Berita
Rusdi Sulaiman Ingatkan Hutang Besar Muslim Indonesia Kepada Bung Karno
Memperingati hari lahir Sang Proklamator, yang jatuh pada 6 Juni 2016, kontributor ABI Press Kalimantan Barat berkesempatan menyambangi Rusdi Sulaiman, seorang pengajar di IAIN Pontianak. Berikut adalah petikan wawancara yang dilakukan di sela-sela kesibukan kandidat Doktor bidang Hukum Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Bagaimana sosok Bung Karno di mata Rusdi Sulaiman?
Bung Karno pejuang, juga inspirator. Bung Karno sosok yang menggabungkan banyak hal dalam dirinya, termasuk Islam. Bung Karno relatif menguasai banyak bidang, dan mampu meramu itu menjadi suatu inspirasi bagi banyak orang. Bung Karno juga seorang penggerak, itu ciri khas dari pemikiran Bung Karno yang hidup di zaman peralihan masa kolonialisme dengan masa kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia.
Ada ide Bung Karno tentang Sosialisme, Humanisme dan Nasionalisme. Bagaimana Bapak melihat hal itu bisa diramu sedemikian rupa oleh Bung Karno?
Karena Bung Karno menguasai banyak hal. Hal ini juga terkait dengan kebijakan Belanda memberikan kesempatan bagi rakyat Hindia Belanda duduk di sekolah-sekolah liberal. Ketika Eropa, termasuk Belanda, meninggalkan masa-masa Feodalisme ke era demokrasi dan Liberalisme, maka pola-pola pendidikan mereka ikut berubah dan dibawa ke Hindia-Belanda. Orang-orang seperti Bung Karno, yang mengenyam pendidikan di sekolah ala Barat yang liberal, sangat wajar menguasai banyak literatur asing. Itu menyebabkan isu-isu Humanisme, liberal dan Sosialisme mendapat akses yang cukup di mata para pelajar seperti Bung Karno. Selain pengaruh kekuatan Sosialisme yang menang di Eropa Timur dan dibawa ke Hindia Belanda oleh sekelompok pelajar.
Iklim intelektual Bung Karno adalah iklim intelektual yang universalis. Bung Karno berpikir global karena aksesnya terhadap ilmu sangat luas, demikian pula pandangannya tentang Humanisme, Demokratisme dan Liberalisme, termasuk tentang Islam. Penggabungan –seperti yang dilakukan Bung Karno (ed.)– itu dimungkinkan oleh iklim intelektual yang dihadapi. Kedua, penguasaannya terhadap Humanisme disebabkan penjajahan masih berlaku di negeri ini.
Yang juga tidak bisa dilepaskan adalah peran dari tokoh-tokoh yang biasa berdiskusi dengan Bung Karno tentang isu Islam, seperti dengan A. Hasan, HOS Cokroaminoto, juga ilham-ilham dari gerakan Wahabisme di tanah Arab.
Jika kita membaca buku Di Bawah Bendera Revolusi, pada jilid 1, Bung Karno hampir meninjau banyak sekali kenyataan di luar negeri, peta-peta pemikiran Barat; Sosialisme, Marxisme, termasuk peta pemikiran keagamaan dan peta politik internasional. Dengan pandangan semacam itu, saya pastikan Bung Karno memang menguasai banyak literatur, meskipun Bung Karno memang bukan satu-satunya yang menguasai pengetahuan demikian. Kita bisa bayangkan, walau belum mengalami era digital seperti kita, penguasaan mereka terhadap ide-ide itu sangat besar.
Bagaimana tentang konsep Islam dalam pandangan Bung Karno?
Pertama, Bung Karno bukan berlatar belakang santri, jadi akses beliau terhadap keislaman tidak melalui akses bahasa Arab, KitabKuning –seperti yang dijalani kaum santri (ed.). Akses Islam Bung Karno adalah literatur Barat, buku yang sering beliau kutip dalamDi Bawah Bendera Revolusi adalah Spirit of Islam, edisi Bahasa Inggris.
Kedua, Bung Karno hidup di zaman ketika Islam mulai mengenal Modernisme, dengan tokoh-tokoh seperti Jamaluddin Al Afghani dan M. Abduh. Modernisme, salah satu cirinya adalah mengkritik takhayul, bid’ah, kekolotan dan taqlid. Saat itu Turki pun sedang melakukan modernisasi dengan memisahkan agama dari urusan negara. Bukan memisahkan Islam, kata Bung Karno, tapi membiarkan agama itu ada di orang-orang Turki, bukan di negara Turki.
Ada pula model Mesir yang, menurut beliau, mengkompromikan Al Azhar –sebagai representasi agama– dengan negara Mesir. Ada pula model Wahabisme serta Islam di India yang tak ketinggalan dari kritik Bung Karno, yang disebutnya sebagai Islam yang paling kolot. Ini merupakan indikasi kuatnya akses Bung Karno terhadap isu-isu Modernisme.
Bung Karno juga memberikan kritik pedas pada Asy’arianisme dengan mengkritik taklid. Sepertinya beliau melihat taklid sebagai bentuk kejumudan, sementara baginya Rasionalisme dan akal sangat dianjurkan. Itu kesan Islam yang ditangkap dari sosok Bung Karno.
Tulisan beliau tentang negara-negara Islam memperlihatkan konsep beliau seolah-olah menjauh dari Islam tradisional, yang dipopulerkan sebagai Islam sontoloyo. Islam Bung Karno adalah apinya Islam. Beliau menangkap semangat Islam, bukan abunya Islam. Ketika embrio pemikiran Islam muncul saat itu, akar pemikiran Bung Karno menangkap itu semua. Jadi, Islam mayoritas, Islam mainstream yang saat itu di mata Bung Karno jauh tertinggal, pasti mendapat kritiknya.
Bagaimana konsep Islam Bung Karno yang masih relevan saat ini?
Bung Karno memiliki penglihatan yang sangat unik dalam memandang Islam dan politik. Saya kira orang Islam di Indonesia banyak berhutang pada Bung Karno. Andai saja tokoh-tokoh awal politik Islam tidak seperti Bung Karno, sejarah Islam di Indonesia mungkin berbeda saat ini.
Tadi saya menyebutkan analisis Bung Karno atas Turki yang memisahkan urusan agama dan negara, yang oleh Bung Karno disebut dengan radikalis. Yang menjadi model Bung Karno, menurut saya, adalah Mesir. Agama dan negara, kata Bung Karno, bisa dikompromikan. Lihat saja bagaimana beliau mengkompromikan ideologi-ideologi besar. Bisa kita lihat juga bagaimana Bung Karno memposisikan Islam dalam pidatonya pada 1 Juli.
Bangsa ini memang perlu perekat, dan Bung Karno adalah salah satu model yang bisa menjadi ilham saat ini. Bagaimana ia meletakkan Islam di tengah berbagai pertarungan ideologi saat itu, di bawah cengekeraman Kolonialisme, dan bagaimana Islam mampu mendapatkan kemerdekaan secara politik? Itu butuh kecermatan. Bung Karno adalah salah satu model yang sampai saat ini masih bisa kita contoh, terutama cara-cara beliau menyelesaikan berbagai permasalahan antar agama, ideologi, pertarungan agama dengan ketertutupan, ketertindasan. Semangat itu masih relevan saat ini.
Bagaimana dengan Nasakom?
Bung Karno memiliki penguasaan literatur yang sangat banyak serta bersentuhan dengan banyak ideologi. Ia semacammagnetic dari berbagai kekuatan politik dan ideologi. Nasakom adalah mengenai metode mempersatukan negara yang belum selesai lepas dari penjajahan, dengan berbagai kekuatan yang saling berlawanan, yang membahayakan negara. Nasakom, saya melihatnya sebagai sebuah paradigma kebijakan politik, yakni paradigma negara yang masih balita, yang baru merdeka, dengan berbagai kekuatan latar belakang ideologi yang bersambungan dengan dunia luar –hampir semua ideologi di negeri ini berhubungan dengan dunia luar– yang jika tidak di–manage, direkatkan sedemikian rupa, akan membahayakan negeri yang baru merdeka ini. Nasakom semacam filosofi yang ditawarkan Bung Karno untuk berbagai kekuatan yang potensial bertentangan.
Dalam pengertian ide, isme, hampir seluruh negeri di dunia ini mengalami pengaruh-pengaruh Sosialisme, sehingga muncul salah satunya Sosialisme religius. Bagaimana cara me–manage itu semua? Nasakom adalah jawaban yang ditawarkan Bung Karno.
Bagaimana meletakkan Bung Karno dalam sejarah intelektual Islam di Indonesia?
Kita yang terbiasa membaca literatur tradisional Islam, akan menemukan tokoh-tokoh Islam disusun dalam Thabaqat, yang mencakup tahapan generasi Islam, ulama dalam disiplin ilmu, kemudian para pembaharu Islam. Dimana memposisikan Bung Karno dalam peta intelektualisme Islam? Karena jika tidak masuk, orang akan melupakan Bung Karno sebagai bagian dari sejarah Islam, atau bagian dari sejarah Intelektualisme Islam. Ini penting sekali untuk diwacanakan atau didiskusikan kembali bahwa Bung Karno sudah berbicara hampir seluruh paham. Bung Karno membaca Abbasiyah, Umayyah, termasuk isu-isu fiqh. Walau memang sumber bacaan beliau tidak seketat kalangan santri.
Tidak bisa dilepaskan juga hubungan Bung Karno dengan Islam setelah kemerdekaan, setelah Pemilu 55, kemudian Konstituante 59, ketika negara Islam disodorkan dan deadlock. Hal itu memang memperburuk hubungan Bung Karno dengan Islam. Di kalangan tertentu, nama Bung Karno masih dianggap sebagai bagian dari sejarah Islam, hanya saja mungkin tidak gencar sosialisasinya. Orang akan lebih mudah mengkritik, karena Bung Karno lebih memilih api (Islam)nya daripada abunya. (Reza/Yudhi)