Berita
Rumah Presiden dan Nasib Pengungsi Sampang
Oleh Hertasning Ichlas*
Umur Presiden Yudhoyono akan berakhir 20 Oktober tahun ini. Dalam setiap pergantian rezim, apalagi kekuasaan yang berusia satu dasawarsa, kita warga negara, selalu bisa mengambil pelajaran: merenungkan bagaimana dan untuk siapa kekuasaan suatu rezim itu digunakan.
Di akhir jabatannya, Presiden Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden No 52 Tahun 2014. Isinya mengatur penyediaan rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden. Bahwa keduanya patut mendapat kediaman yang layak.
Berapa meter luas rumah, lokasi, desain, bentuk, dimensi, tata ruang, seluruhnya diatur dengan gamblang. Bahkan disediakan Peraturan Menteri Keuangan untuk mengatur nilai rumah yang ditaksir Rp 25-30 milyar diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Presiden Yudhoyono sampai perlu mengubah aturan sebelumnya soal penyediaan rumah dari maksimal 6 bulan setelah lengser menjadi harus sudah tersedia sebelum tak lagi menjabat.
Saya tidak pernah memilih Presiden Yudhoyono. Dan saya rasa itulah salah satu kebanggaan saya. Tapi, sebuah rumah bagi seorang mantan presiden dan wakilnya, buat saya itu pantas. Saya tak punya keluhan soal itu.
Keluhan saya ada di Desa Karanggayam dan Bluuran, Sampang. Tempat 600-an Muslim Syiah hidup turun-temurun. Pada suatu ketika di tahun 2011 dan 2012 kehidupan mereka porak-poranda oleh amuk fitnah dan kekerasan. 1 orang tewas, puluhan luka-luka, 50-an rumah hancur terbakar, dan 200-an warga hingga sekarang terusir dari kampung halamannya menjadi pengungsi lebih dua tahun lamanya.
Selama mengungsi mereka tinggal di emperan lantai ubin gedung olah raga Sampang. Kehilangan rumah dan ladang mereka sebagai sumber nafkah. Seterusnya mereka dipaksa mengungsi lebih jauh lagi di Rusunawa Sidoarjo. Anak-anak kesulitan sekolah, orang tua mereka kesulitan menafkahi mereka.
Dalam penderitaan hidup, iman mereka terus dilecehkan dan dijadikan sumber masalah. Mereka tidak diizinkan pulang ke kampung halaman karena keyakinan yang berbeda. Beberapa orang tua dan sanak saudara pengungsi telah meninggal dunia di kampung halaman. Sebagian pengungsi memberanikan diri pulang untuk ziarah. Belum kering air mata dan belum usai doa-doa, aparat desa dan polisi mengusir mereka keluar dari kampung. Dicampakkan dari tanah leluhur dan kerabat mereka sendiri.
Yang perlu kita tahu, sebelum mereka beragama, warga Desa Karanggayam dan Bluuran adalah manusia dan kerabat sedarah. Pengungsi dan warga kampung sudah sadar mereka telah difitnah. Mereka telah saling memaafkan, merindukan dan menjalin perdamaian.
Warga kampung berkali-kali berkunjung ke pengungsian, mereka pula yang mengajak pengungsi pulang hidup rukun seperti sedia kala. Tapi keinginan warga kampung kalah keras suaranya, kalah kuasa penolakannya, dan kalah muslihat dari elit desa dan polisi.
Nestapa hidup dijalani pengungsi dengan tabah dan pantang menyerah. Tahun lalu mereka bertekad untuk bertemu Presiden Yudhoyono mengadukan nasib. Istri-istri pengungsi melepas suami mereka gowes ke Jakarta untuk bertemu Presiden. Para istri menitipkan pesan: “Bismillah berangkatlah. Jangan pulang sebelum bertemu Presiden.”
Setelah hampir sebulan di Jakarta, di akhir bulan Juli 2013, bertepatan di bulan suci Ramadan, pengungsi bertemu Presiden di Cikeas. Presiden berjanji akan menyelesaikan masalah dan mengembalikan pengungsi sebelum akhir jabatannya. Rumah akan dibangun kembali dan pengungsi bisa hidup rukun bersama warga di kampung.
Saya ada saat pertemuan itu bersama wakil pengungsi. Termasuk mendengar dari mulut Presiden wanti-wantinya kepada kami agar kami jangan mendengar siapa-siapa, “Dengarkan saja saya (Presiden Yudhoyono). Saya akan selesaikan.” Presiden seperti memaksudkan perkataannya dari hati sehingga kami sangat yakin dia begitu serius.
Setahun sudah janji itu telah berlalu. Presiden Yudhoyono akan berakhir jabatannya. Hidup malah semakin berat bagi pengungsi. Mereka masih menjadi tawanan, terusir dari tanah dan ladangnya. Bekas rumah-rumah yang terbakar kini bersaing dengan ilalang yang tumbuh lebat.
Pertanyaan saya cuma satu: atas dasar moral apa kita merasa perlu tergesa-gesa membelikan rumah yang layak bagi Presiden yang telah membiarkan penderitaan pengungsi sedemikian lamanya. Karena hidup layak 200-an warga Sampang kalah berarti dari hidup Presiden?
*Wartawan The Geo Times dan Koordinator YLBHU