Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Sayyidina Husain dalam Teks Klasik Melayu

Pengantar

Dalam tradisi sastra klasik Turki, Persia, dan Indo-Pakistan, keberadaan Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein amat signifi kan. Gambaran tentang Sayyidina Husein misalnya memiliki kedudukan yang kokoh dalam tradisi masyarakat Turki seperti yang ditunjukkan oleh puisi-puisi mistikal karya Yunus Emre. Syair tradisional Turki khususnya yang berkaitan dengan kumpulan tarekat Bekhtashi sering dirujuk dan disebut bersama dengan madzhab Syiah.

Gejala yang sama juga terdapat dalam sastra klasik Indo-Pakistan seperti yang tertuang dalam elegi naratif atau ‘martsiya’ karya Muhammad Muhsin yang berasal dari Sind. Bahkan sosok Sayyidina Husein dalam tradisi sastra Indo-Pakistan terus mengakar dan memberikan pengaruh besar kepada penyair dan filosof Sunni, Muhammad Iqbal, yang menonjolkan kecintaan luar biasa beliau dalam karya-karyanya (Schimmel 2004: 53-60).

Penting ditekankan di sini, seperti yang tercermin dalam karya-karya Iqbal, citra Sayyidina Husein dalam karya sastra tidak hanya muncul dalam karya-karya pengarang bermadzhab Syiah saja. Bahkan sosok Sayyidina Husein muncul dalam karya-karya penulis bermadzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah atau Sunni, khususnya jika penelitian subjek ini dilakukan pada genre elegi atau martsiya berbahasa Arab dan Persia.

Hal ini misalnya terlihat jelas dalam kasidah karangan Imam Syafi ’i (salah seorang tokoh fiqh madzhab Sunni). Lynda G. Clarke (2001: 89-90) sebagai contoh menyatakan bahwa sosok Sayyidina Husein tidak saja merujuk kepada karya-karya pendukung Syiah. Kutipan berikut akan memperkuat argumentasi tersebut. Martsiyah di bawah ini, karya Imam Syafi ’i setelah menyampaikann kesedihan pribadi, serta sosok sang syahid, kemudian menyatakan kecintaan si penyair kepada Ahl al-Bayt Nabi secara keseluruhan. Kata Imam Syafi’i:

Hatiku mengeluh, karena hati manusia sedang merana
Kantuk tak lagi datang, susah tidur membuatku pusing
Wahai, siapa yang akan menyampaikan pesanku kepada Husein (Meskipun hati dan pikiran sebagian orang mungkin tidak setuju)
Yang dibantai,meski tak berdosa
Bajunya seakan-akan dicelup basah dengan warna merah
Kini hatta pedang pun meratap, dan tombak menjerit
Dan kuda yang kemarin meringkik, kini meratap
Bumi bergempa karena keluarga Muhammad
Demi mereka, gunung-gunung yang kukuh niscaya akan meleleh
Benda-benda langit rontok, bintang-bintang gemetar
Wahai cadur-cadur dirobek, demikian juga hati
Orang yang bershalawat untuk dia yang diutus dari kalangan Bani Hasyim
Dia juga memerangi anak-anaknya.
Duhai alangkah anehnya
Jika aku dianggap berdosa karena cinta kepada keluarga Muhammad
Maka aku tidak akan bertaubat dari dosaku itu

Qasidah Imam Syafi ’i juga patut dicatat sebagai produk Sunni. Kenyataan bahwa beliau juga mengarang elegi-elegi lain semacam itu telah dibuktikan, dan tampaknya banyak tokoh Madzhab Syafi ’i (dan juga Hanafi ) di masa awal yang juga melakukan hal yang sama. Akan tetapi, bahkan kesaksian orang seperti Imam Syafi ’i akan cintanya kepada Keluarga Nabi di masa yang berbahaya itu membuatnya dituduh sebagai “orang yang tidak ortodoks” (non-Sunni). Dalam kajiannya, G. Clarke juga mengutip bait-bait puisi karangan Sana’i,yang juga merupakan seorang penyair Sunni, dari karyanya Hadiqat al-Haqiqah. Pendapat G. Clarke tersebut menunjukkan gambaran sosok Sayyidina Husein yang sangat signifi kan dalam tradisi sastraklasik Arab dan Persia. Karena Schimmel juga menekankan betapa sosok Sayyidina Husein mendapat tempat yang penting dalam tradisi sastra klasik Turki, dan Indo-Pakistan, maka tidak berlebihan jika dinyatakan di sini Sayyidina Husein dan peristiwa pembunuhan yang kejam itu muncul di seluruh wilayah umat Islam, baik tradisi Turki, Indo-Pakistan, Persia maupun Arab.

Citra Sayyidina Husein ini juga mendapat tempat di hati penyair-penyair Sunni dan Sufi . Ini membuktikan bahwa sosokSayyidina Husein yang menembus batas geografi s menjadikannya sebagai sosok supra-madzhab milik semua umat Islam, dan tidak semata terbatas kepada para pendukung madzhab Syiah. Akan tetapi, timbul pertanyaan, sejauh mana sosok Sayyidina Husein ini mendapat tempat di Nusantara. Esai ini akan mengupas dan memaparkan beberapa pandangan awal mengenai kedudukan dan keutamaan Sayyidina Husein dalam teks klasik Melayu. Untuk tujuan itu, tulisan ini hanya akan merujuk pada tiga hikayat pendek era klasik berjudul Hikayat Hasan Husein Tatkala Kanak-Kanak, Hikayat Hasan Husein Tatkala Akan Mati dan Hikayat Tabut.

Pemilihan terhadap ketiga teks ini tentunya tanpa menafi kan keberadaan hikayat-hikayat lain, khususnya Hikayat Muhammad Hanafiyah yang merupakan sebuah karya yang paling sering disinggung para sarjana sastra apabila subyek Syiah dan Sayyidina Husein diperbincangkan. Esai ini akan mendiskusikan kedudukan ketiga hikayat tersebut dalam korpus sastra klasik Melayu. Selain itu, esai ini juga akan membahas kemungkinan bahwa hikayat-hikayat ini merupakan satu ‘petanda budaya’ yang tidak boleh disisihkan. Persoalan ini juga mengangkat pertanyaan mengenai apakah umat Islam di wilayah ini merupakan penganut Ja’fari (madzhab Syiah) atau hanya merupakan satu dedikasi dan elegi kedukaan sebagaimana ditunjukkan oleh Imam Syafi ’i dalam karya sastranya, mengingat sebagian besar umat Islam di Nusantara hari ini adalah penganut madzhab Syafi’i. Tulisan ini hanyalah merupakan satu hipotesis awal yang memerlukan kajian lebih lanjut, penulis akan membatasi pembicaraan mengenai sosok Sayyidina Husein saja.

Kedudukan Ahl al-Bayt di Mata Sunni

Ahl al-Bayt Rasulullah mempunyai kedudukan yang tidak dapat dinafikan begitu saja dalam madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah. Terdapat banyak dalil dalam Alquran dan hadist untuk dijadikan hujjah (argumentasi) bagi kenyataan tersebut. Tulisan ini akan mendatangkan lima hadist dari tiga sumber Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah untuk mendukung pendapat tersebut. Hadist nomor 1477 dari Sahih Bukhari mengungkapkan:Dari Abdurrahman bin Abu Laila r.a katanya: Ka’ab bin Ujrah menjumpai saya, lalu ia berkata: ‘Bolehkah saya hadiahkan kepada engkau satu hadiah yang saya dengar dari Nabi Muhammad?’ Jawab saya: ‘Ya, baiklah! Hadiahkanlah kepada saya!’ Lalu ia berkata: ‘Kami bertanya pada Rasulullah: ‘Bagaimanakah caranya shalawat kepada tuan sekeluarga? Sesungguhnya Tuhan telah mengajar cara kami memberi salam.’ Beliau bersabda: ‘Bacalah: Wahai Tuhan! Berilah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi rahmat atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim! Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Wahai Tuhan! Berilah keberkatan atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah memberi keberkatan atas Ibrahim dan keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia’ (Bukhari 2002: 201).

Hadist nomor 645 dari Musnad Imam Ahmad mengungkapkan: Fadhl bin Dukain menceritakan kepada kami, Yasin al-‘Ijli menceritakan kepada kami dari Ibrahim bin Muhammad bin al- Hanafi yah, dari bapaknya dari Ali r.a, dia berkata: Rasulullah bersabda: ‘Al-Mahdi berasal dari kami Ahl al-Bayt. Allah menerima taubat dan memberi taufi k kepadanya pada malam hari. Sanad hadist ini adalah sahih dan kalimat yuslihuhullahu fi lailatin pada matan hadist menurut Syarah as-Sanadi oleh Ibnu Katsir menjelaskan ia bermaksud: ‘Aku menerima taubatnya, taufik dan ilham kepada akalnya yang sebelumnya tidak diberikan kepadanya’ (Ahmad bin Muhammad bin Hanbal 2006: 767).

Hadist nomor 3871 dari Sunan at-Tirmidzi mengabarkan: Mahmud bin Ghailan menceritakan kepada kami, Abu Usamah memberitahukan kepada kami dari Fudhail bin Marzuq dari Adi bin Tsabit dari al-Bara’ bahwa Rasulullah memandang Hasan dan Husein lalu berdoa: ‘Wahai Allah! Sesungguhnya aku mencintai mereka, maka cintailah mereka.’ Hadist ini merupakan hadist hasan sahih (At-Tirmidzi 1993:720).

Penghargaan dan dedikasi untuk Ahl al-Bayt yang ditunjukkan dalam hadist-hadist di atas bukanlah suatu penghargaan semata- mata karena mereka adalah keluarga Rasulullah melainkan karena membawa petunjuk keagamaan yang utuh. Ini terlihat misalnya dalam hadist berikut: Nashr bin Abdurrahman al-Kufi menceritakan kepada kami, Zayd bin al- Hasan—yaitu al Anmathi—menceritakan kepada kami, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayah Ja’far, yaitu Muhammad, daripada Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku pernah melihat Rasulullah melaksanakan ibadah haji pada hari Arafah, saat itu Beliau sedang berkhutbah di atas untanya; Al-Qashwa. Aku mendengar Beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya aku telah meninggalkan (sesuatu) untuk kalian, sepanjang kalian berpegang teguh kepada sesuatu itu niscaya kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu kitab Allah dan itrati, keluargaku.

Hadist ini termuat dalam Sahih Sunan-nya At-Tirmidzi, dengan hadist nomor 3786, pada bab sifat-sifat utama keluarga Nabi Muhammad (2007: 864). Oleh karena itu, Ahl al-Bayt mendapat tempat yang istimewa dan sama besarnya dengan Alquran dalam hadist tersebut, sudah tentu Alquran sendiri sebagai wahyu Allah telah pula mengabarkan keistimewaan Ahl al-Bayt ini. Hadist berikut menunjukkan nilai sesungguhnya Ahl al-Bayt di sisi Islam. Hadist ini dapat ditemukan dalam Sahih Sunan At-Tirmidzi nomor 3787 (2007: 865): Qutaibah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Sulaiman al-Ashbahani menceritakan kepada kami dari Yahya bin Ubaid, dari Atha’ bin Abu Rabah, dari Umar bin Khattab bin Abu Salamah— anak tiri nabi Muhammad—ia berkata: Ayat ini diturunkan kepada nabi: ‘Sesungguhnya Allah bermaksud untuk menghilangkan dosa darimu, hai Ahl al-Bayt, dan membersihkanmu sebersih-bersihnya,’ (Al-Ahzab: 33) tentang keluarga Beliau. Beliau kemudian memanggil Fatimah, Hasan dan Husein, dan menutupi mereka dengan pakaian.

Sementara itu, Ali bin Abu Thalib berada di belakang Beliau, dan Beliau pun menutupinya dengan pakaian. Beliau kemudian berdoa: ‘Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah keluargaku. Maka hilangkanlah dosa daripada mereka, dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.’ Ummu Salamah berkata: ‘(Apakah) Aku bersama mereka ya Nabi Allah.’ Rasulullah menjawab, ‘Engkau tetap pada tempatmu, dan engkau tetap dalam kebaikan.’ Kedua hadist tersebut mengandung nilai hasan gharib yang memberi penegasan supaya tidak mengabaikan Alquran dan Ahl al- Bayt selain menguraikan siapakah yang dimaksudkan dengan Ahl al- Bayt Rasulullah.

Hadist-hadist di atas, dan banyak lagi hadist lain, dengan nyata memberi penghargaan yang tinggi kepada Ahl al-Bayt Rasulullah dan meletakkan status Ahl al-Bayt di tempat yang tidak dapat diganggu gugat. Karena esai ini bertujuan untuk membicarakan sosok Sayyidina Husein dalam karya klasik Melayu maka tiga dalil keutamaan Ahl al-Bayt menurut sumber-sumber madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah di atas dianggap cukup memadai untuk menunjukkan kedudukan Sayyidina Husein sebagai salah seorang Ahl al-Bayt Rasulullah. Sehubungan denganitu, melihat masyarakat Melayu di Nusantara yang sebagian besar adalah penganut dan pendukung madzhab Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah, maka tidak berlebihan jika mengandaikan bahwa orang Melayu di wilayah ini turut meletakkan Ahl al-Bayt di tempat yang sewajarnya sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasulullah. Persoalannya apakah sosok Ahlal-Bayt, dalam konteks ini secara lebih khusus Sayyidina Husein, benar-benar eksis dalam karya klasik Melayu?

 

Bersambung…

 

Disadur dari artikel karya Mohd Faizal Bin Musa dalam buku Sejarah dan Kebudayaan Syiah di Asia Tenggara

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *