Berita
Sudahkah Kita Merdeka?
Genap 70 tahun Indonesia sudah merdeka dari penjajahan asing. Dengan pengorbanan harta dan nyawa para pejuang, kini bangsa Indonesia berdiri, berdaulat, kemerdekaannya kita syukuri dan kita rayakan.
Namun, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Mengapa masih ada penindasan dan penjajahan oleh anak bangsa sendiri atas sebagian warganegara Indonesia?
Berikut wawancara ABI Press dengan Dr. Muhsin Labib.
Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, apa sebenarnya makna kemerdekaan itu?
“Selama 70 tahun ini menjadi bukti bahwa kita berhasil, bangsa Indonesia berhasil menjaga kemerdekaan sebagai sebuah bangsa, sebagai sebuah negara. Artinya perjuangan para pahlawan, para pejuang itu baik pejuang medan pertempuran maupun medan negosiasi dan sebagainya. Dari ragam suku, agama, tradisi dan lain sebagainya. Dengan 70 tahun kita sampai di usia Indonesia merdeka ini ya tentu kita harus mensyukurinya.”
“Nah, makna syukur ini yang mungkin perlu diperluas. Syukur itu bukan hanya merayakan dengan kegembiraan, upacara, pasang bendera, dengan lomba, dan sebagainya. Tapi yang lebih penting dari itu mensyukuri nikmat Allah berupa kemerdekaan itu ya dengan menjaganya.”
“Ya tentu kita memperingati itu bukan hanya merayakan, tapi juga dengan menjaganya. Buat apa kita merayakannya dengan panggung dangdut, dengan panjat pinang, dengan lari dalam karung belaka? Itu kan cuma ekspresi kegembiraan. Tapi kita semua harus sadar, bangsa Indonesia semua harus sadar bahwa itu belum selesai. Masih banyak PR dan itu tanggungjawab pemerintah sekaligus tanggungjawab masyarakat untuk menuntut itu.”
“Makna menjaga itu apa? Menjaga itu ya berusaha sekuat mungkin agar kemerdekaan itu tidak hanya dalam konteks menjaga negara dari penjajah luar, yang dari luar negeri sana datang merampas kekayaan kita. Kita sekarang tidak menghadapi itu. Itu kolonialisme kuno. Sedangkan yang kita hadapi adalah penjajahan model baru.”
Penjajahan model baru itu seperti apa?
“Penjajahan model baru itu ada dua bentuk. Bisa asing bisa domestik. Kalau penjajahan model baru asing ya bentuknya adalah hegemoni ekonomi, intervensi politik, yang kita lihat misalnya dalam perjanjian-perjanjian antara negara dalam transaksi ekonomi mau pun dalam bentuk investasi-investasi yang bukan malah memberi keuntungan yang sepadan, tapi malah mencekik. Membuat kita bangsa Indonesia hanya dieksploitasi sebagai tenaga kasar, dan kekayaan alamnya dipindah ke tempat lain. Itu bisa dianggap sebagai penjajahan.”
“Makanya kita heran dulu kita negara pengekspor minyak, ternyata minyak kita dicuri mulai tahun 70-an. Sekarang ini kelanjutannya. Mulai tahun 70-an ada pencurian, ada penambangan liar, ada penebangan liar. Jadi itu semuanya adalah ulah orang asing memang. Tapi bukan negara. Itu corporate, perusahaan-perusahaan, atau cukong-cukong.”
“Yang kedua, penjajahan neokolonialisme yang berdimensi domestik. Bukan bule bukan orang asing, dia bagian dari kita. Penjajahan domestik itu atas nama ekonomi, politik dan agama. Kalau neo kolonialisme domestik atas nama ekonomi itu bentuknya monopoli, oligarki, yang melahirkan kasus-kasus korupsi. Kerjasama dengan oknum penguasa yang memberikan otoritas. Sehingga dengan otoritasnya memberikan kemudahan-kemudahan yang ilegal kepada orang lain, yang kemudian berkolaborasi dalam perampokan pada negara, pada kekayaan bangsa ini.”
“Kemudian ada juga penjajahan sosial, yang ujung-ujungnya ekonomi juga. Misalnya kelompok-kelompok yangg sebetulnya tidak berhak untuk melakukan aksi-aksi militer. Kelompok-kelompok para-militer yang sepertinya semi-militer. Meski bukan militer tapi gayanya, aksi-aksinya itu bukannya mengamankan tapi seolah-olah selain TNI itu ada lagi tentara. Sehingga orang itu merasa tidak aman. Namun yang jauh lebih berbahaya dari itu adalah penjajahan domestik atas nama agama.”
Seperti apa bentuk penjajahan domestik atas nama agama?
“Penjaahan domestik atas nama agama, ini yang paling besar. Munculnya dalam bentuk apa? Bentuknya bertingkat-tingkat penjajahanya. Ada yang paling parah ya melakukan tindakkan perusakan rumah ibadah dan sebagainya. Seperti misalnya kekerasan terhadap Ahmadiyah, kepada Kristen dan Syiah. Dalam 70 tahun itu ada noktah di lembaran kemerdekaan kita.”
“Noktah itu adalah Sampang. Itu orang-orang miskin, polos, tak terdidik, tak mengenyam pendidikan tinggi. Mereka hanya petani, garap sawah-ladang, pulang ke rumah, ngaji, pulang. Tak tahu apa yang terjadi di dunia ini. Tiba-tiba mereka karena mengikuti satu kiai tertentu, punya alasan sendiri untuk memilihnya, tiba-tiba diserang. Boleh jadi penyerangnya orang gak ngerti. Setelah di serang kemudian direlokasi.”
“Setelah diusir dari satu tempat, ternyata kelompok intoleran ini masih belum puas. Karena sesumbarnya memang Syiah harus keluar dari kota Sampang. Akhirnya dengan berbagai macam cara. Pokoknya ujung-ujungnya dalangnya ini harus membuktikan sesumbarnya bahwa tidak akan ada Syiah di Sampang. Maka tabirnya ketika salat, pembatas salat laki dilepas paksa. Kaum perempuan dan anak-anak diseret-seret paksa masuk ke bis. Itu penjajahan! Padahal warga Syiah itu bukan kriminal, mereka tidak melakukan kejahatan apa pun, mereka bukan koruptor.”
“Kemudian mereka dipindahkan ke satu tempat. Setelah dipindahkan, proses berjalan, tidak tahu kapan mereka akan kembali. Ketika ingin kembali dilarang kembali oleh orang yang menghancurkan rumahnya itu. Yang menyampaikannya justru polisi yang mestinya mengamankan. Kalau mau kembali boleh, asal kamu melepas keyakinan. Mengapa perlu melepas keyakinan? Wong cuma 100-200 orang? Tujuannya supaya sesumbar tokoh intoleran kepada masyarakat itu terbukti. Itu namanya penjajahan!”
Berarti sebenarnya bangsa kita sebagian masih terjajah dan belum merdeka?
“Ya. Menjajah itu artinya merampas hak orang, hak sipil orang, hak konstitusional orang. Sesat atau tidak sesat itu urusan agama. Anggaplah sesat, tapi tetap mereka sesama warganegara. Ini kan negara Pancasla. Ini kan negara yang dibangun karena kontrak sosial dengan asas Pancasila. Nah, mengapa ada orang yang memaksakan sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi negara saat kita sudah merasa merdeka 70 tahun lamanya? Ini ironi. Ini noda di kening sejarah bangsa kita.”
“Maka itu saya katakan, sudah merdeka dari penjajah asing, tapi masih ada yang dijajah. Masih ada yang belum bisa kembali ke tanahnya sendiri, bukan tanah orang. Ke ladangnya sendiri. Dan kita seperti tidak denger apa-apa. Giliran ada artis tersangkut kasus narkoba, itu heboh. Ada seorang wanita cantik dibunuh, heboh. Kita ini kadang-kadang rabun prioritas, empati itu hanya didasarkan pada kehebohan ternyata.”
“Mereka yang dianiaya ini sudah melakukan segala macam upaya yang harus dilakukan. Sampai ketemu Presiden, sampai berjalan nempuh ratusan kilo naik sepeda, mendatangi semua pihak yang bisa didatangi. Presiden SBY bahkan dulu memberi jaminan. Mereka juga optimis dengan Jokowi, berharap akan ada orang yang signifikan.”
“Ternyata ndak juga. Sementara kasus-kasus kerusuhan lainnya bisa diselesaikan dengan cepat. Kasus Tolikara, semua kan diusut. Ada orang yang melakukan. Nah, kenapa nasib 200 orang Syiah Sampang ini seperti tak terdengar? Jadi, kita boleh bangga, tapi kita juga harus sedih. Merdeka 70 tahun isinya bukan hanya kegembiraan tapi juga kekecewaan.”
Bagaimana sesungguhnya arti nasionalisme yang benar, terkait kemerdekaan kita?
“Ya, alhamdulillah secara umum semangat kebangsaan itu terlihat cukup luas. Tapi kita jangan menyandarkan spirit kebangsaan dan cinta negara pada yang bersifat seremonial, simbolik, dan visual. Ada yang lebih mendasar dari itu. Nasionalisme yang sebenarnya itu perilaku, sikap yang berangkat dari kesadaran warganegara, sebagai bagian dari bangsa. Daripada kita nyanyi-nyanyi dangdut tapi kita nyuri listrik, buat apa?”
“Nasionalisme itu artinya mematuhi hukum. Tidak menyuap, tidak juga menerima suap. Kalau yang mau berkuasa nyuap, kemudian rakyatnya mau disuap, berarti kerjasama antar penyuap dan akhirnya sistem negara itu akan sama-sama kena suapnya. Sama-sama korupnya.”
“Nasionalisme itu adalah sikap yang menentang hal-hal yang merusak negara. Merusak aset, merusak kepentingan sesama warganegara. Itu nasionalisme. Buat apa merayakan secara simbolik kalau substansinya tidak mencerminkan kita cinta negara ini? Jangan sampai juga merayakan 70 tahun Indonsia merdeka itu dengan memaksa. Diminta lewat edaran, sumbangan memaksa. Loh, ini mestinya kan sukarela, masak sih kesenangan kok dipaksa.”
“Nah, ada satu lagi fenomena menarik. Salah satu cermin kegembiraan perayaan kemerdekaan itu yang umum adalah memasang bendera. Makanya yang aneh, ketika kelompok-kelompok yang suka mengkafirkan itu mensyirikkan hormat bendera. Ini adalah bukti bahwa kaum takfiri itu adalah penumpang gelap di negara ini. Hormat bendera dianggap syirik.”
“Padahal yang syirik itu kalau menganggap bendera itu tuhan. Tapi kalau hormat bendera sebagai ekspresi penghormatan, bukan kainnya, tapi spirit yang diwarisi Merah-Putih itu, itu sebuah kemuliaan. Logika mereka ini adalah logika orang yang gagal berpikir logis.”
Seberapa berbahayanya pemikiran seperti ini bagi bangsa?
“Orang-orang yang memaknai syirik dan tauhid itu secara ngawur, mereka ini adalah orang yang suatu saat akan mengganggu. Ciri khasnya biasanya intoleran, gemar mengkafirkan, menyesatkan. Lihat saja orang yang biasanya mengkafirkan dan menyesatkan itu selain bisa dideteksi dari pola pakaian dan perilaku, juga dari sikap-sikapnya.”
“Mensyirikkan hormat bendera, mengkerdil-kerdilkan arti negara, apalagi Pancasila. Mereka mengatakan cinta NKRI tapi tak menyebutkan Pancasila. Kelihatannya saja membuat event yang tampak Islami, mengusung tauhid, tapi tujuannya ingin berkampanye dan menciptakan orang menjadi intoleran.”
“Lha, buat apa lagi mengajak orang bertauhid padahal orang tersebut sudah bertauhid? Kira-kira apa tujuannya? Hanya dua kemungkinan. Kamu dianggap tidak bertauhid, atau tauhid kamu berantakan. Hanya itu. Nah jangan sampai, event-event yang mulia, memperingati 70 tahun Indonesia merdeka kali ini dikooptasi, dicampuri dengan tujuan-tujuan yang justru bertentangan dengan keindonesiaan.”
“Yang lebih penting adalah bagaimana hidup rukun dalam sebuah negara. Negara apa? Negara yang dibangun oleh semua orang beragama. Mau Kristen, mau Islam mau apa pun. Kalau Anda mengajak orang bertauhid itu seperti ngajak ayam berkokok. Kita sudah bertauhid. Dan biasanya ajakan bertauhid itu kalau ditelusuri kembali ke satu kelompok itu.”
“Nggethu (sibuk) menganggap kita ini menyembah bendera, menyembah Pancasila, tidak ikut Alquran dan Sunnah. Lha, Pancasila itu ditafsirkan dari Alquran dan Sunnah kok. Jadi ya tak bisa juga langsung dikatakan, ayo ikut Alquran dan Sunnah. Kenapa? Ya karena orang ada yang berbeda agamanya. Bagi kita sebagai Muslim ya memang harus menafsirkan sesuai dengan spirit Alquran dan Sunnah.”
“Lha, tapi bagi yang Kristen? Tentu menampilkan Pancasila sesuai dengan spirit Injilnya. Tapi kelompok anti-Pancasila ini biasanya menganggap selainnya gak ada. Pokoknya yang ada hanya mereka ini. Ya itu sama saja dengan memaksa orang untuk berkeyakinan. Itu namanya penjajahan.”
“Jadi artinya nasionalisme itu apa? Gak rumit nasionalisme itu sebenarnya. Nasionalisme itu artinya berperilakulah sebagai manusia Indonesia. Sebagai orang Indonesia, ya orang yang terikat dengan sistem negara Indonesia, terikat dengan kontrak sosial, aturan-aturan, konstitusi, hukum, itu berarti kamu orang Indonesia.”
“Karena itu saya tekankan lagi, yang perlu diwaspadai adalah event-event yang ndompleng perayaan kemerdekaan, bawa-bawa bendera Merah-Putih tapi tujuannya adalah menciptakan manusia-manusia intoleran, manusia pengkafir, manusia penyesat, manusia yang ingin merampas hak sesama warganegara atas nama agama, mazhab, kelompok. Ini yang berbahaya.”
Apa harapan dan pesan bagi bangsa Indonesia dalam momen HUT kemerdekaan ini?
“Kita tentu harus bersyukur atas 70 tahun Indonesia merdeka. Tapi tentu kita harus sadar pula bahwa masih ada fenomena-fenomena yang justru membuat kita prihatin. Membuat kita perlu menyelamatkan muka kita sebagai bangsa Indonesia yang sudah 70 tahun, sudah cukup lama mengaku merdeka. Ternyata kita masih melihat fenomena penjajahan domestik. Itu PR buat presiden, buat pemerintah, dan buat kita sebagai bangsa Indonesia, yang menghirup udara di sini, berpijak di atas bumi ini. Dan kita mencari pahala di atas tanah ini.”
“Anda beribadah bisa di atas udara hampa? Kan ndak bisa. Tetap harus di bumi. Di bumi mana? Tentu di Indonesia. Karena itu Indonesia mulia, suci. Mengapa saya katakan suci? Karena bumi Tuhan itu suci. Bukan ini sakralisasi, tapi nasionalisme. Kebangsaan itu menunjukkan kalau kita berbuat baik pasti ada tempatnya, beribadah mesti ada masjidnya dong. Masjidnya di mana? Ya di Indonesia. Anda boleh salat atau kebaktian. Di mana? Ya di Indonesia. Artinya Indonesia adalah tempatnya orang beribadah. Ya karena itulah berarti mulia dong.”
“Artinya syarat tempat itu wajib. Karena itu kita cinta negara ini. Karena itu kita cinta Tanah Air. Ndak pake disuruh. Kalau ada orang cinta Tanah Airnya, itu gak perlu ayat gak perlu riwayat. Saking gamblangnya. Karena itu pesannya, kembalilah kita menghargai bangsa kita, tanah kita. Caranya gimana? Mensyukuri dengan memahami tugas dan tanggungjawab kita.”
“Bahwa ada orang yang berbeda dengan kita berarti kita tidak sendirian. Posisikan orang lain sepenting dirimu. Orang lain semulia kamu. Siapapun dia. Dia adalah sesama warganegara, sama halnya denganmu. Dia adalah saudara sebangsa, se-Tanah Airmu. Tegakkan hukum, hormati konstitusi. Itu baru namanya nasionalisme yang substantif.”(Sulthon-Muhammad/