Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Seminar Prahara Suriah: Hoax, Media Sosial dan Perpecahan Bangsa

Jakarta – Memasuki era konvergensi media, sosial media telah menjadi senjata untuk berperang dalam bentuk soft war. Jika dahulu hanya wartawan yang bisa membuat berita sesuai keinginan redaktur, kini di era media sosial, berita bisa dibuat oleh siapa saja.

Dalam acara seminar bertajuk “Prahara Suriah: Hoax, Media Sosial, Perpecahan Bangsa” yang digagas oleh Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat (MPI PP) Muhammadiyah pada Jumat, 18/1/2019.

Irjen Pol Suntana sebagai Wakabaintelkam POLRI menjadi salah satu pembicara dalam seminar inimenyampaikan, beredarnya berita palsu (hoax) kian merebak seiring dengan tahun politik dan membawa potensi berbahaya bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Tantangan yang paling utama dan berat adalah menjaga kerangka NKRI. Teknologi membuat resistensi keutuhan NKRI semakin berat. Hoax di Indonesia ramai sejak 2012 dalam berbagai tema. Kami sangat berharap Muhammadiyah mengambil peran paling depan dalam melawan hoaks,” ungkapnya

Suntana menghimbau supaya masyarakat Indonesia belajar dari  pengalaman Suriah yang hancur akibat hoax.

“Indonesia itu seksi karena negara dengan penduduk muslim terbesar namun stabil, tidak sedikit negara yang tidak suka dengan stabilitas Indonesia. Apalagi di Suriah tidak ada civil society yang kuat seperti Muhammadiyah,” ujar Suntana menceritakan pengalaman bertabayyun langsung kepada para tokoh agama dan pemerintah di Suriah saat berkunjung ke Damaskus.

Terkait ancaman hoax, Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Y. Thohari menyampaikan bahwa berita hoax juga diproduksi oleh pihak yang berbicara tanpa latar belakang kompetensi yang sesuai.

“Dalam melihat konflik di Timur-Tengah, bangsa Indonesia kekurangan sarjana yang betul-betul dibesarkan dalam studi Hubungan Internasional. Kebanyakan para pengamat Timur-Tengah latar belakangnya malah agama. Jadi sedikit-sedikit membawa agama,” ungkapnya.

 

Sementara itu Wakil Ketua MPI PP Muhammadiyah Edi Kuscahyanto menyampaikan bahwa banjir informasi yang tidak diimbangi dengan daya kritis akan mudah menyebar tanpa ada proses verifikasi. Untuk mencegah hal tersebut MPI bersama Majelis Tarjih telah membuat fikih informasi dan kode etik bagi Netizen Muhammadiyah.

Ada 5 (lima) narasumber yang menjadi pembicara dalam diskusi bedah buku di PP Muhammadiyah dan masing-masing menyampaikan analisisnya mengenai banjir hoax yang kini melanda Indonesia. Mereka adalah Kombes Pol Ahmad Nurwahid dari Densus 88 POLRI, Henry Subiakto Staf Ahli Menkominfo,  M Najih Arromadhoni Sekjen Alumni Suriah, Trias Kuncahyono Penulis Buku ‘Musim Semi Suriah’ dan tokoh media sosial sekaligus pengamat Timur Tengah Dina Y. Sulaeman, penulis buku Prahara Suriah dan Salju di Aleppo.

Henri Subiyakto menjelaskan bahwa TV adalah perpanjangan mata kita. Tapi sekarang handphone sudah menjadi “extension of our life”. Menurut dailymail, manusia hanya bisa jauh dari hp selama 7 menit. Artinya aktivitas sehari-hari manusia selalu tidak bisa lepas dari bergantung pada gadget. Baik di kota maupun desa seperti Baduy pun, handphone sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Hoax sudah menjadi political game. Hidup dalam era media sosial berarti hidup dalam era hoax. Dalam konteks Indonesia, semua pesan palsu adalah hoax, padahal tidak. Kabar palsu atau bohong yang dinamakan hoax dan membahayakan itu adalah yang memunculkan keonaran seperti versi UU di Indonesia. Semisal tahun ini saya ingin jadi juara, namun ternyata meleset. Nah, konteks itu bukanlah Hoax, melainkan hanyalah prediksi atau harapan tertentu untuk menargetkan sesuatu yang baik. Berbeda dengan hoax yang sedari awal memang sudah dirancang untuk membuat disinformasi dan pada akhirnya tercipta kegaduhan masal.

Ciri-ciri hoax menurut Henri adalah menciptakan kecemasan, permusuhan, dan kebencian, atau pemujaan, harapan yang berlebihan. Sumber tidak Jelas, seperti contohnya website-website yang tidak resmi dan tidak jelas kantor berita atau penulisnya. Menggunakan kata provokatif seperti viralkan, sebarkan, mencengangkan, dll. Mengeksploitasi fanatisme SARA (politik identitas) dan trauma masa lalu dengan teknik memunculkan ketakutan. Struktur pesan 5 W + 1H Tidak lengkap. Terutama kapan dan dimananya tidak jelas. Disebarkan lewat media private / tidak terbuka seperti media sosial.

Pembicara selanjutnya Najih Ar-Romadhoni, ia menceritakan pengalamannya selama menuntut ilmu di Suriah, antara lain bahwa ulama-ulama Sunni di Suriah itu banyak yang menjadi ulama terkemuka yang karya-karyanya tersebar luas di berbagai penjuru dunia. Biaya hidup di Suriah sebelum perang sangat rendah, banyak subsidi, rumah sakit gratis, sekolah gratis. Warga di sana juga hidup berdampingan dengan damai, sama sekali tidak ada konflik mazhab. Karena itulah hoax soal perang Sunni-Syiah tidak ‘laku’ di tengah warga Suriah sendiri, sehingga mayoritas “jihadis” yang bertempur dengan alasan “melawan Syiah” adalah orang-orang dari luar Suriah.

Mengenai hoax media, Najih menceritakan pengalamannya sendiri. Suatu saat ia menonton Aljazeera TV yang memberitakan live bahwa sedang terjadi serangan rezim kepada warga di kawasan tertentu. Padahal Najih tinggal di kawasan yang disebutkan dalam berita itu dan saat itu sama sekali tidak terjadi apa-apa yang diberitakan itu.

Pembicara berikutnya adalah Trias Kuncahyono, ia berpendapat bahwa goncangan protes di Suriah hingga terjadi konflik yang berkepanjangan adalah bentuk rentetan gelombang Arab Spring. Secara eksistensi Suriah bisa bertahan dari bombardir kelompok teroris berkat bantuan dari Rusia dan Iran. Bila kedua negara itu tidak hadir turun tangan, secara alami Suriah tidak bisa terhindar dari kekalahan. Namun hadirnya Rusia dan Iran tak lepas juga karena ada kepentingan, seperti Rusia yang memiliki kepentingan di pelabuhan Tartus dan lapangan terbang Latakia.

Hal yang terpenting dari yang disampaikan Trias adalah, mengenai pentingnya merawat keutuhan suatu bangsa dalam perbedaan. Suriah adalah contoh, bahwa negara yang multietnis dan multiagama pun dapat porak-poranda akibat (salah satunya) hoaks. Hoaks yang beredar di media sosial dapat mengguncang negeri layaknya gempa bumi.

Mengapa Timur Tengah selalu tersulut konflik? Trias mengibaratkan seperti tanahnya yang kering, bila digenggam akan hancur karena semua semua adalah pasir. Berbeda dengan tekstur tanah Indonesia yang napal.

Ahmad Nurwahid berpendapat konflik Suriah tak lepas dari paham ekstrim radikalisme. Radikalisme sangat berperan pada konflik Timteng termasuk Suriah. Ia menyebut radikalisme diotaki oleh faham Anglo Zionisme. Sepertinya pandangan ini tak lepas dari perannya yang pernah menjadi Densus 88 yang sering bersentuhan dengan perang melawan teroris. Karena pandangan ini juga ia menyebut hoaks adalah teror, karena isinya yang dapat menimbulkan kekacauan layaknya terorisme. Menarik untuk diperhatikan, secara logika Indonesia seharusnya  sudah hancur seperti Suriah, namun karena Indonesia memiliki beberapa aspek yang sama seperti Suriah dan bahkan jauh lebih besar dibanding Suriah. Seperti etnis, agama, aliran mazhab dan juga sistem Indonesia yang liberal dalam aspek informasi.

Namun semua itu dapat ditangkal dan Indonesia masih bisa bertahan karena beberapa alasan, adanya Pancasila, adanya struktur sosial yang teratur dengan berperan sertanya ormas-ormas Islam moderat seperti NU dan Muhammdiyah, kesolidan TNI dan Polri terhadap pemeritah dan negara. Hal ini berbeda dengan Suriah yang banyak berpihak pada oposisi. Menurutnya kultur sosial Indonesia yang berbeda dengan Arab, jika di Arab secara sosial sangat kuat berpegang pada fanatisme suku, berbeda halnya dengan Indonesia yang mempunyai kultur gotong-royong, silaturahim, mufakat dll.

Dina Y. Sulaeman. menjadi pembicara terakhir, beliau menyebutkan berita-berita hoax berkenaan konflik Suriah bermula ketika tahun 2012 sebuah ormas di Indonesia menyebar foto hoax yang berisi anak kecil ditembaki dan dibunuh oleh pemerintah dan menjadi viral hingga menyulut dan membangkitkan emosi perlawanan terhadap pemerintah Suriah. Mengenai ormas yang dimaksud, Dina tidak menyebutkannya.

Dina Sulaiman mengutip sebuah kalimat terkait solusi pencegahan hoax “Without data, you are just another person with opinion.” Tanpa data, anda hanyalah seseorang yang sedang berbicara dengan opini.

Pandangan pakar geopolitik Timteng ini terkait hoax adalah bahwa hoax yang paling rumit ditanggulangi adalah yang dibuat dan disebar oleh media-media mainstream. Semisal media BBC Inggris yang pernah menyebar peristiwa “Bom Napalm” di Suriah. Menurutnya, hoax yang dibuat media mainstream itu akan sangat mudah dipercayai oleh kalangan awam karena tidak adanya upaya untuk memverifikasi berita. Dan yang terparah, bahwa hoax memang banyak di produksi oleh negara-negara besar yang berkontribusi membuat dokumentasi berita palsu. (alfin)

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *