Berita
Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu [bag 2]
Kedudukan Tiga Hikayat
Sebelum mengupas persoalan yang dikemukakan di atas, terlebih dahulu perlu diperkenalkan tiga hikayat yang dimaksud yaitu Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabut. Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak dapat ditemukan di bawah katalog van Ronkel (1909) di halaman 490 dan katalog Naskah Melayu Museum Pusat Indonesia di Jakarta (1972) di halaman 197. Hikayat ini sepanjang 27 halaman, sebanyak 16baris, bertulisan Jawi dan menceritakan perihal Sayyidina Hasan danSayyidina Husein yang disuruh memilih pakaian ketika masih kanak-kanak. Naskah hikayat ini sangat dipengaruhi Bahasa Minangkabau.
Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati juga ditemukan di bawah katalog van Ronkel (1909) di halaman 488 dan katalog Naskah Melayu Museum Pusat Indonesia di Jakarta (1972) pada halaman 197. Hikayat ini sepanjang 11 halaman, sebanyak 16 baris, bertulisan Jawi dan menceritakan perihal Sayyidina Hasan yang diracun dan Sayyidina Husein yang dibunuh oleh Yazid bin Mu’awiyah. Naskah hikayat ini sebenarnya adalah lanjutan dari Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak. Naskah ini juga dipengaruhi Bahasa Minangkabau. Sementara itu Hikayat Tabut juga ditemui di bawah katalog van Ronkel (1909) di halaman 225 dan katalog Naskah Melayu Museum Pusat Indonesia di Jakarta (1972) di halaman 194. Hikayat ini sepanjang delapan halaman, sebanyak 16 baris, bertulisan Jawi dan menceritakan perihal sosok Nastal yang mencoba mengambil mustika yang terdapat pada pinggang Sayyidina Husein setelah Beliau wafat. Menurut hikayatnya, Nastal ditampar oleh jenazah Sayyidina Husein hingga pingsan, di mana ia melihat arak-arakan para malaikat, para nabi, bidadari menangisi jenazah Sayyidina Husein. Setelah sadar dari pingsan, Nastal kemudian bertaubat dan memulai upacara perarakan tabut dan perkabungan memeringati kesyahidan Sayyidina Husein di Karbala.
Baca sebelumnya Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu
Sebelum membahas lebih lanjut sosok Sayyidina Husein dalam tiga hikayat tersebut, perlu dijelaskan terlebih dahulu posisi tiga hikayat ini dalam khazanah sastra Melayu. Menurut Vladimir Braginsky (2004: 35), terdapat tiga era besar dalam menentukan kedudukan sastra Melayu lama. Era pertama adalah era sastra Melayu lama yang meliputi kurun ketujuh hingga paruh pertama kurun ke-14. Era seterusnya adalahera awal sastra Islam dari paruh kedua kurun ke-14 sehingga paruh pertama kurun ke-16. Era yang ditandai sebagai karya klasik Melayu adalah merujuk kepada era puncak persuratan Melayu. Era ini bermula dari paruh kedua kurun ke-16 hingga paruh pertama kurun ke-19.
Untuk memastikan kedudukan tiga hikayat di atas, petunjuk yang dapat digunakan adalah dengan mengetahui kedudukan Hikayat Muhammad Hanafi yah, yang dikaitkan dengan ajaran madzhab Syiah (Harun Jaafar 2002: 114-133). Menurut Jaafar, selain hikayat tersebut, hikayat-hikayat lain yang berkaitan dengan Syiah adalah Kitab Siffin, Kitab al-Nahrawan, Kitab Maqtal Ali, Hikayat Raja Handak, dan Hikayat Raja Lahad. Sebagai pengkaji sastra Melayu klasik yang terkenal di Barat, Braginsky turut meletakkan Hikayat Muhammad Hanafiyah sebagai karya dengan pengaruh Syiah yang kental. Beliau menyatakan hikayat ini adalah pengaruh langsung dan terjemahan karya seorang penulis Arab bernama Abu Mikhnaf.
Transformasi Muhammad Hanafiyah menjadi pahlawan sejati, berkenaan dengan upaya untuk menjadikannya sebagai ‘pemimpin yang lurus’ (Mahdi) setelah terbunuhnya saudara-saudara tirinya Hasan dan Husein diinisiasikan oleh kelompok-kelompok Syiah yang belum mati, tetapi bersembunyi di gunung-gunung, yang sedang menanti ‘kedatangannya yang kedua’. Bagian penting dalam pembangunan mitos Muhammad Hanafi yah ini diangkat oleh sebuah karya yang ditulis seorang Arab dari abad pertengahan yang kemudian menjadi model bagi penulisan bergaya Persia yang terbentuk pada abad ke-14 dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu kurang lebih pada masa yang sama (2004: 181)
Dalam argumentasi Hikayat Muhammad Hanafi yah sebagai ‘saduran’ karya Abu Mikhnaf, Braginsky sebenarnya merujuk L.F Brakel yang lebih awal menyusun dan mengkaji hikayat tersebut. Brakel dengan jelas menyatakan “karya Abu Mikhnaf adalah induk dari Hikayat Muhammad Hanafi yah” (L.F Brakel 1988: 29).
Kedudukan Hikayat Muhammad Hanafi yah amat kuat dalam masyarakat Melayu. Hikayat ini merupakan karya yang dibaca bangsawan dan pahlawan dalam kalangan istana Melayu Malaka. Hikayat Muhammad Hanafi yah juga muncul dalam kalangan masyarakat Melayu sebelum 1511. Ismail Hamid (1983: 145) menyatakan Hikayat Muhammad Hanafiyah sebagai sebuah roman dengan tokoh Islam: Hikayat Melayu yang paling awal diketahui tentang pahlawan muslim adalah tanggal 1511 ketika Sejarah Melayu menyebutkan bahwa para pemimpin perang Melayu dan bangsawan muda meminta agar romansa para pahlawan Muslim dibacakan pada malam hari ketika Malaka dikepung oleh Portugis. Dua roman yang tersedia di Pengadilan Malaka adalah Hikayat Muhammad Hanafiyah dan Hikayat Amir Hamzah. Berdasarkan laporan Sejarah Melayu, R.O Winstedt menunjukkan bahwa romansa tentang Muhammad Hanafiyah sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada tahun 1511. Kisah Sejarah Melayu dikuatkan oleh keberadaan romansa tentang Muhammad Hanafi yah di antara manuskrip yang dibeli untuk Perpustakaan Universitas Cambridge oleh janda Erpenius. Naskah aslinya milik Pieter Floris, yang membelinya saat berkunjung ke Aceh pada 1603 dan 1604.
Hikayat Melayu yang paling awal diketahui mengenai para pahlawan tertanggal 1511, ketika Sejarah Melayu mencantumkan bahwa panglima-panglima Melayu dan kaum istana yang muda-muda meminta agar cerita-cerita roman pahlawan Muslim dibacakan pada malam hari ketika Malaka ketika itu dikepung oleh Portugis. Dua roman yang ada di istana Malaka adalah Hikayat Muhammad Hanafi yah dan Hikayat Amir Hamzah. Berdasarkan laporan yang ada di Sejarah Melayu, R.O. Winstedt menunjukkan bahwa cerita roman mengenai Muhammad Hanafi yah sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu pada tahun 1511. Cerita dalam Sejarah Melayu ini sama dengan keberadaan cerita roman mengenai Muhammad Hanafi yah yang ada di antara manuskrip yang dibeli untuk Perpustakaan Universitas Cambridge dari jandanya Erpenius. Manuskrip-manuskrip ini sebelumnya dimiliki oleh Pieter Floris, yang membelinya ketika datang ke Aceh pada 1603 dan 1604.
Tanggapan bahwa Hikayat Muhammad Hanafi yah sebagai sebuah karya dengan pengaruh Syiah cukup signifi kan dan menunjukkan istana Malaka telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh Syiah. Bahkan, istana Malaka meletakkan kedudukan Hikayat Muhammad Hanafi yah di tempat yang sangat penting pada saat genting (A. Samad Ahmad 2003: 268). Maka sahut Tun Muhammad Unta, “Benarlah seperti kata tuan-tuan itu; baiklah Tun Indera Segara pergi pohonkan Hikayat Muhammad Hanafiyah, sembahkan mudah-mudahan dapat patik-patik itu mengambil faedah dari padanya, kerana Peringgi akan melanggar esok hari.”
Jafar dalam argumentasinya tentang pengaruh Syiah pada Hikayat Muhamad Hanafiyah menyatakan, “Mengagung-agungkan Ali dan keluarganya adalah satu di antara ciri-ciri pegangan Syiah” (2002: 124). Tanggapan dangkal ini, yaitu memuja Ahl al-Bayt sebagai ciri ajaran Syiah, sebenarnya telah ditolak dengan beberapa hadist dari sumber Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam diskusi di awal tulisan ini. Dalam konteks esai ini, Braginsky mengelompokkan Hikayat Muhammad Hanafi yah sebagai salah satu karya dari era kedua (era awal sastra Islam). Berdasarkan pengelompokan Hikayat Muhammad Hanafi yah dalam era paruh kedua kurun ke-14 sehingga paruh pertama kurun ke-16, kedudukan Syiah dalam masyarakat Melayu mendapat tempat sejak dulu. Hal ini menunjukkan pemerintah Melayu pernah memberikan satu penghargaan yang besar terhadap madzhab Syiah yang mendukung keutamaan Ahl al-Bayt. Brakel menulis: Sementara itu di Melayu, yaitu tempat pengaruh Syiah mendapat kedudukan yang penting pada awalnya, perubahan-perubahan yang sama tidak mungkin berlaku. Akan tetapi, apabila pengaruh Sunni di dunia Islam meningkat, yaitu semakin ortodoks, maka rasa benci terhadap teks-teks yang heterodoks seperti Hikayat Muhammad Hanafiyah pasti akan timbul (1988: 25).
Sekali lagi, dalam konteks tulisan ini, seperti yang disebut di awal, bahwa Braginsky telah mengelompokkan Hikayat Muhammad Hanafiyah sebagai salah satu karya dari era kedua (era awal sastra Islam). Hikayat Muhammad Hanafi yah membicarakan peristiwa berdarah Karbala yang membawa kepada pembunuhan dan kesyahidan Imam Husein.
Sementara Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat HasanHusein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabut adalah tiga hikayat yang saling berkaitan, yang juga mengisahkan peristiwa Karbala. Oleh karena ketiga hikayat yang dibicarakan ini memiliki kecenderungan yang jelas terhadap peristiwa Karbala yang diungkapkan dalam Hikayat Muhammad Hanafiyah, maka tidak berlebihan untuk meletakkan ketiga hikayat di atas juga dalam era kedua yaitu era awal sastra Islam. Selain itu dapat juga diandaikan bahwa ketiga hikayat di atas turut menerima pengaruh Syiah karena muatannya yang menceritakan tragedi Karbala selain “mengagungkan Ali bin Abu Tholib dan keluarganya”.
Akan tetapi, timbul pertanyaan lain, apakah Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabut adalah karya-karya Sunni dengan pengaruh Syiah atau karya Syiah dengan pengaruh Sunni. Jaafar (2002: 129-130) secara tidak langsung menyatakan Hikayat Muhammad Hanafi yah adalah kesan langsung pengaruh ajaran Syiah.
Menarik sekali untuk mengungkapkan hal ini sekali lagi bahwa kerajaan Melayu Malaka telah secara terbuka menerima ajaran-ajaran Syiah di istana. Jaafar (2002) menekankan “hubungan kesusastraan yang akrab dengan masyarakat” di mana beliau berpendapat “aktivitas kesusastraan adalah produk tamadun manusia”. Dalam esai nya, Harun turut menyebut sepintas sambutan Asyura dan Perarakan Tabut sebagai bagian dari budaya Melayu yang dipengaruhi Syiah. Beliau selanjutnya secara implisit mengakui penduduk wilayah ini pernah menganut madzhab Syiah atausekurang-kurangnya sangat terpengaruh dengan ajaran Syiah.
Jafar (2002) berpendapat: Dari satu segi, usaha itu berhasil. Umat Islam di Nusantara turut memuliakan tarikh itu dan tabut pernah diadakan di Aceh, Padang dan lain-lain. Ini mungkin disebabkan oleh pengaruh Syiah yang datang lebih dahulu ke daerah itu dan kemudian dilemahkan oleh aliran Ahl as-Sunnah yang masih melekat dalam jiwa penduduk daerah itu. Hingga kini masih ada umat Islam di Semenanjung Malaysia yang menyambut tarikh itu dengan menyediakan bubur Asyura. Bagaimanapun, mereka gagal men-Syiah-kan seluruh umat Islam di wilayah ini karena dinasti Mamaluk mengirim Syaikh Ismail yang berhasil menghalangi perpindahan kepercayaan masyarakat ke madzhab Syiah.
Hal lain yang amat penting untuk disebutkan di sini adalah kedudukan dan peranan sastra tradisional dan klasik Melayu sebagai sebuah wadah untuk mendidik dan mengajar. Siti Hawa Haji Salleh (2009: 27) menyatakan: Kebanyakan hasil kesusastraan Melayu tradisional adalah kesusastraan fungsional atau functional literature. Karya tersebut dilahirkan dengan tujuan tertentu dan diharapkan memenuhi fungsi tertentu, bukan sekedar sebagai hiburan semata-mata. Fungsi itu berbeda dari satu kelompok dengan kelompok lainnya, tetapi pada dasarnya, tujuan utamanya adalah untuk kebaikan masyarakat pada zaman itu. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, istana Malaka dengan sengaja meletakkan kedudukan Hikayat Muhammad Hanafiyah sebagai tonggak pedoman di saat ada serangan musuh dari luar.
Ini menimbulkan persoalan, apakah yang diajarkan dan “diambil faedahnya” oleh pemerintah Malaka pada waktu itu agar pahlawan- pahlawannya mempelajari “sebuah karya Syiah”. Atau dengan kata lain, mengapa istana Malaka meletakkan kedudukan Hikayat Muhammad Hanafiyah sebagai rujukan pembakar semangat keperwiraan jika hikayat ini dinilai sebagai “sebuah karya yang sarat dengan unsur Syiah”. Petunjuk ini memungkinkan satu tanggapan awal yang penting untuk diajukan; yaitu umat Islam pada waktu itu sudah amat terbuka dan bersedia merujuk kepada “kebaikan”, meminjam istilah Haji Salleh, berbagai madzhab termasuk kitab atau hikayat yang dikaitkan dengan madzhab Syiah. Pandangan ini tidak boleh dipinggirkan begitu saja. Haji Salleh menegaskan, “Hasil kesusastraan memberikan alur pemikiran tertentu baik secara langsung mapun secara implisit, dalam bentuk atau genre apapun” (ibid.).
Seperti telah dinyatakan, Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabut identik dengan Hikayat Muhammad Hanafi yah dari segi temanya. Ini juga menunjukkan bahwa bukan hanya hikayat Syiah yang pernah ada dan mendapat tempat di hati masyarakat Melayu. Persoalan selanjutnya, bagaimana, meminjam ungkapan Brakel, “Pengaruh Sunni di dunia Islam menjadi kian meningkat, yaitu semakin ortodoks,” sehingga menyebabkan timbul “semacam rasa benci” terhadap teks-teks yang heterodoks seperti Hikayat Muhammad Hanafi yah? Kata ortodoks yang dimaksudkan oleh Brakel tidak diuraikan lebih lanjut dalam kajian beliau yang terkenal itu. Akan tetapi, dengan menekuni kajian-kajian lain mengenai perkembangan Islam di Nusantara, akan membawa kita pada satu isyarat yang amat jelas, bahwa permulaan ortodoksi di Melayu adalah pada saat berlakunya Perang Paderi di Minangkabau.
Perang Paderi adalah pertikaian agama antara kaum adat yang menjadi pemimpin di Minangkabau dengan golongan Mahali yang dikenali sebagai kaum paderi di Sumatera. Pertikaian ini berujung pada perang saudara yang kemudian memungkinkan campur tangan Belanda di Sumatera sekitar tahun 1830-an. Istilah lain untuk kaum Paderi adalah Wahabiyah. Untuk memahami persoalan ini, kajian utama yang dianjurkan antara lain adalah kajian Taufi k Abdullah (1971) yang menguraikanperkembangan pergerakan kaum muda di Sumatera Barat. Kajian ini akan menunjukkan bagaimana Wahabiyah yang awalnya ortodoks di Minangkabau telah berubah menjadi kaum muda dan menjadi lebih progresif sehingga hari ini dipandang sebagai kelompok moderat:
Konsepsi tradisional tentang alam sebagai harmoni di antara kontradiksi menghadapi tantangan besar pada pergantian abad ke-19 dari gerakan reformasi keagamaan ortohodox, Paderi. Diluncurkan oleh tiga Haji Minangkabau, yang telah dipengaruhi oleh Wahabiyah di Arab, gerakan ini menolak gagasan keseimbangan antara adat dan Islam. Daripada ‘kemurnian hati’, Paderi menekankan manifestasi lahiriah dari perilaku yang benar secara religius. Alih-alih keharmonisan, Paderi bertujuan pada dominasi hukum agama (sjarak) atas aturan dan standar lainnya. Gerakan militan dan religius ini mengutuk tradisional praktik yang bertentangan dengan sjarak. Dengan demikian ia mengancam seluruh konsep alam dan menyebabkan perang saudara yang besar. Perjuangan melawan bukan hanya konflik antara penganut agama yang fanatik dan penjaga orde lama; itu juga satu antara pandangan totalistik dan relatif terhadap dunia (Abdullah 1971: 5).
Konsep tradisional alam sebagai harmoni di antara berbagai kontradiksi berhadapan dengan tantangan besar ketika memasuki abad ke-19 yang dihadapi gerakan reformasi keagamaan ortodoks, kaum Paderi. Didirikan oleh tiga haji dari Minang, yang telah dipengaruhi oleh kaum Wahabiyah di Arabia, gerakan tersebut menolak ide mengenai keseimbangan antara adat dan Islam. Bukannya fokus pada ‘kemurnian hati’, kaum Paderi menitikberatkan pada manifestasi luar dari sikap keagamaan yang benar. Bukannya harmoni, kaum Paderi menyasar pada keutamaan hukum agama (syariah) di atas regulasi dan standar umum [etika]. Gerakan keagamaan militan ini mengkritik praktek-praktek tradisional yang bertentangan dengan syariah. Karena itu, ia mengancam secara utuh konsep alam dan menyebabkan perang saudara. Perjuangan yang keras ini bukan saja merupakan konflik antara kaum agamawan yang fanatik dengan para penjaga ordo lama; ia juga merupakan konfl ik antara cara pandang dunia yang totalistik dan relatif (Abdullah 1971: 5).
Insiden Perang Paderi ini juga dapat dibaca dalam sebuah teks klasik yaitu Surat Keterangan Syaikh Jalaluddin. Teks ini mengisahkan secara terperinci bahwa Perang Paderi membawa campur tangan asing di Sumatera. E. Ulrich Kratz dan Adriyetti Amir dalam pengantar Surat Keterangan Syaikh Jalaluddin karangan Fakih Saghir merujuk Perang Paderi sebagai perang antara pendukung adat dan pendukung Wahabiyah: Selain itu, Surat Keterangan Syaikh Jalaluddin juga melukiskan secara terperinci konflik antara kaum Paderi sendiri yang tidak sepahaman dalam menentukan tindakan yang patut diambil untuk menangani penyebaran paham Wahabiyah. SKSJ dan pengarangnya jelas berpihak kepada kelompok moderat yang mencari jalan tengah dan kurang menyetujui tindakan yang berunsur kekerasan. Teks ini berakhir dengan kedatangan oang Belanda, yang diterima dengan baik oleh kelompok yang moderat sebagai salah satu cara untuk mengakhiri perselisihan itu. Jelas sekali SKSJ menyalahkan kelompok yang radikal itu atas keterlibatan orang luar dalam penyelesaian konflik tersebut (2002: ix).
Merujuk kembali kepada istilah “ortodoks” oleh Brakel, jelas dalam konteks ini, kelompok ini mengisyaratkan golongan Wahabiyah. Tidak mustahil gerakan ortodoks atau Wahabiyah inilah yang menjadi puncak kemerosotan tanggapan terhadap hikayat-hikayat Syiah atau yang berunsur Syiah di Melayu. Golongan Wahabiyah diketahui menolak golongan Syiah dan menganggapnya kafir. Proses de-Syiahisasi ini telah disentuh oleh Edwin Wieringa dalam artikel beliau yang amat penting berjudul Does Traditional Islamic Malay Literature Contain Shi’itic Elements? Ali and Fatimah in Malay Hikayat Literature. Dalam tulisan tersebut, Wieringa menyatakan terdapat sekurang-kurangnya tiga hikayat klasik awal Islam, antara lain, Hikayat Nabi Mengajar Ali bin Abu Thalib dan Hikayat Abu Samah yang memaparkan kebodohan salah satu tokoh sahabat.
Beliau selanjutnya menyatakan telah terjadi proses ‘netralisasi’ unsur-unsur Syiah sehingga bukan Imam Ali saja yang disanjung, tetapi tokoh yang dikutuk sebelumnya dalam hikayat Melayu tidak lagi digambarkan necara negatif. Bahkan dalam beberapa kasus, laknat terhadap tokoh tertentu telah dibuang sama sekali dari teks (1996: 104-105): Karena mayoritas manuskrip Melayu berasal dari abad ke-19, wajar saja jika hanya menemukan sisa-sisa pengaruh Syi’ah dalam hikayat yang bertahan. Saksi-saksi tekstual tidak dapat dicirikan sebagai orang Syi’ah yang jelas. Namun luar biasa menemukan begitu banyak perhatian bagi Ali dan Fatimah dalam literatur hikayat. Terlebih lagi, peran mereka dalam hikayat sepenuhnya selaras dengan citra populer Syi’ah. Khususnya dalam kisah-kisah tentang Ali sebagai hakim yang bijak, Ali dapat dipuji atas sahabat lain. Ringkasnya, tempat utama Ali dan Fatimah dalam sastra hikayat Melayu harus dijelaskan dengan pengenalan awal cerita-cerita ini sebagai bahan bacaan populer untuk orang baru ketika Islam Indonesia masih memiliki ciri Syiah. Dalam perjalanan waktu, cerita-cerita populer, di mana Ali dan keluarganya memainkan peran yang lazim, secara netral dinetralkan sedemikian rupa sehingga tidak ada orang percaya Sunni yang bisa keberatan dengan mereka. (1996: 107).
Karena kebanyakan manuskrip Melayu tertanggal abad ke-19, maka wajar kalau kita hanya melihat sisa-sisa dari pengaruh Syiah dalam hikayat-hikayat yang masih bertahan. Bukti-bukti tekstual tidak dapat serta-merta dikarakteristikkan sebagai Syiah. Hanya saja, jelas sekali perhatian yang besar terhadap Ali dan Fatimah dalam sastra hikayat. Lebih jauh lagi, peranan mereka dalam hikayat sangat kongruen dengan imaji-imaji populer di kalangan Syiah. Hal ini sangat terlihat dalam cerita-cerita mengenai Ali sebagai hakim yang adil, di mana Ali dapat disanjung sedang beberapa sahabat tidak. Pendeknya, posisi penting Ali dan Fatimah dalam sastra hikayat Melayu dapat dijelaskan sebagai bacaan populer untuk orang-orang baru ketika Islam di Indonesia masih terpengaruh oleh Syiahisme. Seiring dengan perjalanan waktu, di mana Ali dan keluarganya sebelumnya berperan besar, lambat-laun dinetralisir hingga yang bermadzhab Sunni tidak lagi dapat menolaknya (1996: 107).
Diskusi di atas memberi informasi penting bahwa berdasarkan hikayat-hikayat Melayu yang ada, orang Melayu telah menerima, terpengaruh atau amat terbuka dengan ajaran Syiah sampai dilakukannya de-Syiahisasi yang mengakibatkan hikayat-hikayat ini kurang dikenali sama sekali oleh masyarakat Melayu dewasa ini. Dengan mengambil contoh Hikayat Nabi Mengajar Ali dan Hikayat Abu Samah yang memaparkan ‘kebodohan’ salah satu tokoh sahabat, jelas terlihat bahwa hikayat ini merupakan hikayat dengan ajaran Syiah.
Oleh kerena itu, dapat disimpulkan, Hikayat Muhamamad Hanafiyah, Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabutadalah hikayat atau karya klasik Melayu yang mengandung ajaran Syiah dan bukan hikayat Sunni dengan pengaruh Syiah.
Bersambung…
Disadur dari artikel karya Mohd Faizal Bin Musa dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggara