Ikuti Kami Di Medsos

Berita

Sabilulungan: Merajut Harmonisme Kehidupan Melalui Nilai Budaya Para Leluhur

ABI Press_Sabilulungan

“Runtut raut sauyunan.”

Pepatah Sunda yang berarti “hidup rukun bersama” tersebut mungkin sudah jarang ditemui pada masyarakat saat ini, selain di buku-buku sekolah dan slogan-slogan tanpa ada dalam kenyataan hidup sehari-hari. Terbukti tingkat pelanggaran atau aksi kekerasan atas nama agama dan intolernasi di wilayah Jawa Barat masih memegang rekor tertinggi di seluruh Indonesia.

Hal ini mendorong Paguyuban Sabilulungan yang terdiri dari sekumpulan majelis taklim yang ada di sejumlah kota di Jawa Barat untuk mensinergikan berbagai golongan berbeda yang berasal dari lintas agama, mazhab, suku, dan penganut nilai-nilai lokal yang ada di wilayah Jawa Barat sehingga perbedaan-perbedaan tersebut berubah menjadi kekuatan pemersatu.

Kang Junaedi, salah satu pengurus paguyuban Sabilulungan berpusat di wilayah Depok, Jawa Barat, mengatakan kepada ABI Press tentang keprihatinan atas tergerusnya nilai-nilai kebudayaan Sunda dan terus meningkatnya intoleransi di wilayah Jawa Barat. Maka Sebagai warga Jawa Barat, Kang Junaedi bersama Sabilulungan berusaha mengingatkan pentingnya menggali kembali nilai-nilai kebudayan leluhur yang menekankan pada prinsip kerukunan hidup.

“Akar budaya Sunda itu dekat dengan nilai-nilai ketuhanan yang bertauhid, meski berbeda agama dan mazhab,” tutur Kang Junaedi.

Untuk mencapai itu semua, komunitas Sabilulungan (yang berarti Gotong Royong atau saling tolong-menolong dalam bahasa Indonesia), berusaha untuk menyatukan kembali masyarakat Jawa Barat, khususnya Sunda untuk saling tolong-menolong dan membangun keharmonisan hidup bersama dengan cara menghidupkan kembali nilai-nilai lokal dari masyarakat Sunda itu sendiri.

Intoleransi Bukan Budaya Sunda

Sebab secara akar sejarah Sunda telah terikat dengan nilai-nilai yang ada dalam Islam rahmatan lil ‘alamin, dengan adanya tokoh Prabu Siliwangi, Raden Kian Santang atau Syeh Kuro, yang kesemuanya sangat lekat dengan ajaran tauhid. Karena itu, tak heran jika akar-akar budaya Sunda sangat dekat dengan nilai-nilai yang dibawa oleh para nabi dengan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin yang sangat toleran.

“Intoleransi tidak sesuai dengan fitrah budaya Jawa Barat itu sendiri,” tegas Kang Junaedi.

Dengan kembali pada ajaran nilai-nilai karuhun atau leluhur yang memang sangat erat dengan nilai-nilai ajaran para nabi, bukan hanya intoleransi yang tidak sesuai dengan fitrah masyarakat Sunda, bahkan nilai-nilai para leluhur juga mengajarkan untuk menghormati dan hidup harmonis dengan alam ini dengan cara menjaga lingkungan sekitar.

“Bagaimana cara melestarikan alam, bagaimana cara menghormati tanaman, seperti yang dipraktekkan masyarakat Badui misalnya,” terang Kang Junaedi.

Hal ini sejalan dengan peribahasa Sunda, “Tatangkalan dileuweung teh kudu di pupusti,”yang artinya “pepohonan di hutan itu harus dihormati.

Maka apa yang dilakukan oleh Sabilulungan adalah melanjutkan wasiat para leluhur untuk merajut keharmonisan masyarakat Sunda dan Jawa Barat pada umumnya yang tentu saja juga sejalan dengan nilai-nilai yang dibawa oleh para nabi dan Islam rahmatan lil ‘alamin.

Maka, bila budaya adalah jatidiri dan jati diri leluhur masyarakat Sunda adalah nilai-nilai yang ada pada para nabi yang dibawa oleh para wali dan leluhur masyarakat Sunda seperti halnya Raden Kian Santang atau Prabu Siliwangi, maka pantaskah bila nilai luhur karuhun itu kita tinggalkan? (Lutfi/Yudhi)