Akhlak
Setiap Mukmin adalah “Kafir”
Oleh : Muhsin Labib
Pada mulanya kata iman bersifat netral, bisa memuat pengertian negatif dan bahkan sering berkonotasi positif. Imbuhan predikat ‘negatif’ mesti dilekatkan bila objek yang diimani niscaya terkufurkan (tertolak). Iman harus menyandang sifat ‘positif’ bila objek yang diimaninya memang niscaya diimani. Baik, positif maupun negatif, iman adalah produk pengetahuan yang telah melewati dua tahap proses pengelolaan, tahap inteleksi (ta’aqqul) dan tahap emosi (dzawq). Dengan kata lain, iman adalah komposisi ‘tahu’ (kenal) dan ‘cinta’ (sayang).
Pengetahuan, yang merupakan produk proses inteleksi, tidaklah cukup untuk menghasilkan iman. Kecenderungan atau perasaan sangat mungkin mereduksi pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa kadang manusia memutuskan untuk melakukan tindakan yang melawan pengetahuannya sendiri. Mereka mengingkarinya padahal hati mereka meyakininya karena kezaliman dan merasa tinggi (QS. an-Naml:14).
Iman memiliki dua jenis pasangan, protagonis dan antagonis. Pasangan protagonis iman adalah amal. Sedemikan erat keduanya sehingga tautan di antara keduanya bisa dikategorikan sebagai conditio sine qua non. Tidak mungkin ada iman bila di baliknya tidak ada amal. Iman tidak akan berguna bila tidak bersanding dengan amal.
Pasangan antagonis iman adalah kufur. Secara kebahasaan, kufur berarti ‘menutupi dan memendam’. Secara peristilahan, kata ini berarti menolak atau bersikap ‘anti iman’. Sebagaimana iman, pada mulanya kufur juga bersifat netral.
Kekafiran negatif adalah penolakan terhadap kesempurnaan, kebaikan, dan kebenaran. Yang dimaksud dengan al-kufr berikut ini adalah kekafiran negatif, …maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya (QS. al-Baqarah, ayat 89). Inilah jenis kufur yang populer.
Ada tiga macam kekufuran negatif. Pertama, kekufuran negatif yang sempurna (kufr tâm), yaitu penolakan terhadap kebaikan dan kebenaran dalam jiwa dan raga. Ia meliputi kekufuran ateistik, kekufuran politeistik, dan kekufuran profetik (kufr nubuwah).
Kedua, kekufuran batiniah (kufr bathini), yaitu penolakan batiniah terhadap kebaikan dan kebenaran. Seseorang yang meyembunyikan penolakannya terhadap kebenaran dan menampakkan hal sebaliknya adalah orang yang layak menyandang sifat nifaq. Jenis ini disebut kemunafikan.
Ketiga, kekufuran lahiriah (kufr zhahiri), yaitu penolakan lahiriah terhadap kebaikan dan kebenaran. Para filosof etika memasukkan semua perbuatan dosa (dosa legal dan moral) dalam kekufuran lahiriah. “Tidak mungkin seseorang yang sedang berzina adalah orang mukmin,” kata Nabi saw. Seseorang yang beriman dan percaya akan adanya Tuhan yang akan mengadili setiap hamba-Nya tidak akan berani menggunakan uang negara apa pun demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Rasulullah saw menganggap orang yang tidur nyenyak sembari mengabaikan tetangganya yang kelaparan—karena tidak mampu membeli minyak goreng yang harganya terus meroket—sebagai sikap tidak beriman. Demikian pula tentunya dengan praktik-praktik menunda gaji buruh, menjual aset negara ke pihak asing dengan perjanjian yang tidak transparan, menggelapkan daftar kekayaan demi menghindari pajak, dan sebagainya sebagai kekufuran lahiriah yang berimplikasi terhadap orang lain. Inilah kekufuran sosial.
Salah satu jenis kekufuran lahiriah adalah tidak bersyukur. Allah berfirman, Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun) (QS. al-Baqarah:152). Cara logis bersyukur bagi orang kaya adalah berderma, bukan melakukan umrah lebih daripada sekali, dan bukan pula mengadakan tasyakuran yang dihadiri oleh orang-orang kaya pula. Cara logis bersyukur bagi orang yang mendapatkan jabatan dan kekuasaan adalah melayani rakyat, bukan hanya memakai peci dan mengadakan acara keagamaan demi popularitas. Cara logis bersyukur bagi orang berilmu adalah mendermakan ilmunya demi mencerahkan umat, bukan menghibur dan menina-bobo-kan kaum awam dengan pandangan-pandangan fatalistik.
Kufur bisa pula menjadi positif dan proporsional bila bila objeknya memang mesti ditolak. Kekufuran positif adalah segala bentuk penolakan terhadap keburukan dan kebatilan. Allah dalam al-Qur’an memuji orang-orang kafir jenis kedua ini Karena itu barangsiapa yang kufur kepada Thaghut [162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah, ayat 256. Dalam ayat lain, Allah menggambarkan orang-orang yang menyatakan diri sebagai kafir demi berlepas diri dari kekufuran negatif, Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu (kafarna bikum)…” (QS. al-Mumtahanah, ayat 4).
Mukmin sejati pastilah kafir sejati, karena ia beriman kepada Allah sekaligus kafir sepenuhnya kepada orang-orang zalim (taghut). Karena itu, kita mesti menjadi kafir yang baik.