Berita
Sejuk dan Dewan Pers Rumuskan Panduan Jurnalisme Keberagaman
Banyaknya keluhan dari masyarakat menghadapi kasus-kasus keberagaman menyangkut intoleransi di Indonesia yang semakin hari semakin meningkat, tak urung mengusik keprihatinan wartawan. Karena posisinya yang strategis sebagai pewarta informasi yang sangat berpengaruh terhadap konflik yang terjadi, baik memperbaiki keadaan maupun memperburuk situasi.
Membicarakan hal ini Dewan Pers bersama SEJUK (Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman ) menggelar diskusi ‘Panduan Jurnalisme Keberagaman’ di kantor Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (10/4).
Ketua Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Suwarjono menyebutkan bahwa kian hari peristiwa-peristiwa intoleransi semakin meningkat. Dan celakanya, media, khususnya wartawan juga punya andil memperparahnya.
“Kasus Ambon dan Poso yang berjalan hampir dua tahun merupakan potret parahnya media dalam pemberitaannya, yang justru memperburuk konflik,” ujar Suwarjono.
Suwarjono juga menyayangkan bagaimana media sekarang menempatkan sosmed sebagai salah satu sumber berita signifikan wartawan.
“Ini sangat membahayakan terkait kasus intoleransi dan diskriminasi. Karena kalau ambil di medsos, di Facebook, di WA, kemungkinan terjadi bias dan ketidakakuratan sangat tinggi sekali,” ujar Suwarjono
Bias Pemberitaan Berujung Bencana
Secara lebih khusus, Yosep Stanley Adi Prasetyo dari Dewan Pers menyebutkan bahwa pemberitaan-pemberitaan yang penuh bias justru bisa memperburuk situasi, terutama dalam konteks berita intoleransi dan diskriminasi.
“Bias bisa terjadi karena, ada hegemoni kekuasaan terlibat, kepentingan pemilik media, bias ideologi individu, ketidaktahuan yang akibatkan ketidakpedulian, dan isu yang hanya berpusat pada elit, dan industrialisasi media,” ujar Stanley.
Stanley juga mengeluhkan bagaimana masyarakat yang terlalu melodramatik, yang menyukai drama tapi lupa pada substansi masalah juga mendorong produk jurnalistik yang melacurkan diri dan memelodramakan suatu berita.
Stanley juga mengingatkan ada segitiga kekerasan yang kemudian tercipta dalam media yang salah arah ini.
“Ada segitiga kekerasan, perilaku, dan sistem. Media tidak lagi hanya mengungkap kekerasan, tapi juga menciptakan kekerasan-kekerasan baru. Terjadi hiperrealitas, yang karena kurang bijaknya media memberitakan, hanya demi menaikkan hits justru menciptakan kekerasan-kekerasan baru di masyarakat.’
Semua masalah itulah yang dihadapi oleh media-media di Indonesia. Hanya segelintir media yang menurut Stanley dan juga Suwarjono yang objektif. Karena itulah, sangat diperlukan sebuah Panduan Jurnalisme Keberagaman.
“Media harus lebih banyak perspektif hukum dan manusia. Media juga terjebak memprofilkan korban karena agamanya. Jarang sebagai sosok manusia atau korban,” tambah Andi Budiman dari Sejuk. “Di sinilah Panduan Jurnalisme Keberagaman itu menjadi penting.”
Panduan Jurnalisme Keberagaman ini untuk selanjutnya digodok oleh Sejuk. Sementara Dewan Pers nanti akan menyempurnakan dan mengundang pihak-pihak terkait untuk menyempurnakannya. (Muhammad/Yudhi)