah salah; bahkan pembicaraan ini baru di tengah jalan dan mesti untuk mencapai akhir jalan kembali kepada awalnya, dan dari situ perjalanan yang akan dilewati akan diketahui secara sempurna. Ibaratnya seperti seorang yang kehausan, ia membuka kran air untuk menghilangkan dahaganya dan menyangka bahwa kran air itu akan melenyapkan hausnya, ia tidak mengetahui bahwasanya ia harus melewati proses (perjalanan) ini dan sampai kepada sumber air yang jernih dan segar.

Keadilan dan kebebasan -ibaratnya kran dan pipa air- berada dipertengahan jalan dan selamanya tidak akan dapat membatasi dan menentukan garis demarkasi. Karena itu, mesti batas kebebasan diketahui dalam ruang lingkup takwîn (genesis), dan juga batasnya didapatkan dalam wilayah tasyrî’ (canonization) sehingga menjadi maklum apa itu kebebasan takwini dan batasannya dimana, serta kebebasan tasyri’i itu apa dan batasannya di mana.

Kebebasan dalam sistem takwini, berada di seputar undang-undang illiyah (sebab-akibat); yakni manusia dalam sistem takwini adalah bebas, namun manusia tidak akan dapat merealisasikannya lebih tinggi dari undang-undang illiyah. Tanpa memperhatikan aturan yang berkuasa atas “sebab dan akibat”, adalah mustahil suatu pekerjaan sampai pada akhirnya. Tidak satupun akibat tercipta tanpa sebab dan tak satupun akibat tanpa sebab khususnya mumkinul wujud. Mustahil sistem sebab dan akibat dapat dihilangkan dan suatu akibat tercipta dari ketakberaturan dan kebetulan.

Sistem tasyri’ juga demikian halnya; yakni struktur tasyri’ membatasi kebebasan; sebab hanya tasyri’ yang mampu menjelaskan batasan kebebasan, bukan keadilan. Keadilan -apakah itu dihitung sebagai suatu sifat dari sifat-sifat manusia atau suatu akhlak dari akhlak manusia atau sifat dari keseluruhan yang setimbang- berada di bawah bundelan syariat, sementara syariat ditetapkan dan ditentukan oleh syâri’ muqaddas dan dzat aqdas ahadiyyah (Allah Swt).

Oleh karena itu, batas kebebasan dan keadilan dan juga batas sifat, hak, dan tanggung jawab, ditentukan dan ditetapkan oleh Tuhan; dengan konteks seperti itu maka memungkinkan manusia bergerak dalam pusaran batas kebebasan dan keadilan dan juga batas hak-hak serta sifat-sifat lainnya.

Tuhan telah memberikan hak bagi setiap pemilik hak, firman-Nya: “…yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.”[QS Tâhâ: 50] Oleh karena itu, jika kita katakan bahwa keadilan menentukan batas kebebasan maka dapat dipertanyakan, pertama, apa keadilan dan kezaliman itu? Kedua, siapa yang mesti menetapkan ruang lingkup keadilan? Jika keadilan adalah sesuatu yang ambigu, bagaimana dia dapat menjelaskan batas kebebasan?! Jadi mesti dikatakan: Mabda (causa prima) yang menciptakan alam dan Adam, yang mampu menentukan dan menjelaskan batas alam dan Adam dalam takwîn (genesis) dan tasyrî’ (canonization); sebagaimana dapat kita baca dalam a’mâl (amalan-amalan) bulan Rajab: “pemberi batas segala yang terbatas, syâhid segala yang masyhud, dan pengada segala yang maujud [Bihârul Anwâr, Jld. 95, Hal. 393]”; yakni Tuhan yang memberi batasan atas segala sesuatu, karena itu penjelasan tentang batas kebebasan dan keadilan serta penyampaiannya juga semuanya berada di tangan Tuhan.

Amirul Mukminin Ali as dalam maqam menafsirkan kebebasan berkata: Apa yang diperintahkan kepadamu dengannya lebih luas dari apa yang dicegah dan dilarang kamu darinya, dan apa yang dihalalkan bagimu lebih banyak dari apa yang diharamkan kamu atasnya; maka tinggalkanlah sesuatu yang sedikit untuk meraih sesuatu yang banyak dan jauhilah yang sempit dan sulit untuk mendapatkan yang luas dan mudah.[Nahjul Balagah, Khutbah 114]

Oleh karena itu, batas dan ruang lingkup kebebasan berada di tangan pemilik syariat; sebab halal dan haram berada di tangan-Nya dan perkara ini berpindah kepada masyarakat dengan perantara para pemikir matang (faqih) dan tidak semua orang mencapai harim (sanctum) suci ini tanpa memiliki syarat-syarat yang lazim terlebih dahulu.

Kebebasan adalah hak setiap insan, dan setiap insan memiliki hak bebas, tetapi manusia dalam hak ini adalah bertanggung jawab dan setia, bukan pemilik semata kebebasan. Hak ini ibaratnya penguasaan terhadap harta milik dan pengelolaan terhadapnya.

Untuk menjelaskan matlab ini perlu diutarakan beberapa hal yang lazim yang berkaitan dengan pemilikan harta, di antaranya:

  1. Sesuatu yang disebut harta, seperti rumah, kebun, mobil, karpet, televisi, kulkas, binatang ternak, dan sebagainya.
  2. Pemilikan manusia atas mereka dikarenakan produksi, pembelian, ihrâz (retain), warisan, dan semacam itu. Berdasarkan ini manusia mendapatkan penguasaan atasnya, sabda maksum As: Manusia berkuasa atas harta-harta mereka.[Bihârul Anwâr, Jld. 2, Hal. 272]
  3. Apakah kekuasaan atas harta adalah hak atau taklif? Jika kekuasaan atas harta adalah hak maka manusia dapat saja merusak harta miliknya, hatta menghancurkan rumahnya atau membakarnya; yakni apa saja yang dia ingin lakukan terhadapnya dia bisa saja lakukan dan tidak ada sama sekali penghalang, aral, dan problem yang muncul dari orang lain dan tak seorang pun yang akan mencegahnya serta perbuatannya pun tidak terhitung isrâf (pemborosan) dan mubadzir, dan yang paling akhir bahwa perbuatannya itu tidak termasuk perbuatan yang diharamkan Tuhan.
  4. Adapun jika kekuasaan atas harta adalah taklif dan tanggung jawab, yakni bukan hak, maka dia harus konsisten untuk tidak isrâf dan mubadzir terhadap harta miliknya serta jangan sampai terjadi perbuatan haram atasnya. Jadi, dalam menghadapi kepemilikan harta dan hak penggunaan dengannya, jangan sampai kita melakukan maksiat karenanya; yakni kita mesti amîn (dapat dipercaya, setia) terhadap harta, bukan pemilik dan pengguna yang sewenang-wenang atasnya.

Oleh karena itu, Tuhan adalah penentu batas dan hudud serta penetap syarat kebebasan, dan kebebasan juga merupakan suatu hak yang diletakkan Tuhan pada ikhtiar manusia, maka itu manusia adalah penjaganya; dengan cara itulah kebebasan, reputasi serta harga diri terjaga. Jika seseorang berupaya dan berusaha serta dalam pelaksanaannya meraih reputasi atau jika sebuah negara dikarenakan kerja keras dan mujahadah memperoleh prestise di dunia maka dia mendapatkan hak besar, yakni semua warganya wajib menjaganya. Manusia yang bermartabat tidak punya hak menumpahkan identitas dan mengobral kepribadiannya di mana saja; sebagaimana kemerdekaan dan harga diri sebuah negara juga mesti seperti ini; sebab menghilangkan harga diri sebuah bangsa dan masyarakat merupakan suatu maksiat besar dan tentu saja balasan perbuatan ini adalah azab dan siksa akhirat.

Imam Shadiq as berkata: Tuhan memberikan izzah dan kemuliaan kepada orang mukmin dan menyerahkan perkara-perkaranya kepada dirinya. Tuhan tidak menginginkan dalam penyerahan pekerjaan-pekerjaan kepadanya itu membuatnya terhina dan menumpahkan harga dirinya; sebagaimana Tuhan berfirman:…izzah itu hanyalah bagi Allah , Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin…”[QS al-Munâfiqûn: 8]. Oleh karena itu, orang-orang mukmin bermartabat dan punya harga diri serta mereka tidaklah rendah dan hina[Bihârul Anwâr, Jld. 67, Hal. 72], karena itu orang-orang mukmin memiliki tanggung jawab untuk menjaga harga dirinya.

Juga Abu Basir berkata: Saya katakan kepada Imam Shadiq as bahwa orang-orang bepergian musafir dengan sekelompok orang kaya, ketika mereka jatuh dalam pengeluaran maka dia tidak sanggup mengeluarkan seperti apa yang dikeluarkan oleh mereka (kelompok orang kaya) dan dia hanya punya sedikit biaya dan ongkos. Imam Shadiq As berkata: Saya tidak suka dia membuat dirinya hina dan menumpahkan air muka dan harga dirinya. Dia mesti bepergian seperjalanan dengan orang yang kemampuannya dari segi harta (dalam belanja dan biaya) seperti dirinya.[Bihârul Anwâr, Jld. 76, Hal. 269]

Pelaksana dan pejabat negara juga tidak punya hak untuk membuat hina masyarkat dan bangsanya dan menumpahkan harga diri negaranya atau menjual dirinya kepada bangsa asing. Dia mesti menjaga kemerdekaan dan kebebasan (diri, masyarakat, bangsa, dan negerinya); sebagaimana yang dipesankan Amirul Mukminin hadhrat imam Ali As kepada putranya hadhrat imam Hasan al-Mujtaba As sekembalinya dari perang Shiffîn: Muliakanlah dirimu dan cegahlah dirimu dari setiap kehinaan dan kerendahan, meskipun dia (kehinaan) akan menyampaikan kamu kepada berbagai kenikmatan (duniawi); sebab apa yang berhadapan dengan air muka yang kamu tumpahkan, tidak akan kamu dapatkan gantinya, dan janganlah menjadi hamba dan budak yang lain; sebab Tuhan menciptakan kamu sebagai orang yang merdeka.[Nahjul balagah, Surat 31]

Oleh karena itu, sebagaimana asas eksistensi kita berasal dari Tuhan, kesempurnaan-kesempurnaan yang menyertai dan mengikutinya juga, seperti kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan hak-hak lainnya, semuanya bersumber dari Tuhan dan mesti kita menggunakannya di jalan benar serta menjaganya.

Untuk lebih jelasnya apa yang telah diuaraikan tersebut di atas, beberapa poin berikut ini perlu diperhatikan:

  • Manusia, mempunyai hak-hak individual, sosial, politik, budaya, ekonomi, dan hak-hak lainnya seperti itu;
    Hak-hak tersebut merupakan hibah Ilahi yang diberikan kepada manusia;
  • Manusia berhak atas hak-hak tersebut, namun dalam berhadapan dengan pemilik asli mereka, manusia harus amin dan setia terhadapnya serta berusaha menjaganya; manusia dinisbahkan dengannya tidak boleh berlaku sebagai pemilik yang berbuat sewenang-wenang hatta sampai mengobralnya;
  • Sebagaimana manusia berkuasa terhadap harta miliknya, akan tetapi selamanya dengan kekuasaannya itu dia tidak punya hak bertindak sewenang-wenang terhadapnya, dinisbahkan dengan hak-hak yang sudah disebutkan -seperti kebebasan dan kemerdekaan- dia adalah pemilik hak, tetapi dalam berhadapan hak ini, dia mempunyai tugas dan taklif; yakni dia bertanggung jawab memelihara nikmat ini dan dengan harmoni dan adil mengambil manfaat darinya tanpa meliburkannya, dan dia dinisbahkan dengannya bukanlah sebagai raja penguasa.

Oleh karena itu, penjelasan konsep dan teori pembatasan ruang lingkup kebebasan hanya di tangan Tuhan -yang termanifestasi dalam bentuk syariat- dapat dijelaskan berasaskan undang-undang dan hukum kausalitas, bahwasanya seluruh nilai-nilai -seperti kebebasan, keadilan, dan hak-hak lainnya- mesti berakhir pada ghanî mahdh (kaya sejati). Imam Sajjad As berkata: Orang butuh menginginkan sesuatu kepada seorang butuh adalah perbuatan yang bodoh. Oleh karena itu, dari satu sisi semua orang-orang butuh harus mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang butuh dan mesti berfikir untuk menghilangkan kebutuhannya dan di sisi lain, merujuk kepada orang seperti dirinya (yakni orang butuh juga) adalah perbuatan yang tidak logis.[Sahifah as-Sajjadiyyah, Do’a 28.

Berdasarkan pemikiran ini maka untuk menghilangkan kebutuhan (setiap orang atau maujud butuh) mesti meminta bantuan dan bermohon kepada yang kaya sejati, dan nilai kebebasan serta nilai keadilan dan nilai hak-hak lainnya dan juga batasan-batasan mereka mesti dicari darinya, dan jika hak-hak yang bernilai ini sampai di tangan kita maka kita jangan mengobralnya begitu saja dan kita jangan serahkan di tangan orang yang tidak layak menerimanya serta kita jangan sampai menganggap seseorang sebagai pemiliknya; akan tetapi semua harus bertanggung jawab dan setia dalam berhadapan dengannya.

Tawanan Agama

Amirul Mukminin Ali As berkata kepada Malik Asytar: Agama ini tadinya tertawan dan terpenjara di tangan para pembuat keburukan, dan mereka berbuat atasnya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya dan mereka menjadikannya sebagai wasilah untuk mendapatkan dunia.[Nahjul Balagah, Surat 53]

Revolusi Islam mengambil bentuknya lewat tangan mulia Nabi Saw dan masyarakat terbebaskan dari kait dan perangkap penyembahan berhala dan tsanawiyyat jahiliah. Nabi Saw memerintahkan berhala-berhala di seputar Ka’bah dihancurkan dan mensucikan Masjidil Haram serta Ka’bah dari polusi mereka serta menguburkan semuanya di sisi pintu Bani Syaibah, dan Nabi Saw memerintahkan supaya orang-orang yang haji masuk Masjidil Haram lewat pintu ini sehingga permasalahan berhala dan peradaban berhala selamanya berada di bawah kaki para muwahhid.

Dalam hal ini, sekelompok besar orang memandang bahwa seluruh problema dan dilema kemasyarakatan serta keagamaan mereka disebabkan oleh kebudayaan penyembahan berhala ini, kekafiran, dan syirik, maka itu mereka menjadi muwahhid. Sekelompok lainnya tidak mengambil manfaat secara benar dari kebebasan ini dan tinggal dalam keadaan penuh keragu-raguan, dan terdapat kelompok ketiga yaitu kelompok thugyân (pemberontak), yang dikarenakan endapan-endapan jahiliah masih bercokol dalam jiwa mereka dan bayang-bayang kejahilan masih mengkristal dalam hati mereka maka mereka hanya masuk Islam secara zahir sebagaimana yang dikatakan Amirul Mukminin As tentang mereka: Mereka tidak masuk agama Islam, akan tetapi mereka berpura-pura memeluk agama Islam.[nahjul Balagah, Surat 16]

Kelompok ini pada hakikatnya bukanlah kaum muslimin, tetapi mereka secara zahir menampakkan bahwa mereka adalah bagian dari orang-orang Islam, mereka ini menunggu kesempatan kapan dapat menghabisi agama dan menyerahkan kemenangan itu di tangan para tagut, setan, dan iblis. Mereka hendak mematahkan ajaran agama dari dalam dan mengikat tangan serta kaki syariat dan merantai syariat serta menjadikannya sebagai tawanan, dan pada akhirnya melakukan balas dendam terhadap agama benar ini; sebagaimana Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan katakan: Tidak ada agama dan wahyu datang dan tidak ada al-Qur’an diturunkan (ini adalah bentuk puncak pengingkaran terhadap kedatangan dan bi’tsah Nabi Saw beserta agama Islam dan Alquran).

Bani Umayyah dan bani Marwan berkhayal bahwa sesudah mereka mengikat dan merantai agama maka agama akan lenyap selamanya, dan sesuai dengan anggapan mereka bahwa agama adalah suatu permainan, sesudah itu tidak akan mungkin hidup lagi; akan tetapi hadhrat imam Sajjad as dan hadhrat Zainab dalam menyertai pemimpin para syuhada (Imam Husain as) dan dengan kepemimpinan beliau As, mereka menghidupkan agama dan melepaskan ikatan dan rantai yang membelenggu tangan dan kaki agama serta memukulkannya pada pintu rumah tirani bani Umayyah dan bani Marwan serta mempermalukan mereka dalam catatan sejarah umat manusia untuk selamanya.

Ketika imam Sajjad as ditanya di depan pintu gerbang Syam (syiria) tentang siapa yang menang dalam peperangan di Karbala, beliau as berkata: Jika kamu ingin mengetahui siapa pemenangnya maka ketika masuk waktu salat, (baca) azan dan iqamahlah!; yakni bacalah azan dan iqamah sehingga diketahui bahwa kalimat “Aku bersaksi bahwasanya Muhammad Saw itu adalah utusan Allah” merebak dan menyebar secara agung dan mulia di alam kemanusiaan dan kebudayaan serta peradabannya meliputi seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, kelompok thugyân menggunakan pemberian kebebasannya dan kemerdekaan yang ada dalam Islam secara menyimpang dan menjadikan agama dan hukum-hukumnya sebagai tawanan serta merantai sunnat dan syariat. Dalam kondisi ini sudah jelas bahwa salat, puasa, dan haji tidak mempunyai kekuatan dalam amr bil-makrûf dan nahî minal munkar; sebab pengaruh positif yang diprediksikan untuk hukum-hukum Ilahi tertuju pada keberadaan obyektifnya, bukan hanya komprehensi subyektif; apatah lagi dengan hanya keberadaan lafaz dan tulisannya.

Dikutip dari buku Ayatullah Taqi Misbah, Merancang Piramida Keyakinan

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *