Berita
Sejarah Prinsip Keadilan Ilahi dalam Budaya Islam Menurut Syahid Muthahari
Kaum Syiah menganggap doktrin keadilan sebagai rukun iman. Dalam prakata untuk buku kami “al-‘Adl al-Ilâhi” (Keadilan Ilahi), kami katakan bahwa doktrin keadilan memiliki dua segi: Keadilan Ilahiah dan keadilan manusiawi. Lagi, keadilan Ilahiah dibagi menjadi dua bagian: (1) keadilan kreasional dan (2) keadilan manusiawi legislatif. Keadilan manusiawi legislatif juga memiliki dua fase: (a) keadilan individual dan (b) keadilan sosial.
Keadilan yang dipandang sebagai ciri khas doktrin atau prinsip Syiah dan oleh kaum Syiah diyakini sebagai rukun iman adalah keadilan Ilahiah. Keadilan Ilahiah merupakan bagian integral dari konsepsi Islam tentang alam semesta. Arti keadilan Ilahiah adalah bahwa Allah adil, dan dalam sistem penciptaan dan sistem pembuatan Undang-undang-Nya Allah bertindak sesuai dengan kebenaran dan keadilan.
Kenapa prinsip keadilan menjadi rukun iman bagi kaum Syiah, alasannya adalah karena sebagian kaum Muslim sedikit banyak telah menafikannya, dan penafian ini sungguh bertentangan dengan kemerdekaan manusia. Mereka menafikan bekerjanya prinsip sebab-akibat dalam sistem alam semesta maupun dalam urusan manusia. Mereka berpendapat bahwa takdir ilahi bekerja langsung, tidak menggunakan perantara sebab-akibat. Menurut mereka, api tidak membakar, namun Allah lah yang membakarnya.
Begitu pula, magnet tak punya peran dalam menarik besi ke arahnya, namun Allah lah yang menarik besi itu ke arah magnet. Manusia tidak berbuat baik dan juga tidak berbuat buruk, namun Allah lah yang berbuat seperti itu secara langsung melalui perantara manusia.
Di sini muncul pertanyaan penting: jika sistem sebab-akibat tidak ada, dan manusia tak memiliki daya untuk memilih, kenapa seseorang diberi pahala atau hukuman untuk perbuatan baik atau dosa yang dilakukannya? Kenapa Allah memberikan pahala kepada sebagian orang dan memasukkan mereka ke dalam surga, dan kenapa Allah menghukum sebagian lainnya dan mencampakkan mereka ke dalam neraka, bila Allah sendiri yang melakukan semua perbuatan baik dan buruk? Jika manusia tak memiliki kemerdekaan dan tak punya pilihan, maka tidaklah adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah bila menghukum manusia karena perbuatan yang berada di luar kemampuannya.
Sebagian besar orang Syiah dan sebagian orang Sunni (kaum Mu’tazilah) menolak teori yang menyebutkan bahwa manusia dipaksa (tak punya pilihan—pen.) dan bahwa takdir. Ilahiah bekerja langsung di dunia ini. Menurut mereka, teori atau pandangan ini bertentangan dengan prinsip keadilan. Di samping mengemukakan argumen-argumen berbasis nalar, mereka juga mengutip ayat Al-Qur’an Suci dan hadis untuk mendukung keyakinan mereka. Itulah sebabnya mereka dikenal dengan sebutan ‘Adliyah (kaum pendukung keadilan).
Dan uraian di atas, jelaslah selain fakta bahwa prinsip keadilan merupakan prinsip Ilahiah dan berkaitan dengan salah satu sifat Allah, prinsip keadilan juga merupakan prinsip manusiawi, karena prinsip keadilan juga menyangkut kemerdekaan manusia dan kemampuan manusia untuk memilih. Karena itu, bagi kaum Syiah dan kaum Mu’tazilah, arti mengimani prinsip keadilan adalah percaya bahwa manusia itu merdeka, bahwa manusia itu bertanggung jawab, dan bahwa manusia itu punya peran membangun.
Pertanyaan yang sering kali mengusik benak kita dalam kaitannya dengan keadilan Ilahiah, khususnya di zaman modern ini, menyangkut kasus-kasus tertentu perbedaan sosial. Mengapa sebagian orang buruk rupa, sementara sebagian lainnya rupawan; kenapa sebagian orang sehat, sementara sebagian lainnya sakit-sakitan, kenapa sebagian orang kaya dan berpengaruh, sementara sebagian lainnya miskin dan tak punya pengaruh?
Bukankah perbedaan ini bertentangan dengan prinsip keadilan Ilahiah? Bukankahkeadilan Ilahiah menghendaki kesamaan bagi semua orang dalam hal kekayaan, usia, jumlah anak, posisi sosial, popularitas dan kemasyhuran, dan tidak menghendaki adanya perbedaan dalam hal-hal ini? Apakah perbedaan dalam hal-hal ini dapat dijelaskan dengan cara lain selain mengimani takdir Ilahiah?
Pertanyaan ini timbul akibat tidak memperhatikan bagaimana kerjanya takdir Ilahiah. Rupanya si penanya beranggapan bahwa takdir Ilahiah bekerja langsung, bukan melalui perantara sebab-akibat. Nampaknya juga si penanya berpikiran bahwa kesehatan, rupawan, kekuasaan, posisi, popularitas dan karunia-karunia lain Allah dibagikan langsung kepada manusia oleh tangan gaib yang mengambil karunia-karunia tersebut langsung dari tempat penyimpanan karunia.
Fakta bahwa karunia, entah yang material atau yang spiritual, tidak dibagikan langsung, kurang mendapat perhatian yang memadai. Takdir Ilahiah telah membangun sistem dan sejumlah hukum serta norma. Siapa pun yang menghendaki sesuatu, dia harus berupaya mendapatkan sesuatu itu melalui sistem itu, dan dengan mengikuti hukum dan norma itu. Terjadinya kesalahpahaman juga akibat kurang memperhatikan posisi manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab yang berupaya memperbaiki dan meningkatkan kondisi hidupnya, yang melawan rintangan-rintangan alam dan yang berupaya keras melawan keburukan sosial dan tirani. Kalau terjadi perbedaan dalam masyarakat manusia, dan bila ada orang yang punya segalanya serta ada orang yang nasibnya cuma harus selalu berjuang keras untuk mendapatkan sesuap nasi, maka yang bertanggung jawab atas keadaan seperti inibukanlah takdir Ilahiah. Manusialah yang bertanggung jawab atas terjadinya perbedaan
itu, karena manusia itu sendiri merdeka.
Ayatullah Syahid Muthahari, Manusia dan Alam Semesta