Berita
Siapakah yang Patut Digelari Kafir dan Fasik?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. [an-Nisa: 59]
…....Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui. [QS. al-Anbiya; 7]
Diriwayatkan oleh Zuhri dari Amr bin Syuaib dari ayahnya bahwa kakeknya berkata:
“Rasulullah saw mendengar kabar bahwa sekelompok orang berdebat tentang beberapa ayat Alquran, lalu beliau bersabda, ‘Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah binasa karena ini. membenturkan; membenturkan sebagian ayat dalam kitab Allah dengan sebagian ayat lainnya, padahal bagian-bagian dalam kitab Allah saling membenarkan dan bukan saling menyalahkan, maka katakanlah apa yang kalian ketahui tentangnya, sedangkan apa yang tidak kalian ketahui tentangnya, maka serahkan kepada orang yang mengetahuinya.”
Inilah Alquran, dan ini pula sunah. Keduanya sama-sama memerintahkan supaya polemik dalam masalah agama diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bahwa yang berwenang menyelesaikan dan menjelaskan hukum dengan kitab suci dan sunah adalah alim ulama. Dengan demikian, seorang muslim tidak boleh memvonis saudaranya sebagai kafir karena dia bukanlah orang yang mengetahui apa hakikat kekufuran dan apa yang menyebabkan seseorang dapat dikategorikan sebagai murtad dan ingkar terhadap Islam atau sebagai pelaku maksiat dan menyalahi perintah-perintah Allah Swt. Sebab untuk akidah dan syariat Islam sudah ada ulama dan pakar yang membidanginya agar perintah Allah dapat mereka terapkan. Jadi, keberagamaan adalah kewajiban bagi seluruh umat Islam, tetapi penjelasan tentang hukum halal dan haramnya adalah kewenangan orang-orang yang membidanginya, yaitu para ulama, berdasar ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya.
Seorang muslim juga tidak boleh mengikuti suatu mazhab fikih dalam Islam dengan tujuan mendapatkan interes politik, atau demi mendukung pihak yang berkuasa atau suatu kalangan tertentu. Seorang muslim lebih baik menyebarkan keutamaan akhlak, akidah dan syariat Islam kepada pihak-pihak nonmuslim daripada mengajak saudaranya sendiri kepada suatu mazhab atau semua mazhab yang semuanya bersambung pada Rasulullah saw.
Al-Azhar menentang perangai orang-orang yang bermujahadah bukan terhadap musuh. Seorang muslim Syiah tidak seharusnya meminta muslim Sunni supaya meninggalkan mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki atau Hambali lalu mengikuti mazhab Syiah. Begitu pula sebaliknya. Selagi semuanya adalah bagian dari umat Islam, maka mereka harus saling bersaudara dan sama-sama harus berusaha mendakwahkan ajaran Islam kepada nonmuslim. Mereka harus menahan diri dari tindakan yang dapat memperlebar skala perselisihan dan perpecahan di tengah barisan umat Islam serta menjadikan mazhab-mazhab fikih sebagai mazhab politik bagi pemerintah. Umat Islam terdahulu tidak berbuat demikian karena bertentangan dengan firman Allah Swt, Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertatwalah kepada-Ku. [QS. al-Mukminun: 52]
Almarhum Imam besar Syeikh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, Mantan Rektor Universitas Al-Azhar Mesir