Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Sawah Dituding sebagai Penyumbang Emisi Karbon

JAKARTA (28 April 2011) | Negara berkembang telah menerima kenyataan dan tekanan internasional untuk bekerjasama dalam pananggulangan perubahan iklim global, meskipun sebenarnya negara industri maju adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca (GRK).

Negara-negara industri maju mengkonsumsi bahan bakar fosil (batubara, minyak dan gas bumi) dalam jumlah miliaran bahkan triliunan ton. Negara berkembang dituding menyumbang emisi GRK dari sektor kerusakan hutan, peternakan dan pertanian.

Belakangan ini oleh para ahli negara-negara industri, sawah dinilai sebagai salah satu sumber utama emisi gas metan (CH4), dengan volume berkisar antara 20-100 Tg CH4 per tahun (IPCC 1992). Indonesia dengan luas areal tanam padi sawah 10,6 juta hektar diperkirakan menyumbang sekitar 1 % dari total emisi gas metan global (Neue dan Roger, 1993). Emisi gas metan dari lahan sawah ditentukan oleh perbedaan sifat fisiologi dan morfologi varietas padi. Kemampuan varietas mengemisi gas metan bergantung kepada rongga parenkim, jumlah anakan, biomassa, sistem perakaran, dan aktivitas metabolisme.

Menurut Dr. Soeryo Adiwibowo, Ketua Departemen Sain Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB) meskipun terjadi emisi GRK dari padi, namun sesungguhnya itu didominasi oleh padi hybrida yang rakus air dan rakus pupuk  buatan. “Penelitian Dr. Yahya Husien pada 1990 sumbangan emisi GRK di lahan persawahan bisa dikurangi drastis melalui cara tanam yang baik seperti pada padi lokal, karena saat ini cara cocok tanam terlalu boros air mengingat tidak selamanya tanaman padi butuh air, ada masanya tidak butuh air terlalu banyak,” kata Soeryo kepada Kanal Informasi. Menurut Soeryo, penelitian pada lahan sawah tadah hujan dalam periode 1996-2000 menunjukkan varietas Ciherang, Cisantana, Tukad Balian, dan Way Apo Buru menghasilkan emisi gas metan yang rendah. Keempat varietas juga tahan terhadap hama dan penyakit utama, antara lain wereng coklat biotipe 2 dan biotipe 3.

Emisi gas metan dapat direduksi hingga 17,3% dengan penggunaan pupuk ZA (ZA = zwavelzure ammoniak dari bahasa Belanda, yang artinya amonium sulfat), sedangkan dengan pupuk urea pril hanya mereduksi 8,0% dibandingkan dengan pertanaman padi tanpa pupuk urea. Teknologi tanpa olah tanah mampu mereduksi laju emisi gas metan 31,5-63,4%  dibanding teknologi olah tanah sempurna. Demikian juga teknologi irigasi berselang (intermintten irrigation), selain menghemat air, juga berperan dalam mereduksi emisi gas metan 34,3%-63,8% dibandingkan dengan pertanaman yang digenangi terus-menerus.

Kembali ke kearifan tradisional dengan menggunakan pupuk orgnik mungkin juga bisa menjadi jawaban, daripada kita dipaksa makan roti dimana gandum tidak menjadi tanaman pokok Indonesia. Oleh karena itu, Ir. Hanni Adiati MSc, seorang aktivis Lingkungan yang juga alumnus IPB justru mengingatkan bahwa negara berkembang bisa terancam ketahanan pangannya akibat ulah negara maju. “Seharusnya negara industri maju lebih fokus pada pengurangan GRK mereka daripada menuding negara berkembang, apalagi luas lahan sawah padi Indonesia hanya seperlima dari hamparan sawah di Cina. Menurut hitungan cepat bahkan emisi GRK dari perang yang dikobarkan AS melebihi emisi GRK yang dihasilkan Indonesia,” kata Hanni kepada Kanal Informasi.
KANALINFORMASI

 

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *