Berita
Setahun Perjuangan Warga Samin
Film dokumenter berjudul Samin vs Semen yang diunggah ke situs YouTube beberapa waktu lalu, menjadi bahan diskusi menarik bagi kalangan pemerhati, aktivis lingkungan hidup, mahasiswa dan kelompok diskusi lainnya. Film pendek berdurasi 39 menit garapan Dandhy Laksono, pendiri rumah produksi Watchdoc.co.id ini berkisah tentang perjuangan warga Samin menolak pembangunan pabrik semen di Kabupaten Pati dan sekitarnya.
Kali ini ABI Press akan merangkum kembali perjalanan PT Semen Indonesia dan penolakan warga Pati dan Rembang dari sudut pandang yang mungkin sedikit berbeda.
Tak sempat berkunjung ke lokasi perseteruan warga Samin dengan PT Semen Indonesia, kami menyambangi Yayasan Desantara, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Depok Jawa Barat yang selama ini turut serta mengadvokasi kasus ini.
Kali ini ABI Press akan merangkum kembali perjalanan PT Semen Indonesia dan penolakan warga Pati dan Rembang dari sudut pandang yang mungkin sedikit berbeda.
Tak sempat berkunjung ke lokasi perseteruan warga Samin dengan PT Semen Indonesia, kami menyambangi Yayasan Desantara, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Depok Jawa Barat yang selama ini turut serta mengadvokasi kasus ini.
Direktur Eksekutif Desantara, Mokh. Sobirin bercerita, “Awalnya, kita hanya mengadvokasi hak-hak sipil, kelompok minoritas dengan tema rekonsiliasi kebudayaan kelompok-kelompok agama dan kepercayaan lokal. Samin termasuk di dalamnya. Ketika orang-orang Samin berhadapan dengan PT Semen Indonesia, mau tidak mau kita turut membantu,” kata Sobirin.
Alasan Penolakan Pembangunan Pabrik Semen
Kegiatan proyek ini dianggap mengganggu dan mengancam tata kelola air yang berdampak pada pertanian dan lingkungan. Mengganggu wilayah Sedulur Sikep (Samin) ini menggantungkan suplai air bagi kehidupan dan pertanian mereka.
“Sejak nenek moyang dahulu, kita membutuhkan tanah, air dan pangan. Tidak butuh semen. Daripada krisis pangan, mending krisis semen. … kalau orang desa, rumah bambu saja sudah cukup,” kata Gunarti (warga Samin) dalam film Samin vs Semen.
Ada perbincangan juga bahwa wilayah yang saat ini hendak dibangun pabrik semen berada pada wilayah cekungan air tanah yang dalam Perda Kabupaten Rembang merupakan kawasan wilayah tangkapan air yang dilindungi,” kata Sobirin.
Kronologi Singkat
Sobirin menceritakan, bahwa rencana pembangunan PT Semen Indonesia di Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati Jawa Tengah dimulai sejak 2006. Namun komunitas Sedulur Sikep (Samin) menolak dan menggugatnya ke PTUN.
“Karena kalah dalam gugatan 2009, akhirnya PT Semen Indonesia menarik diri dari Pati.”
Tak tinggal diam. PT Semen Indonesia memilih lokasi lain untuk mewujudkan keinginannya. Pegunungan Kendeng yang cukup luas dan menyimpan potensi tambang bahan semen di area yang meliputi beberapa kabupaten di Jawa Tengah setidaknya memberi peluang bagi PT Semen Indonesia memilih lokasi lain pembangunan pabriknya setelah tertolak di Pati.
“Pegunungan Kendeng membentang luas meliputi beberapa kabupaten seperti Kudus, Pati, Blora, Rembang dan lainnya,” kata Sobirin.
Pindah dari Pati, PTSI memilih Kecamatan Gunem Kabupaten Rembang untuk lokasi berikutnya.
Tahun 2012, PTSI menyelesaikan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL). “Sejak saat itu, teman-teman di Pati yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) mencoba berkordinasi dengan teman-teman di Rembang yang memiliki konsen yang sama untuk melindungi pegunungan Kendeng,” ujar Sobirin.
Kemudian pada tahun 2014, PTSI mulai membangun pabrik semennya di Kabupaten Rembang.
Peletakan Batu Pertama PT Semen Indonesia
Tanggal 16 Juni 2014, PT Semen Indonesia mulai melakukan pembangunan pabriknya. Peletakan batu pertama 16 Juni 2014 itu menandai pula perlawanan warga sekitar. Ratusan warga yang mayoritas ibu-ibu melakukan protes. Mereka menggelar tenda di area masuk pembangunan pabrik itu. Kegiatan itu dilakukan sebagai bentuk protes atas pembangunan dan penambangan pabrik semen yang dianggap menjadi ancaman bagi struktur kehidupan mereka. Hingga saat ini, tenda-tenda itu masih tegak berdiri sebagaimana kukuhnya penolakan mereka terhadap pembangunan pabrik.
Tanggal 16 Juni 2015, usia perjuangan mereka sejak peletakan batu pertama pabrik semen di Rembang terhitung genap satu tahun.
“Mereka, ibu-ibu bergantian dalam menjaga tenda-tenda yang didirikan,” kata Sobirin.
“Dalam kampanyenya PTSI selalu mengatakan apa yang sedang mereka kerjakan ini berkaitan dengan soal penambahan pendapatan daerah dan penyerapan tenaga kerja. Hal-hal yang berkaitan dengan risiko terhadap warga sekitar terkait dengan ancaman krisis air, tergusurnya lahan pertanian, perubahan strukstur sosial masyarakat, konflik antar warga, itu jarang diangkat,” ungkap Sobirin.
Sekilas Tentang Penguasaan Lahan
Sobirin mengatakan, dalam proses pembangunan pabrik semen tersebut PT Semen Indonesia mendapat 50 Hektar lahan dari Perhutani.
“Mereka tukar lahan dengan Perhutani. Peraturan Perhutani itu, wilayah hutan yang digunakan untuk kegiatan non-hutan harus diganti dua kali luasan lahan sebagai gantinya. Mereka menyebut penggantian lahannya itu di daerah Kendal Jawa Tengah.”
Menggunakan lahan milik Perhutani saja tidak cukup. PT Semen Indonesia juga membutuhkan lahan lebih luas untuk area tambang mereka. Beberapa tanah warga pun akhirnya berhasil dibeli. “Menurut penuturan beberapa orang yang terlanjur menjual tanahnya, mereka tidak tahu kalau tanah itu akan digunakan untuk proyek pabrik semen. Menurut keterangan beberapa warga yang menjual tanahnya, mereka mengaku tak akan menjual tanahnya kalau tahu tanah yang mereka jual akan digunakan untuk pabrik semen.
Satu Tahun Penuh Tantangan
Kini, satu tahun telah berlalu. Menurut Jumadi Kalal dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) sekaligus aktivis dari Yayasan Karya Semesta Rembang, mereka tetap konsisten memperjuangkan aspirasi warga Samin karena sumber mata air ini amat vital bagi kehidupan masyarakat di sana.
“Sumber mata air tak hanya dimanfaatkan PDAM Rembang, tapi juga Blora dan Kompi Selatan 410. Selain itu juga untuk pertanian, untuk irigasi dan air bersih. Jadi sangat vital sekali,” ujar Jumadi. “Kalau ditambang pabrik semen, nanti akan membunuh kehidupan rakyat.”
Jumadi mengakui satu tahun ini berjuang bersama masyarakat melindungi sumber air alam ini penuh tantangan. Bahkan intimidasi dari preman-preman juga mereka hadapi.
“Intimidasi itu ya ada dari awal. Kami yang di Timbangan juga diintimidasi oleh preman. Ada petugas kami yang dilempar botol air minum kemasan,” tutur Jumadi. “Sekarang saja kalau kami mau ke lokasi, ke tenda warga yang berdemo dilarang, tak boleh ke sana.”
Meski menghadapi tantangan, Jumadi mengaku ia tetap optimis. “Saya masih optimis. Karena kasus ini masih akan diputuskan di Pengadilan Tinggi di Surabaya. Semoga para hakim masih bisa melihat secara jernih terkait fungsi dan keberadaan sumber mata air ini,” harap Jumadi.
NU Ada di Depan
Selain dari elemen masyarakat dan LSM pencinta lingkungan, NU sebagai ormas Islam juga ikut berada di depan memperjuangkan hal ini.
“Yang pasti dari Gus Yahya, lantang menolaknya,” ujar Jumadi. “Cuma memang dari NU perlu konsolidasi. Nggak hanya di sini, di Pati, Wonogori, dan daerah nanti yang nanti akan dieksploitasi juga siap. Untuk se-Indonesia harus dikawal. Harus komprehensif.”
Jumadi juga berharap pemerintah bisa memandang masalah pentingnya wilayah kars itu tidak sepotong-potong, tapi secara nasional. “Kita lihat secara nasional. Harus ada keputusan hukum yang mengikat. Jangan kita sampai dijajah oleh korporasi. Pemerintah juga menyusun kajian strategis. Jangan diserahkan pada korporasi semua penyusunan AMDAL-nya.”
Sementara kepada masyarakat Jumadi berpesan agar mereka tetap awas dan waspada melindungi sumber mata air yang amat vital dalam kehidupan tak hanya di kampung mereka, tapi juga di seluruh Jawa.
“Pada sedulur yang nanti mungkin akan terkena proyek semen pemerintah harus ikut mengawal jangan sampai nanti kita kehilangan momen. Jadi tahu-tahu nanti izin keluar, AMDAL keluar, seperti yang ada di Rembang ini. Kita harus pasang mata dan telinga supaya wilayah kita betul-betul terlindungi.” (Muhammad-Malik/Yudhi)
Continue Reading