Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Sekolah Filsafat Hikmah Muta’aliyah STFI Sadra

Ammar FauziSekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) SADRA yang merupakan satu-satunya Sekolah Tinggi Filsafat Islam di Indonesia menggelar Sekolah Filsafat Hikmah Muta’aliyah dengan 14 tema kajian yang akan dibahas setiap minggunya. Sekolah ini dapat diikuti oleh masyarakat umum yang tidak bisa mengikuti jenjang pendidikan filsafat formal, agar juga dapat mencicipi Filsafat Islam.

Kuliah sesi pembukaan sekolah ini pada Sabtu (18/4) bertema “Al-Hikmah al Muta’aliyah, Mazhab Filsafat Islam Ketiga,” menghadirkan pembicara Dr. Ammar Fauzi, alumni pertama Sekolah Internasional al-Mustafa University dan satu-satunya penyandang gelar Doktor dari Indonesia yang menyelesaikan secara keseluruhan jenjang pendidikannya di Iran.

Dalam kesempatan pertama ini, Ammar menjelaskan tentang sejumlah hal yang terkait dengan Hikmah Muta’aliyah. Salah satu bahasannya adalah tentang perbedaan Filsafat Islam dengan Filsafat Barat. Bagi Ammar, filsafat Islam tidak seekstrem Filsafat Barat yang sejumlah batasannya telah dibuat dan ditentukan.

Filsafat Barat, menurut Ammar memiliki tiga jenjang yaitu tingkatan eksistensi, tingkatan pengetahuan dan tingkatan bahasan atau komunikasi. Sementara di dalam Filsafat Islam tidak ada gradasi semacam itu.

 “Artinya perjalanan filsafat kita, tidak pernah mengalami semacam degradasi dari wujud ke epistemik atau ilmu pengetahuan. Dan dari ilmu pengetahuan bicara tentang bahasa. Hampir tidak ada,” tegas Ammar.

Kalaupun ada, maka akan dibahas dalam disiplin ilmu yang lain yaitu logika dan inipun terbatas pada yang memiliki konsep. Sedangkan yang tidak ada hubungannya dengan konsep maka tidak akan dibahas.

Hal ini membuktikan bahwa Filsafat Islam sangat konsisten dengan pemisahan antar ilmu. Sehingga ketika awal atau pertama kali belajar Filsafat Islam, maka yang akan dipelajari lebih dulu adalah mempelajari ilmu sebagai ilmu.

“Dibahas sangat panjang lebar, definisi ilmu sendiri itu apa? Disiplin ilmu sebagai disiplin itu apa? Kemudian apa elemen-elemen dasarnya? Yaitu sifat-sifat esensial, lalu apa sifat esensial itu?” jelas Ammar.

Sehingga dalam perjalanannya, menurut Ammar, terjadi perdebatan panjang untuk mendefinisikan dua buah ilmu, yaitu ilmu hakiki dan ilmu bukan hakiki atau konvensional. Semua permasalahan bisa dimasukkan dalam ilmu konvensional, tapi hal demikian ini tidak bisa dilakukan dalam ilmu hakiki. Dalam ilmu hakiki, satu masalah dimasukkan dalam satu ilmu yang mempertimbangkan hubungan permasalahan tersebut, hubungan nyata antara subjek utama dan persoalan yang akan dibahas. Jika tidak ada hubungannya maka tidak bisa dibahas dalam ilmu hakiki.

“Nah, inilah filsafat,” tegas Ammar. “Contoh paling jelas ilmu hakiki itu filsafat dalam pembahasan logika,” pungkasnya. (Lutfi/Yudhi)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *