Ikuti Kami Di Medsos

Artikel

Sejarah Imam Musa: Kesabaran Versus Kesewenangan

Al-Kâzhim gelar khusus kemuliaan dari sejarah Islam untuk Imam Musa bin Ja’far, karena kesabarannya yang bijak mampu meredam marah dalam menghadapi para penentang dan musuh. Syaikh Thabarsi mengatakan: “Orang-orang Madinah menyebutnya dengan nama “Zainul Mujtahidin” (Sebagus-bagus orang yang tekun ibadah kepada Allah).”(A’lam al-Wara, hal 298)

Dalam usia 20 tahun, beliau menggantikan kepemimpinan ayahnya, Imam Ja’far Shadiq yang syahid pada tahun 184 H. Pemerintahan saat itu di tangan Mansur Dawaniqi (159-136 H) khalifah kedua Abbasiyah, penguasa yang lalim. Banyak dari Alawiyin yang dia bunuh dan penjara. Siapapun yang menentangnya, tak terkecuali Abu Hanifah yang dihukum cambuk dan penjara lantaran berfatwa dukung Ibrahim penggerak anti Abbasiyin dan lawan Mansur.

Saat kabar wafatnya Imam Shadiq sampai kepada khalifah Mansur, dia layangkan surat perintah kepada Muhammad bin Sulaiman selaku gubernur Madinah: “Kalau Ja’far bin Muhammad sudah mengangkat seorang penggantinya, tangkap orang itu dan bunuh!”.

Tak lama kemudian gubernur via surat melaporkan kepada khalifah di Bagdad, bahwa Ja’far bin Muhammad telah berwasiat dengan menunjuk lima orang sebagai penggantinya:

1-Khalifah Mansur Dawaniqi.

2-Muhammad bin Sulaiman (gubernur Madinah)

3-Abdullah bin Ja’far (kakak Imam Musa)

4-Musa bin Ja’far.

5-Hamidah (istri Imam Shadiq).

Di bagian akhir surat, dia menunggu perintah khalifah dengan mengatakan: “Di antara mereka siapa yang harus dibunuh?” Mansur kontan marah dan teriak: “Itu tidak mungkin!”.

Mengapa Imam Shadiq Berwasiat Seperti itu?

Imam tentu saja telah menunjuk seorang yang akan menggantikan imamahnya dan telah mengenalkan dia kepada para sahabat khususnya dari Syiah dan ‘Alawiyin. Namun beliau mengetahui rencana jahat Mansur, dan berwasiat seperti itu demi menjaga keselamatan Imam ketujuh yang diyakini Syiah Imamiyah, yaitu Imam Musa bin Ja’far.(1)

Walau resikonya, timbul kebimbangan sebagian orang tentang Imam sesudahnya. Namun demikian dalam kondisi semua mata pihak penguasa mengawasi setiap gerak orang, menjaga keselamatan Sang Washi lebih diutamakan. Masalah kebimbangan mereka itu tidak berlaku bagi sahabat-sahabat pilihannya yang paham situasi dan mengerti keadaan.

Seseorang bernama Abu Ja’far datang ke Kufah sebagai delegasi dari sejumlah penduduk Khurasan, dan untuk berziarah ke pusara Imam Ali bin Abi Thalib. Di satu sudut Masjid, dia melihat sejumlah orang bersama seorang Syaikh (Abu Hamzah ats-Tsimali). Di tengah mereka sedang menyimak penjelasan beliau, datang seorang badui dan berkata: “Aku dari Madinah. Aku kabarkan bahwa Ja’far bin Muhammad (Imam Shadiq) telah tiada!”. Abu Hamzah menjerit.. Si badui lalu bertanya, “Tahukah siapa washi (pengganti)nya?”

Beliau menjawab, “Beliau telah berwasiat kepada putranya, Abdullah, dan kepada putranya, Musa, juga kepada Mansur”

“Segala puji bagi Allah yang tidak menyesatkan kami. Dia (Imam Shadiq) menunjukkan pada yang kecil dan menjelaskan yang besar serta menutupi perkara besar”, ucap si badui lalu pergi ke pusara Amirul mu`minin.

Lepas shalat delegasi itu mendekatinya, dan bertanya: “Terangkan kepadaku apa yang telah kau katakan tadi!?”

Badui menjawab, “Dia menjelaskan bahwa yang besar terganggu (bermasalah). Dia juga menunjukkan pada yang kecil terselubung bersama yang besar, dan menutupi perkara besar dengan Mansur. Sehingga bila Mansur bertanya, “Siapa washinya?” Maka dijawab, “Anda!”.

Orang Khurasan itu menyampaikan: “Saya tidak mengerti jawabannya, dia itu bicara apa!” Kemudian dia pergi menuju Madinah untuk mencari tahu siapa washi sesudah Imam Ja’far Shadiq. Ini poin pertama terkait soal di atas.

Imam Musa: “Kepadaku.. Kepadaku.. Kepadaku”

Poin kedua, diceritakan: di Madinah sebagian orang mengatakan bahwa Abdullah (al-Afthah) imam sesudah ayahnya. Ketika mereka berkumpul di tempatnya, kami (Hisyam bin Salim dan Mu`min Thaq) datang dan mengajukan soal tentang zakat kepadanya, “Berapakah zakat yang wajib?

Abdullah menjawab, “Lima (dirham) dalam dua ratus”

“Kalau dalam seratus?”

“Dua setengah dirham”

“Inilah yang dikatakan kaum Murji’ah!”, kata kami kepadanya.

Sambil mengangkat tangannya ke atas dia mengatakan, “Aku tidak tahu apa yang dikatakan kaum Murji’ah.”

Kami keluar darinya pergi dalam kebingungan. Tak tahu lagi kami harus kemana. Di satu lorong Madinah kami duduk menangis dalam kebimbangan; kepada siapa dan harus kemana kami? Apakah ke Murj’iah? Qadariyah? Zaidiyah? Mu’tazilah? Khawarij?

Saat itu kami melihat seorang Syaikh yang tidak kami kenal, dia memberi isyarat dengan tangannya kepadaku (Hisyam). Timbul rasa khawatir, jangan-jangan dia seorang mata-mata Mansur, karena di Madinah Mansur punya banyak mata yang mengawasi setiap orang yang jika sejalan dengan Syiah Ja’far Shadiq akan dibunuh. Maka aku katakan kepada Mu`min Thaq, “Menyingkirlah.., Syaikh ini telah menunjuk aku, bukan kamu. Jadi, menjauhlah dariku! Selamatkan dirimu!”

Maka aku ikuti Syaikh berjalan, dan sepertinya aku sudah tidak bisa lepas darinya. Hingga sampai di depan pintu rumah Abul Hasan (Imam Musa), dia pergi meninggalkan aku sendiri. Tiba-tiba muncul seorang pelayan di pintu dan berkata, “Silahkan masuk!” Setelah aku masuk, di dalam ada Abul Hasan (Imam Musa) dan pertama yang beliau sampaikan kepadaku:

لا إلى المرجئة ، ولا إلى القدرية، ولا إلى الزيدية، (ولا إلى المعتزلة )، ولا إلى الخوارج، إليَّ إليَّ إليَّ

“Tidak ke Murji’ah atau Qadariyah atau Zaidiyah atau Mu’tazilah dan atau Khawarij! Tetapi kepadaku.. kepadaku.. kepadaku!”(2)

Referensi:

1-Siratu al-Aimmah/Mahdi al-Bisywai/ Penerjemah, Husain al-Wasithi, hal 372-5.

2-A’lam al-Hidayah-Al-Imam Musa ibn Ja’far al-Kazhim, hal 45-48.

Sumber: Ikmalonline

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *