Berita
Sabilulungan: Selami Budaya Nusantara Kembalikan Islam Damai Di Tengah Umat
Budayawan kondang Agus Sunyoto dalam Pagelaran Budaya Nusantara di Jakarta (2/12) mengatakan bahwa budaya sangat penting di zaman sekarang, yang disebutnya sebagai zaman global.
Menurutnya, pasca runtuhnya komunisme 1990-an ada skenario yang dibuat golongan kapitalisme global yaitu apa yang disebut globalisasi.
“Dimana dalam kenario proses globalisasi itu, ada usaha semua identitas; etnis, budaya, bahasa, agama, itu dijadikan global. Istilahnya, lokalitas dihilangkan,” ungkapnya.
Penulis buku Atlas Wali Songo itu menilai, jika semua global, itu artinya masyarakat, tanpa identitas.
“Kalau lihat dari sosiologi, masyarakat yang tanpa identitas, tanpa nilai, tanpa norma, itu masyarakat dalam keadaan anomali,” kata Agus.
Ia juga menekankan pentingnya umat Islam Nusantara melakukan resistensi perlawanan terhadap globalisasi ini.
Sementara itu Eros Djarot, seniman kawakan yang juga menjadi pembicara pada diskusi Pagelaran Budaya Nusantara Dalam Tradisi Suro dan Safar ini menilai, budaya merupakan sarana atau alat untuk mengenal, untuk mengetahui siapa kita dan untuk apa kita hidup serta bagaimana kita harus hidup.
“Pendekatan budaya itu pasti akan menyentuh hati. Dengan pendekatan seni, itu akan membuat hati kita lebih halus. Jadi, orang yang suka bunuh-bunuhan itu pasti nggak ngerti kesenian,” kata Eros menyindir perilaku sebagian umat yang gemar menggerus budaya dan mengobarkan api peperangan.
Hadir pula budayawan Sunda Ahmad Y. Samantho yang mengungkap pentingnya menyelami nilai-nilai keislaman yang hadir di bumi Nusantara sejak awal-awal munculnya Islam. Rentetan budaya Islam Nusantara yang begitu banyaknya, menurutnya memiliki benang merah, titik temu, yaitu bermuara pada tradisi keislaman Ahlul Bait Nabi.
“Mereka yang terusir, dikejar-kejar Bani Umayah dan berimigrasi ke banyak tempat termasuk Nusantara. Bahkan kerajaan Islam pertama di Nusantara bermazhab Ahlul Bait hingga kemudian terjadi akulturasi budaya melalui pernikahan dan sebagainya,” papar Samantho.
Pagelaran Budaya Nusantara ini sendiri digelar di Balai Komando Cijantung Jakarta Timur oleh Paguyuban Sabilulungan Zainab’s Revolution. Bertema tradisi bulan Suro dan Safar, acara ini juga dimeriahkan pameran foto, gelar Tari Saman, Tabuik/Tabot, pemaparan peran Wali Songo, pemutaran film dokumenter Islam Nusantara dan diskusi sejarah budaya Islam Nusantara.
Habib Abu Bakar Al-Hamid selaku Pembina Paguyuban Sabilulungan menilai Islam di Indonesia merupakan Islam yang damai dan penuh rahmat.
“Namun saat ini ada sekelompok golongan yang ingin membawa Islam ke arah ekstremisme, dan kita akan berusaha mengembalikan itu, mengembalikan Islam yang damai dan penuh rahmat di tengah umat.” (Malik/Yudhi)
Menurutnya, pasca runtuhnya komunisme 1990-an ada skenario yang dibuat golongan kapitalisme global yaitu apa yang disebut globalisasi.
“Dimana dalam kenario proses globalisasi itu, ada usaha semua identitas; etnis, budaya, bahasa, agama, itu dijadikan global. Istilahnya, lokalitas dihilangkan,” ungkapnya.
Penulis buku Atlas Wali Songo itu menilai, jika semua global, itu artinya masyarakat, tanpa identitas.
“Kalau lihat dari sosiologi, masyarakat yang tanpa identitas, tanpa nilai, tanpa norma, itu masyarakat dalam keadaan anomali,” kata Agus.
Ia juga menekankan pentingnya umat Islam Nusantara melakukan resistensi perlawanan terhadap globalisasi ini.
Sementara itu Eros Djarot, seniman kawakan yang juga menjadi pembicara pada diskusi Pagelaran Budaya Nusantara Dalam Tradisi Suro dan Safar ini menilai, budaya merupakan sarana atau alat untuk mengenal, untuk mengetahui siapa kita dan untuk apa kita hidup serta bagaimana kita harus hidup.
“Pendekatan budaya itu pasti akan menyentuh hati. Dengan pendekatan seni, itu akan membuat hati kita lebih halus. Jadi, orang yang suka bunuh-bunuhan itu pasti nggak ngerti kesenian,” kata Eros menyindir perilaku sebagian umat yang gemar menggerus budaya dan mengobarkan api peperangan.
Hadir pula budayawan Sunda Ahmad Y. Samantho yang mengungkap pentingnya menyelami nilai-nilai keislaman yang hadir di bumi Nusantara sejak awal-awal munculnya Islam. Rentetan budaya Islam Nusantara yang begitu banyaknya, menurutnya memiliki benang merah, titik temu, yaitu bermuara pada tradisi keislaman Ahlul Bait Nabi.
“Mereka yang terusir, dikejar-kejar Bani Umayah dan berimigrasi ke banyak tempat termasuk Nusantara. Bahkan kerajaan Islam pertama di Nusantara bermazhab Ahlul Bait hingga kemudian terjadi akulturasi budaya melalui pernikahan dan sebagainya,” papar Samantho.
Pagelaran Budaya Nusantara ini sendiri digelar di Balai Komando Cijantung Jakarta Timur oleh Paguyuban Sabilulungan Zainab’s Revolution. Bertema tradisi bulan Suro dan Safar, acara ini juga dimeriahkan pameran foto, gelar Tari Saman, Tabuik/Tabot, pemaparan peran Wali Songo, pemutaran film dokumenter Islam Nusantara dan diskusi sejarah budaya Islam Nusantara.
Habib Abu Bakar Al-Hamid selaku Pembina Paguyuban Sabilulungan menilai Islam di Indonesia merupakan Islam yang damai dan penuh rahmat.
“Namun saat ini ada sekelompok golongan yang ingin membawa Islam ke arah ekstremisme, dan kita akan berusaha mengembalikan itu, mengembalikan Islam yang damai dan penuh rahmat di tengah umat.” (Malik/Yudhi)
Continue Reading